REFLEKSI
Oleh: M. Mu’tashim Billah*
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan sehingga kedatangannya selayaknyalah untuk kita sambut dengan sukacita. Rasa sukacita inilah yang kemudian di coba untuk diekspresikan oleh umat muslim seluruh dunia dengan berbagai macam bentuk dan caranya. Sebagaimana kita bisa melihat di negara kita yang mayoritas muslim, persiapan menyambut bulan ramadhan di buat sedemikian rupa mulai dari pengajian-pengajian hingga hiburan.
Setelah ramadhan tiba kebisaaan harian menjadi sangat berbeda dengan kebiasaan pada sebelas bulan lainnya bahkan ada yang terkesan berlebihan sehingga muncul reaksi dari beberapa kalangan yang menilai bahwa ramadhan dari tahun-ketahun tak ubahnya hanya sekedar menjadi tontonan, teater dan karnaval sosial. Tuduhan itu memang sangat beralasan mengingat kita bisa lihat dilayar kaca setiap berbuka dan sahur, berbagai macam tontonan dengan atribut-atribut keislaman ditunjukkan dan ditonjolkan sedemikian rupa.
Namun antara euforia ritualitas ataupun klaim-klaim yang ada dalam ekspresi religiusitas di bulan ramadhan, kita hanya bisa menangkap klaim kebenaran pada masing-masing kelompok dan hal ini tidak produktif untuk dibicarakan dan menurut hemat penulis, antara nafsu dan cinta ada benang yang sangat tipis. Sehingga sangat memungkinkan ekspresi religiusitas di bulan Ramadhan adalah karena kebesaran cintanya pada bulan rahmat ini dan bisa juga karena nafsu menginginkan sesuatu yang lain setelah sebelas bulan menjalankan hari-hari yang sama. Segalanya tetap dikembalikan pada individu yang menjalankannya.
Alangkah baiknya jika kita lebih mengalihkan konsentrasi kita untuk menyesuaikan diri dengan momentum yang ada guna mengambil hikmah dari ekspresi religiusitas kita sebagai muslim demi memperkuat keimanan kita dan untuk selanjutnya memperkokoh keutuhan berbangsa, bernegara dan beragama untuk maju bersama menuju masa depan yang lebih baik ditengah keterpurukan nasional. Mulai dari krisis ekonomi yang masih belum melepaskan cengkeramannya, bencana alam yang tiada henti dan bencana kemanusiaan yang semakin menggerogoti rasa percaya pada sesama. Dalam hal ini menarik kita membaca tulisan Fahmi AP Pane tentang hikmah puasa dalam pemulihan ekonomi kita.
Bahwa dalam ekspresi religiusitas di bulan Ramadhan, ada enam poin yang bisa kita ambil hikmahnya. Pertama, peningkatan kedisiplinan dan produktifitas kerja. Dengan puasa umat dituntut untuk mengatur waktu sedemikian rupa. Bangun jauh sebelum waktu subuh untuk mempersiapkan sahur sehingga dapat beribadah dengan tenang ketika waktu shubuh tiba. Jika kita tarik pada dunia kerja, kita dituntut untuk membuat perencanaan harian pada saat pikiran segar sekaligus tepat waktu ketika masuk kerja. Namun penalaran pada sisi positif ini kebanyakan tidak terjadi, justru sebaliknya puasa dimanfaatkan untuk menjustifikasi tidur lebih banyak daripada beraktifitas.
Kedua, penghematan. Ketika kedisiplinan tertanam dan produktifitas meningkat tentunya akal kita akan terbisaa dengan bekerja seefisien mungkin sehingga tidak perlu adanya kerja lembur yang akan membuat pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Penghematan waktu kerja dapat menyisakan waktu luang yang bisa digunakan untuk memperbanyak ibadah dan bercengkrama dengan keluarga dan lingkungan.
Ketiga, memahami perbedaan antara kebutuhan dan kemauan manusia. Bahwa kemauan manusia tidak terbatas sementara kebutuhan manusia sangat terbatas sebagaimana pengalaman ketika pola makan dan minum kita tidak terkontrol saat berbuka karena tertahan seharian penuh berpuasa, maka akan menimbulkan sakit perut, mengantuk dan malas sehingga untuk bergerak saja enggan terlebih lagi untuk beribadah. Pane lebih jauh menyoroti tentang masalah ini bahwa kurang dipahaminya perbedaan antara kebutuhan dan kemauan manusia dapat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurutnya Ideologi kapitalisme-sekularisme yang menjadi ideologi global saat ini beranggapan bahwa kebutuhan dan kemauan manusia itu sama, keduanya tidak terbatas hanya saja pemuas kebutuhan dan pemenuhan kemauan manusia masih kurang dan terbatas sehingga Negara yang terjebak ideologi ini akan lebih mengedepankan pertumbuhan tanpa melihat apakah produksi barang dan jasa telah memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya.
Negara mengira pertumbuhan produksi yang tinggi, karena asumsi kebutuhan manusia tidak terbatas, akan memenuhi kebutuhan masyarakat. Menggenjot sektor yang memproduksi dan mengekspor produk yang berharga atau memberikan tingkat pengembalian (return) tinggi, seperti otomotif dan produk finansial dapat memudahkan capaian angka pertumbuhan tinggi. Padahal, harga produk tertinggi tidak berarti barang dan jasa yang paling dibutuhkan. Makanan pokok lebih murah namun lebih dibutuhkan daripada pemenuhan barang-barang mewah.
Keempat, semangat menolong sesama. Jika kemauan disejajarkan dengan kebutuhan, maka manusia tidak akan berhenti untuk mencari segala sesuatu yang diinginkannya untuk kemudian dianggapnya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkannya tanpa dilandasi keterbatasan kapasitas kemanusiaannya. Namun dengan kesadaran perbedaan kemauan dan kebutuhan manusia, maka akan timbul semangat menolong sesame. Segala yang dimiliki diupayakan untuk bermanfaat sehingga simpanan yang tidak produktif akan berkurang dan digantikan menjadi aktifitas zakat, infak dan shadaqah.
Kelima, kejujuran. Berpuasa menuntut kita untuk jujur pada diri sendiri, lingkungan disekitar kita tidak dapat mengetahui secara pasti tentang pelaksanaan puasa kita. Sikap merasa diawasi Allah memaksa kita untuk jujur pada diri sendiri. Kesadaran ini dapat berdampak pada aktifitas lain semisal kita harus menghindari korupsi dan kolusi yang sampai saat ini tidak pernah selesai.
Keenam, meyakini ganjaran. Dengan menjalankan ibadah puasa yang dijamin akan diberikan pahala langsung dari Allah SWT. Segala aktifitas yang kita jalankan dengan ikhlas demi kebaikan akan diganjar dengan sesuatu yang lebih besar daripada upaya kita. Keyakinan seperti ini bisa kita tarik pada kepercayaan bahwa hukum-hukum Allah di semua aspek kehidupan dapat berlaku dengan perbaikan ekonomi, kestabilan politik, keamanan dan kenyamanan lingkungan yang saat ini masih dihantui sekian bencana.
*) Peneliti pada Komunitas DAUN LONTAR Yogyakarta.
Oleh: M. Mu’tashim Billah*
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan sehingga kedatangannya selayaknyalah untuk kita sambut dengan sukacita. Rasa sukacita inilah yang kemudian di coba untuk diekspresikan oleh umat muslim seluruh dunia dengan berbagai macam bentuk dan caranya. Sebagaimana kita bisa melihat di negara kita yang mayoritas muslim, persiapan menyambut bulan ramadhan di buat sedemikian rupa mulai dari pengajian-pengajian hingga hiburan.
Setelah ramadhan tiba kebisaaan harian menjadi sangat berbeda dengan kebiasaan pada sebelas bulan lainnya bahkan ada yang terkesan berlebihan sehingga muncul reaksi dari beberapa kalangan yang menilai bahwa ramadhan dari tahun-ketahun tak ubahnya hanya sekedar menjadi tontonan, teater dan karnaval sosial. Tuduhan itu memang sangat beralasan mengingat kita bisa lihat dilayar kaca setiap berbuka dan sahur, berbagai macam tontonan dengan atribut-atribut keislaman ditunjukkan dan ditonjolkan sedemikian rupa.
Namun antara euforia ritualitas ataupun klaim-klaim yang ada dalam ekspresi religiusitas di bulan ramadhan, kita hanya bisa menangkap klaim kebenaran pada masing-masing kelompok dan hal ini tidak produktif untuk dibicarakan dan menurut hemat penulis, antara nafsu dan cinta ada benang yang sangat tipis. Sehingga sangat memungkinkan ekspresi religiusitas di bulan Ramadhan adalah karena kebesaran cintanya pada bulan rahmat ini dan bisa juga karena nafsu menginginkan sesuatu yang lain setelah sebelas bulan menjalankan hari-hari yang sama. Segalanya tetap dikembalikan pada individu yang menjalankannya.
Alangkah baiknya jika kita lebih mengalihkan konsentrasi kita untuk menyesuaikan diri dengan momentum yang ada guna mengambil hikmah dari ekspresi religiusitas kita sebagai muslim demi memperkuat keimanan kita dan untuk selanjutnya memperkokoh keutuhan berbangsa, bernegara dan beragama untuk maju bersama menuju masa depan yang lebih baik ditengah keterpurukan nasional. Mulai dari krisis ekonomi yang masih belum melepaskan cengkeramannya, bencana alam yang tiada henti dan bencana kemanusiaan yang semakin menggerogoti rasa percaya pada sesama. Dalam hal ini menarik kita membaca tulisan Fahmi AP Pane tentang hikmah puasa dalam pemulihan ekonomi kita.
Bahwa dalam ekspresi religiusitas di bulan Ramadhan, ada enam poin yang bisa kita ambil hikmahnya. Pertama, peningkatan kedisiplinan dan produktifitas kerja. Dengan puasa umat dituntut untuk mengatur waktu sedemikian rupa. Bangun jauh sebelum waktu subuh untuk mempersiapkan sahur sehingga dapat beribadah dengan tenang ketika waktu shubuh tiba. Jika kita tarik pada dunia kerja, kita dituntut untuk membuat perencanaan harian pada saat pikiran segar sekaligus tepat waktu ketika masuk kerja. Namun penalaran pada sisi positif ini kebanyakan tidak terjadi, justru sebaliknya puasa dimanfaatkan untuk menjustifikasi tidur lebih banyak daripada beraktifitas.
Kedua, penghematan. Ketika kedisiplinan tertanam dan produktifitas meningkat tentunya akal kita akan terbisaa dengan bekerja seefisien mungkin sehingga tidak perlu adanya kerja lembur yang akan membuat pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Penghematan waktu kerja dapat menyisakan waktu luang yang bisa digunakan untuk memperbanyak ibadah dan bercengkrama dengan keluarga dan lingkungan.
Ketiga, memahami perbedaan antara kebutuhan dan kemauan manusia. Bahwa kemauan manusia tidak terbatas sementara kebutuhan manusia sangat terbatas sebagaimana pengalaman ketika pola makan dan minum kita tidak terkontrol saat berbuka karena tertahan seharian penuh berpuasa, maka akan menimbulkan sakit perut, mengantuk dan malas sehingga untuk bergerak saja enggan terlebih lagi untuk beribadah. Pane lebih jauh menyoroti tentang masalah ini bahwa kurang dipahaminya perbedaan antara kebutuhan dan kemauan manusia dapat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurutnya Ideologi kapitalisme-sekularisme yang menjadi ideologi global saat ini beranggapan bahwa kebutuhan dan kemauan manusia itu sama, keduanya tidak terbatas hanya saja pemuas kebutuhan dan pemenuhan kemauan manusia masih kurang dan terbatas sehingga Negara yang terjebak ideologi ini akan lebih mengedepankan pertumbuhan tanpa melihat apakah produksi barang dan jasa telah memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya.
Negara mengira pertumbuhan produksi yang tinggi, karena asumsi kebutuhan manusia tidak terbatas, akan memenuhi kebutuhan masyarakat. Menggenjot sektor yang memproduksi dan mengekspor produk yang berharga atau memberikan tingkat pengembalian (return) tinggi, seperti otomotif dan produk finansial dapat memudahkan capaian angka pertumbuhan tinggi. Padahal, harga produk tertinggi tidak berarti barang dan jasa yang paling dibutuhkan. Makanan pokok lebih murah namun lebih dibutuhkan daripada pemenuhan barang-barang mewah.
Keempat, semangat menolong sesama. Jika kemauan disejajarkan dengan kebutuhan, maka manusia tidak akan berhenti untuk mencari segala sesuatu yang diinginkannya untuk kemudian dianggapnya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkannya tanpa dilandasi keterbatasan kapasitas kemanusiaannya. Namun dengan kesadaran perbedaan kemauan dan kebutuhan manusia, maka akan timbul semangat menolong sesame. Segala yang dimiliki diupayakan untuk bermanfaat sehingga simpanan yang tidak produktif akan berkurang dan digantikan menjadi aktifitas zakat, infak dan shadaqah.
Kelima, kejujuran. Berpuasa menuntut kita untuk jujur pada diri sendiri, lingkungan disekitar kita tidak dapat mengetahui secara pasti tentang pelaksanaan puasa kita. Sikap merasa diawasi Allah memaksa kita untuk jujur pada diri sendiri. Kesadaran ini dapat berdampak pada aktifitas lain semisal kita harus menghindari korupsi dan kolusi yang sampai saat ini tidak pernah selesai.
Keenam, meyakini ganjaran. Dengan menjalankan ibadah puasa yang dijamin akan diberikan pahala langsung dari Allah SWT. Segala aktifitas yang kita jalankan dengan ikhlas demi kebaikan akan diganjar dengan sesuatu yang lebih besar daripada upaya kita. Keyakinan seperti ini bisa kita tarik pada kepercayaan bahwa hukum-hukum Allah di semua aspek kehidupan dapat berlaku dengan perbaikan ekonomi, kestabilan politik, keamanan dan kenyamanan lingkungan yang saat ini masih dihantui sekian bencana.
*) Peneliti pada Komunitas DAUN LONTAR Yogyakarta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar