Senin

Derita Rakyat Miskin Kota

Oleh: Muhammad Agus Nurlaili
Manusia hidup menatap kebahagiaan dan kesejahteraan yang terungkap dalam realitas kehidupan yang dialaminya. Salah satu syarat untuk merasakan kebahagiaan itu adalah tercukupinya kebutuhan-kebutuhan primer (pangan, sandang, dan papan). Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, manusia akan tetap terus berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan cara apapun. Ketika mereka berhadapan dengan keterbatasan pekerjaan formal, mereka pun menciptakan pekerjaan-pekerjaan informal yang memberi peluang untuk melangsungkan kehidupan. Dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda pembangunan ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada mereka. Salah satunya berupa penggusuran yang sudah menjadi ritual tahunan yang dihidupi oleh daerah-daerah perkotaan. Kota besar seperti Jakarta adalah contoh kota di mana kekejaman hidup menjadi bahasa manusia sehari-hari. Berbagai bentuk penertiban dan penggusuran warga mewarnai kehidupan Jakarta dari tahun ke tahun, mulai dari penggusuran tempat tinggal, lapak pedagang kaki lima, hingga operasi kependudukan. Rakyat miskin diuber-uber; kaki lima digusur-gusur dan berbagai kebijakan pemerintah terbukti tidak berpihak pada rakyat miskin. Mungkin mereka akan bertanya: Tidak bolehkah rakyat miskin hidup di Jakarta?
Jangankan di Jakarta, pun di dunia ini tak boleh ada rakyat miskin dan sengsara. Bumi manusia seharusnya menjadi bumi yang bermartabat untuk kehidupan manusia. Tak boleh ada jurang kemiskinan dan kekayaan. Kenyataan kemiskinan itu merajalela di sekitar kita, bahkan menjadi bagian dari kehidupan kita. Soalnya adalah bagaimana menghapuskan kemiskinan yang merajalela ini. Inilah tugas kemanusiaan.
Di Jakarta,misalnya, Pemda DKI sering memandang PKL sebagai kaum urban (pendatang) yang tidak memiliki pendidikan dan tidak memiliki modal. Mereka tidak berhak berusaha di Jakarta karena mereka bukan penduduk Jakarta. Gubernur pun merasa tidak berkewajiban memperhatikan keberadaan mereka. Masalahnya adalah bila benar mereka tidak memiliki pendidikan dan tidak memiliki modal, apakah itu berarti Pemda berhak menggusur mereka dengan seenaknya? Apakah hal itu berarti Pemda berhak memperlakukan mereka semena-mena dan tidak manusiawi?
Sebab munculnya PKL dan sektor informal lainnya disebabkan oleh ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan juga karena kebijakan industrialisasi nasional yang tidak berpihak pada rakyat miskin dan malah berpihak pada kepentingan pemodal asing. Tanpa penyelesaian dengan penciptaan lapangan kerja melalui kebijakan industrialisasi besar-besaran yang pro rakyat tanpa membedakan kota dan desa, urbanisasi dan atau menjadi PKL di kota-kota adalah hak yang sah dari rakyat untuk bertahan hidup.
Adalah pedesaan yang merupakan sumber dari munculnya lapisan luas rakyat miskin di perkotaan. Di samping kemiskinan di pedesaan tetap terus berlangsung. Kapitalisme Orde Baru gagal menyerap kelebihan tenaga kerja di pedesaan. Di sisi lain proses industrialisasi Orde Baru begitu terbelakangnya dan sama sekali, proses industrialisasi ini tidak dalam kerangka penyelesaian problem-problem masyarakat agraris.
