Senin

Amien Rais Dan High Politics

Oleh: Fitriana Utami Dewi*
Belakangan ini, sidang pengadilan kasus korupsi dana nonbujeter dengan terdakwa mantan menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Rokhmin Dahuri dan sekjennya, Andin H Taryoto, menjadi berita paling heboh. Betapa tidak! Orang-orang yang tercatat menerima sebaran dana nonbujeter kini mulai bicara dan meresponsnya. Padahal, mereka adalah tokoh-tokoh penting nasional, antara lain Prof. Dr Amien Rais (mantan Ketua MPR), Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), dan Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR sekarang), tim sukses empat capres (Amien, Mega, SBY, Wiranto), dan terakhir Presiden SBY ikut memberikan pernyataan. Sebagian tokoh yang menerima dana nonbujeter DKP mengakuinya, sebagian lain menolak mentah-mentah. Amien Rais adalah tokoh yang secara gentle mengakui menerima dana dari Rokhmin.
Sedangkan Hidayat Nur Wahid tegas-tegas membantah menerima ”sumbangan” Rokhmin. Amien menyatakan siap dihukum penjara jika memang dinyatakan bersalah karena menerima dana nonbujeter DKP. Namun, sang tokoh reformasi itu juga minta agar pengadilan tidak tebang pilih. Artinya, siapa pun yang menerima dana Rokhmin juga harus diperlakukan sama. Sikap Amien yang mau terbuka dan gentle mengakui kesalahannya, jelas menunjukkan kualitas kejujuran dan keberanian Amien di tengah maraknya ”kemunafikan” tokoh-tokoh yang menerima dana nonbujeter DKP. Padahal, siapa pun tahu --apalagi pejabat Negara-- dana nonbujeter atau dana taktis itu memang ada di setiap lembaga pemerintah. Anehnya, meski semua orang tahu dan maklum, KPK sama sekali tidak menoleransi adanya dana nonbujeter di DKP. Dalam kasus DKP misalnya, sebetulnya apa yang dilakukan Rokhmin hanyalah meneruskan ”tradisi” sebelumnya.
Ketika menteri DKP dipegang Sarwono Kusumaatmadja, dana nonbujeter itu ada. Begitu juga di zaman menteri Freddy Numberi --meski kemudian Freddy menghentikannya karena ada kasus Rokhmin. Tapi dia telah ”menikmati” dana nonbujeter selama kurang lebih satu tahun. Di departemen-departemen yang lain, dana semacam itu pasti ada. Apalagi, di departemen teknis seperti Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, dan Departemen Kesehatan, niscaya dana taktis atau nonbujeter itu ada.
Persoalannya, sebagian besar lembaga departemen dan nondepartemen tidak mencatat pemasukan dan pengeluaran dana nonbujeter itu. Ini berbeda dengan Menteri DKP Rokhmin Dahuri. Pemasukan dan pengeluaran dana nonbujeter tersebut tercatat rapi dan sistematis. Saking ”transparannya”, Rokhmin pun mencatat pemasukan ”uang angpau” dari pengusaha pasir laut Singapura yang kapalnya dibebaskan Pengadilan Negeri Riau yang besarnya 400.000 dolar Singapura. Bayangkan, seandainya Rokhmin tidak mencatatnya dan masuk ke kantong pribadi, niscaya tidak ada orang yang tahu. KPK pun tak akan menemukan buktinya. Tapi Rokhmin justru mencatatnya dan uang itu dimasukkan dalam kas dana nonbujeter.
High Politics
Mencari orang-orang yang bersalah adalah perkara sulit di negeri ini. Tetapi yang lebih sulit lagi adalah menemukan orang-orang yang mengaku bersalah, terutama di kalangan elite dan mereka-mereka yang memiliki pengaruh di lingkungan politik. Dalam keseharian bisa ditemukan dengan kasat mata dan masuk akal perbuatan yang melabrak aturan dan kepatutan. Tetapi yang paling mudah menerima kesalahan dan dipersalahkan adalah orang-orang kecil.
Bagaimana dengan para petinggi dan elite? Kelompok yang satu ini, apalagi elite politik, kesalahan haram untuk dialamatkan. Padahal kita semua tahu malapetaka yang menimpa bangsa ini berasal dari kesalahan dan dosa mereka. Untuk kelompok ini tidak berlaku asas fakta adalah suci. Bagi mereka argumen lebih penting dari fakta. Tetapi di tengah arus kemunafikan besar elite negeri, masih ada seorang anak manusia bernama Amien Rais yang bertindak 'aneh'. Ia mengakui terus terang menerima dana nonbujeter Rp 200 Juta dari Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang kini duduk sebagai terdakwa dalam kasus korupsi.
Dengan kepintaran, pengetahuan, dukungan politik yang dimilikinya Amien bisa saja membantah mati-matian, seperti banyak dilakukan tokoh dan lembaga terhormat lainnya. Tetapi Amien lebih memilih mengaku daripada membantah. Fakta lebih suci dari argumen. Kejujuran lebih berharga daripada penipuan dan pemutarbalikan. Kita yakin, Rokhmin Dahuri tidak sedang berbohong di pengadilan ketika membuka nama-nama dan lembaga yang menerima aliran dana dari departemen yang dipimpinnya. Dana itu mengalir ke sejumlah tokoh penting, sejumlah anggota DPR, sejumlah partai politik dan sejumlah tim sukses presiden pada Pemilu 2004.
Tetapi dari semua yang disebut Rokhmin, cuma Amien Rais yang berterus terang mengaku telah menerima dana itu. Yang lain membantah mati-matian dengan berbagai argumen seolah-olah mereka adalah malaikat. Padahal menurut catatan Rokhmin, semua calon presiden waktu itu menerima kucuran dana nonbujeter tersebut. Malapetaka dalam dunia penegakan hukum dan keadilan di Indonesia berakar pada watak elite bangsa yang munafik. Politik telah dimaknai oleh para elite sebagai wilayah kekebalan. Di sana segala dosa disembunyikan dan disucikan dan dicuci. Mirip money laundering.
Pemaknaan politik seperti ini berdampak sangat dahsyat bagi hukum dan keadilan karena dari wilayah politiklah lahir pemegang kekuasaan yang mengendalikan harkat hidup orang banyak. Adalah mimpi bila calon pemimpin yang dilahirkan di lingkungan parpol yang berwatak tukang tadah, memelopori kejujuran dan keterusterangan.
Melawan kemunafikan.
Amien Rais telah melawan kemunafikan yang lama diterima dan dipiara di dalam lingkungan perpolitikan Indonesia . Barangkali, tepatlah ia kini mempraktekkan apa yang disebut sebagai high politics, politik adiluhung. Tetapi sayangnya, keberanian dan kejujuran Amien ini tidak banyak manfaatnya kalau hanya muncul dari Amien seorang. Di antara mereka yang disebut Rokhmin menerima dana haram itu, beberapa di antaranya dikenal sebagai orang-orang yang sangat moralis. Tetapi, mengapa baru Amien Rais yang mengaku? Di manakah yang lainnya meletakkan nilai kejujuran dan keterusterangannya?
Kalau Amien Rais nanti masuk bui karena kejujurannya, lalu bagaimana dengan yang menerima tapi tidak mengaku? Kalau kejujuran dihukum, apakah ketidakjujuran diberi penghargaan? Elite kita telah menderita penyakit kemunafikan yang luar biasa. Itu disebabkan kita sudah kehilangan high politics dan etika politik hampir di segala bidang, apalagi politik.
*) Pemerhati masalah politik kebudayaan, tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung