Oleh: Mardiah*
Banyaknya kalangan mencap perkembangan lembaga pendidikan formal (sekolah) terkini tidak lagi sanggup menjadi media pembebas. Nilai-nilai yang ditanamkan justru mewujud jadi dinding tebal antara peserta didik dengan lingkungan sosial. Lebih parah lagi, sekolah hanya men-transfer of knowladge yang sangat tidak dialogis, karena bukan transfer of value. Institusi sekolah, bahkan lebih melahirkan banyak kesalahan fatal dalam menjalankan perannya sebagai jembatan pemberdayaan dan pembebasan bagi masyarakat. Potret ini seakan jadi pembenar bahwa soal urusan kualitas pengetahuan masyarakat, Indonesia kian tertinggal.
Kini eksistensi sekolah tidak lagi menjadi lembaga yang representatif dalam pengelolaan dan pengembangan SDM secara dinamis dan simultan. Apalagi pesatnya gelombang globalisasi yang harus dimaklumi sebagai sebuah gejala nan dinamis, semakin menuntut pemberdayaan masyarakat secara konsisten dan progresif. Bila kepercayaan terhadap sekolah kian terkikis, maka kemunculan masyarakat tanpa sekolah niscaya akan terjadi. Maraknya pendidikan berbasis komunitas (Community Based Education) di setiap lapisan masyarakat (perkotaan) merupakan bukti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Di sini dapat dipahami, pendidikan sebagai suatu wilayah yang rawan bagi kontaminasi ideologi, cara pandang dan pembentukan kesadaran. Pendidikan seharusnya jadi pembebas manusia dari ketertindasan materiil dan ideologis yang mampu menciptakan pra-kondisi bagi peserta didik untuk terlibat langsung pada realitas dan lingkungan.
Potret tercecer ini kian membuka tabir bahwa kegagalan pendidikan formal lebih disebabkan pada kegagalan membangun sistem pendidikan yang berakar pada tradisi asli. Selama ini, praktek pendidikan formal lebih cenderung merupakan tiruan dari bangsa-bangsa lain. Peniruan memang bukan suatu kesalahan kala didasarkan pada kearifan lokal yang bersumber dari tradisi yang dibangun bangsa sendiri. Sayangnya, praktik pendidikan formal hanya menyentuh wilayah teoritis dan doktrin moral, tanpa melibatkan peserta didik dan guru terhadap peristiwa yang melatar belakangi sebuah teori dan doktrin moral. Padahal teori dan moral hanya jadi bahan kajian, bukan wahana pembelajaran tentang kelahiran sebuah teori dan nilai moral yang membuka ruang bagi keterlibatan kesadaran peserta didik dan guru di dalamnya. Harus disadari persoalan pendidikan bukan sekedar meningkatkan jumlah warga melek sekolah dan bertitel sarjana.
Qaryah Thayyibah (QT) yang didirikan masyarakat Kalibening, Salatiga, Semarang merupakan salah satu contoh lembaga alternatif yang terlahir dari keprihatinan atas problem pendidikan yang kian kronis (A. Bahruddin, 2007). Lembaga QT mengembangkan tradisi, kurikulum, prinsip dan model pembelajaran yang berbeda dengan mainstream institusi sekolah, -- berbeda demi membentuk out put yang tangguh dan mumpuni dalam mengelola sumber daya berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan dan keseimbangan alam.
Sejak Juli 2003, lembaga QT cukup mendapat apresiasi masyarakat, dan memantik para peneliti dari dalam maupun luar negeri. Sistem pendidikan yang sangat birokratis dan sentralistik, komersialisasi lembaga pendidikan merupakan secuil motivator berdirinya QT. Pijakan QT adalah manifestasi semangat pembebasan, perubahan, pemberdayaan, metodelogi yang menyenangkan, basis kompetensi dan komunikatif. Model pendidikan alternatif yang selangkah lebih maju sanggup membedakan dirinya dengan lembaga pendidikan formal. Sejak 1400-1600, sudah terjadi perlawanan terhadap pandangan tersebut, saat dunia sedang terkesima pada quot renaissance (era kelahiran kembali). Seiring dengan perkembangan renaissance, para pakar pendidikan alternatif menganggap, sekolah-sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang tidak memiliki peraturan untuk mendorong siswa mengembangkan kreativitasnya. Sebab mitologi yang berkembang di sekolah cenderung mengklaim, anak adalah obyek pendidikan semata.
Di Indonesia, lembaga pendidikan formal cenderung menempatkan siswa sebagai obyek yang harus dipoles, dimotivasi dan diarahkan, dan itulah opera pendidikan Indonesia, sebuah sistem pendidikan yang mengarahkan siswa mengikuti apa yang dikatakan guru. Sang guru meniru apa yang dilakukan gurunya, gurunya mengikuti apa yang dilakukan kakek guru, dan seterusnya yang terus terjebak dalam ritus geneologi guru yang menyesatkan (Elaine B. Johnson, 2006). Mitos-mitos itu kini diganti dengan kesadaran baru yang menempatkan siswa sebagai manusia yang mampu berpikir kreatif, --proses melibatkan rasa ingin tahu dan bertanya, dan berpikir kritis. Pembelajaran didesain seirama ritme otak untuk menghasilkan makna yang menghubungkan muatan akademik dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari.
Sistem pembelajaran alternatif didasarkan pada filosofi bahwa seorang pembelajar atau siswa akan mau dan mampu menyerap materi pelajaran bila mereka dapat menangkap makna dari materi yang diajarkan. Sistem ini lebih mengarahkan siswa untuk menemukan arti di dalam sebuah proses pembelajaran. Dalam sistem ini siswa dianjurkan membuat hubungan-hubungan penting yang dapat menghasilkan makna, dengan cara mengatur intensitas pembelajarannya sendiri, bekerja sama, berpikir kritis, kreatif, menghargai orang lain, mencapai standar tinggi, dan aktif dalam tugas-tugas penilaian autentik. Ketika siswa dapat mengaitkan sisi mata pelajaran akademik, maka mereka akan menemukan makna. Mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan siswa menjadikan proses belajar lebih hidup, dan itulah inti model pendidikan alternatif.
Pendidikan alternatif mengajarkan langkah-langkah yang dapat digunakan dalam berpikir kritis, kreatif dan memberikan kesempatan untuk menggunakan keahlian berpikir dalam dunia nyata. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistemik, menghadapi berjuta tantangan secara terorganisir, merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi orisinal. Secara praktis, semua itu dapat menjadi pelita bagi para siswa untuk membedakan kebenaran dan kebohongan, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan.
Sementara komunitas guru yang telah mengalami pencerahan tidak lagi terjebak pada ritus, bahwa kecerdasan siswa hanya dapat diukur melalui hasil ujian, tetapi mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidupnya. Berikut beberapa karakteristik guru yang tercerahkan. Pertama, guru mengetahui, menghargai setiap materi yang diajarkan. Setiap tujuan akademik yang diharapkan dapat dikuasai murid, telah dikuasai guru lebih dahulu. Kedua, guru memperhatikan siswa dengan kasih sayang dan kebaikan hati yang tulus. Ketiga, seorang guru akan selalu memahami keadaan unik para siswa baik di dalam maupun di luar sekolah. Keempat, mengenal dan berhubungan dengan setiap siswa dengan cara yang tepat merupakan dasar prestasi akademik seorang guru pada semua tingkatan. Kelima, guru yang tercerahkan adalah mereka yang menyadari bahwa setiap anak sesungguhnya memiliki delapan jenis kecerdasan yang berbeda-beda, misalnya dalam bidang linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-tubuh, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
Inovasi pendidikan alternatif seperti yang dirintis QT sejatinya sanggup menjadi lembaga terbuka untuk semua kalangan, peran memanusiakan manusia, dan semangat perubahan, yang kini telah hilang dari roh institusi pendidikan formal di negeri ini, sepatutnya menjadi bahan kontemplasi bagi pengambil kebijakan. Bahwa cepat atau lambat ramalan Ivan Illic di era 1970-an tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah) akan terjadi. Ketika tingkat pengetahuan dan kedewasaan masyarakat telah berkembang lewat elemen sosial dan budaya, maka institusi sekolah (menurut Illich) tidak lagi dibutuhkan.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram
Banyaknya kalangan mencap perkembangan lembaga pendidikan formal (sekolah) terkini tidak lagi sanggup menjadi media pembebas. Nilai-nilai yang ditanamkan justru mewujud jadi dinding tebal antara peserta didik dengan lingkungan sosial. Lebih parah lagi, sekolah hanya men-transfer of knowladge yang sangat tidak dialogis, karena bukan transfer of value. Institusi sekolah, bahkan lebih melahirkan banyak kesalahan fatal dalam menjalankan perannya sebagai jembatan pemberdayaan dan pembebasan bagi masyarakat. Potret ini seakan jadi pembenar bahwa soal urusan kualitas pengetahuan masyarakat, Indonesia kian tertinggal.
Kini eksistensi sekolah tidak lagi menjadi lembaga yang representatif dalam pengelolaan dan pengembangan SDM secara dinamis dan simultan. Apalagi pesatnya gelombang globalisasi yang harus dimaklumi sebagai sebuah gejala nan dinamis, semakin menuntut pemberdayaan masyarakat secara konsisten dan progresif. Bila kepercayaan terhadap sekolah kian terkikis, maka kemunculan masyarakat tanpa sekolah niscaya akan terjadi. Maraknya pendidikan berbasis komunitas (Community Based Education) di setiap lapisan masyarakat (perkotaan) merupakan bukti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Di sini dapat dipahami, pendidikan sebagai suatu wilayah yang rawan bagi kontaminasi ideologi, cara pandang dan pembentukan kesadaran. Pendidikan seharusnya jadi pembebas manusia dari ketertindasan materiil dan ideologis yang mampu menciptakan pra-kondisi bagi peserta didik untuk terlibat langsung pada realitas dan lingkungan.
Potret tercecer ini kian membuka tabir bahwa kegagalan pendidikan formal lebih disebabkan pada kegagalan membangun sistem pendidikan yang berakar pada tradisi asli. Selama ini, praktek pendidikan formal lebih cenderung merupakan tiruan dari bangsa-bangsa lain. Peniruan memang bukan suatu kesalahan kala didasarkan pada kearifan lokal yang bersumber dari tradisi yang dibangun bangsa sendiri. Sayangnya, praktik pendidikan formal hanya menyentuh wilayah teoritis dan doktrin moral, tanpa melibatkan peserta didik dan guru terhadap peristiwa yang melatar belakangi sebuah teori dan doktrin moral. Padahal teori dan moral hanya jadi bahan kajian, bukan wahana pembelajaran tentang kelahiran sebuah teori dan nilai moral yang membuka ruang bagi keterlibatan kesadaran peserta didik dan guru di dalamnya. Harus disadari persoalan pendidikan bukan sekedar meningkatkan jumlah warga melek sekolah dan bertitel sarjana.
Qaryah Thayyibah (QT) yang didirikan masyarakat Kalibening, Salatiga, Semarang merupakan salah satu contoh lembaga alternatif yang terlahir dari keprihatinan atas problem pendidikan yang kian kronis (A. Bahruddin, 2007). Lembaga QT mengembangkan tradisi, kurikulum, prinsip dan model pembelajaran yang berbeda dengan mainstream institusi sekolah, -- berbeda demi membentuk out put yang tangguh dan mumpuni dalam mengelola sumber daya berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan dan keseimbangan alam.
Sejak Juli 2003, lembaga QT cukup mendapat apresiasi masyarakat, dan memantik para peneliti dari dalam maupun luar negeri. Sistem pendidikan yang sangat birokratis dan sentralistik, komersialisasi lembaga pendidikan merupakan secuil motivator berdirinya QT. Pijakan QT adalah manifestasi semangat pembebasan, perubahan, pemberdayaan, metodelogi yang menyenangkan, basis kompetensi dan komunikatif. Model pendidikan alternatif yang selangkah lebih maju sanggup membedakan dirinya dengan lembaga pendidikan formal. Sejak 1400-1600, sudah terjadi perlawanan terhadap pandangan tersebut, saat dunia sedang terkesima pada quot renaissance (era kelahiran kembali). Seiring dengan perkembangan renaissance, para pakar pendidikan alternatif menganggap, sekolah-sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang tidak memiliki peraturan untuk mendorong siswa mengembangkan kreativitasnya. Sebab mitologi yang berkembang di sekolah cenderung mengklaim, anak adalah obyek pendidikan semata.
Di Indonesia, lembaga pendidikan formal cenderung menempatkan siswa sebagai obyek yang harus dipoles, dimotivasi dan diarahkan, dan itulah opera pendidikan Indonesia, sebuah sistem pendidikan yang mengarahkan siswa mengikuti apa yang dikatakan guru. Sang guru meniru apa yang dilakukan gurunya, gurunya mengikuti apa yang dilakukan kakek guru, dan seterusnya yang terus terjebak dalam ritus geneologi guru yang menyesatkan (Elaine B. Johnson, 2006). Mitos-mitos itu kini diganti dengan kesadaran baru yang menempatkan siswa sebagai manusia yang mampu berpikir kreatif, --proses melibatkan rasa ingin tahu dan bertanya, dan berpikir kritis. Pembelajaran didesain seirama ritme otak untuk menghasilkan makna yang menghubungkan muatan akademik dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari.
Sistem pembelajaran alternatif didasarkan pada filosofi bahwa seorang pembelajar atau siswa akan mau dan mampu menyerap materi pelajaran bila mereka dapat menangkap makna dari materi yang diajarkan. Sistem ini lebih mengarahkan siswa untuk menemukan arti di dalam sebuah proses pembelajaran. Dalam sistem ini siswa dianjurkan membuat hubungan-hubungan penting yang dapat menghasilkan makna, dengan cara mengatur intensitas pembelajarannya sendiri, bekerja sama, berpikir kritis, kreatif, menghargai orang lain, mencapai standar tinggi, dan aktif dalam tugas-tugas penilaian autentik. Ketika siswa dapat mengaitkan sisi mata pelajaran akademik, maka mereka akan menemukan makna. Mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan siswa menjadikan proses belajar lebih hidup, dan itulah inti model pendidikan alternatif.
Pendidikan alternatif mengajarkan langkah-langkah yang dapat digunakan dalam berpikir kritis, kreatif dan memberikan kesempatan untuk menggunakan keahlian berpikir dalam dunia nyata. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistemik, menghadapi berjuta tantangan secara terorganisir, merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi orisinal. Secara praktis, semua itu dapat menjadi pelita bagi para siswa untuk membedakan kebenaran dan kebohongan, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan.
Sementara komunitas guru yang telah mengalami pencerahan tidak lagi terjebak pada ritus, bahwa kecerdasan siswa hanya dapat diukur melalui hasil ujian, tetapi mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidupnya. Berikut beberapa karakteristik guru yang tercerahkan. Pertama, guru mengetahui, menghargai setiap materi yang diajarkan. Setiap tujuan akademik yang diharapkan dapat dikuasai murid, telah dikuasai guru lebih dahulu. Kedua, guru memperhatikan siswa dengan kasih sayang dan kebaikan hati yang tulus. Ketiga, seorang guru akan selalu memahami keadaan unik para siswa baik di dalam maupun di luar sekolah. Keempat, mengenal dan berhubungan dengan setiap siswa dengan cara yang tepat merupakan dasar prestasi akademik seorang guru pada semua tingkatan. Kelima, guru yang tercerahkan adalah mereka yang menyadari bahwa setiap anak sesungguhnya memiliki delapan jenis kecerdasan yang berbeda-beda, misalnya dalam bidang linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-tubuh, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
Inovasi pendidikan alternatif seperti yang dirintis QT sejatinya sanggup menjadi lembaga terbuka untuk semua kalangan, peran memanusiakan manusia, dan semangat perubahan, yang kini telah hilang dari roh institusi pendidikan formal di negeri ini, sepatutnya menjadi bahan kontemplasi bagi pengambil kebijakan. Bahwa cepat atau lambat ramalan Ivan Illic di era 1970-an tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah) akan terjadi. Ketika tingkat pengetahuan dan kedewasaan masyarakat telah berkembang lewat elemen sosial dan budaya, maka institusi sekolah (menurut Illich) tidak lagi dibutuhkan.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram

Tidak ada komentar:
Posting Komentar