Proses industrialisasi Orde Baru bertitik tolak dari persekutuan dengan kapital dari negeri-negeri Imperialis dengan mengeruk kekayaan sumber daya alam (terutama mineral dan pertambangan, serta hasil hutan). Sebagian besar surplus kapitalnya mengalir ke negri-negeri imperialis, sebagian lagi, surplus kapitalnya dinikmati oleh kaum kapitalis birokrat Orde Baru (bersenjata maupun sipil) serta kapitalis kroni Orde Baru. Selama puluhan tahun gerombolan kapitalis agen imperialis ini menikmati surplus kapital hasil dari eksploitasi besar-besaran sumber daya alam dan hutan di atas lautan kemiskinan Rakyat Indonesia. Oleh gerombolan kapitalis agen imperialis itu surplus kapital yang dinikmatinya tidak diinvestasikan dalam lapangan industri dasar dan menengah dan hilir yang dapat membantu penyelesaiaan keterbelakangan tenaga produktif di pedesaan. Namun justru diinvestasikan ke sektor barang-barang konsumsi dan jasa di perkotaan (tekstil, sepatu, jasa finansial, dan seluruh sektor manufaktur penghasil barang-barang konsumsi).
Inilah gelombang pertama dari kapitalisme Orde Baru yang mengabaikan industrialisasi pertanian dan menitikberatkan pada sektor manufaktur konsumtif di perkotaan yang berteknologi rendah. Ini pula yang menjadi pendorong utama arus besar-besaran gelombang urbanisasi terutama ke kota-kota yang menjadi pusat industri manufaktur ini (Jabotabek, Semarang, Surabaya, Makasar, Medan, Bandung, dan kota-kota yang menjadi kantong industri manufaktur ini).
Yang lebih celaka lagi seluruh perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme Orde Baru ini berdiri di atas ladasan industri dasar dalam negeri yang serapuh-rapuhnya. Karena hampir seluruh industri manufaktur penghasil barang-barang konsumsi ini sangat tergantung dengan negeri-negeri imperialis atau dengan luar negeri. Dari masalah bahan baku, mesin hingga pasar sangat tergantung dengan luar negeri. Dengan demikian dari sisi penyerapan tenaga kerja sektor industri manufaktur berteknologi rendah ini --yang lebih mirip dengan industri tukang jahit atau tukang rakit saja-- tidak dapat menyerap seluruh kelebihan tenaga kerja dari pedesaan yang terus mengalir ke perkotaan. Dari sisi nilai tambah bagi produktifitas nasional juga kecil karena hanya mengandalkan tersediaanya tenaga kerja yang melimpah ruah. Karena melimpah ruahnya ini justru sering dijadikan alasan oleh pemerintah maupun kaum kapitalis agar buruh mau diupah murah asal dapat pekerjaan.
Dasar dari kapitalisme Orde Baru yang rapuh ini menyebabkan perekonomian dalam negeri sangat rentan terhadap setiap gejolak dari ekonomi kapitalisme gobal. Karena rendahnya teknologi dan itupun harus diimpor, perekonomian dalam negeri menghadapi persaingan paling keras dengan puluhan negeri yang menjadi penghasil barang sejenis. Di pasar global, komoditi yang dihasilkan oleh manufaktur Indonesia sudah mencapai taraf over-produksi, yaitu barang melimpah namun tidak terbeli. Gelombang krisis ekonomi globalpun meledak yang berpuncak pada pertengahan tahun 1997 dan terus berlangsung hingga saat ini dan sangat berpengaruh bagi perekonomian dalam negeri yang akibat-akibatnya sangat menyengsarakan rakyat. Pasar dalam negeri yang seharusnya dapat menyelamatkan industri dalam negeri ternyata tidak demikian yang terjadi. Karena buruh di Indonesia diupah sangat rendah. Bahkan pemerintah malah meliberalkan perdagangan sehingga barang-barang dari luar negeri menyerbu masuk. Pemerintah juga membiarkan penyelundupan merajalela. Dalam situasi demikian industri dalam negeri pun tak tertolong lagi: ribuan pabrik bangkrut, jutaan buruh menjadi korban PHK. Barisan rakyat miskin di perkotaan pun bertambah banyak karena korban-korban PHK bertransformasi masuk ke sektor informal atau sama sekali menjadi pengangguran.Angka kriminalitaspun naik karena para pengangguran juga butuh bertahan hidup. Mereka terpaksa melakukan cara-cara kriminal. Inilah mata rantai kekerasan daerah perkotaan yang berakar pada kebijakan pemerintah, dan bukan semata-mata karena kesalahan rakyat.
*) Peneliti di ELI (Empowerment and Literature Institute) Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung