SOROT
OLEH: SULIS STYAWAN*
Wabah virus flu burung ‘virus influenza subtipe A jenis H5N1’ kembali mengganas hampir di seluruh daerah Indonesia (31 provinsi). Beberapa kasus, baik dugaan (suspect) maupun yang telah dikonfirmasi (confirmed) telah dilaporkan. Hingga pertengahan Agustus 2007, setidaknya telah ditemukan kasus akumulatif sebanyak 104 kasus dan 84 di antaranya meninggal dunia menyusul meninggalnya seorang warga Sukabumi (Jawa Barat) dan 2 warga Bali akibat positif terinfeksi virus H5N1.
Jika dilihat dari jumlah kasus yang meninggal, Indonesia adalah peringkat kedua setelah Vietnam, dengan 42 angka kematian. Namun, berbeda dengan Indonesia, sejauh ini tidak ada laporan dari Vietnam dan negara Asia Tenggara lain bahwa sebelumnya virus H5N1 juga mewabah. Bahkan, di Vietnam, yang juga merupakan negara dengan kasus akumulatif cukup banyak (93 kasus dan 42 di antaranya meninggal dunia), sejak 2006 sampai saat ini, belum ada laporan tentang kasus H5N1 pada manusia.
Kenapa ini bisa terjadi? Mungkin kita harus belajar belajar banyak tentang cara penanggulangan yang dilakukan di Vietnam. Lebih dari itu, masih adanya kasus kematian pasien akibat terinfeksi virus H5N1, menjadi petunjuk bahwa di negeri berpenghuni 220 juta jiwa ini, virus flu burung senyatanya belum tuntas diberantas.
Pandemi
Para ahli influenza memperingatkan bahwa secara histori, pandemi influenza terjadi setiap 11 sampai 42 tahun. Pandemi influenza terburuk sepanjang sejarah adalah ‘Spanish Flu’ (H1N1) yang terjadi pada 1918-1919. Pandemi yang terakhir adalah ‘Hong Kong Flu’ (H3N2) pada 1968-1969. Pertanyaannya sekarang, apakah kembalinya wabah virus H5N1 di Indonesia merupakan pertanda mulainya pandemi berikutnya?
Jika ditelusuri lebih jauh, sedikitnya, ada tiga hal yang membuat flu burung memiliki ‘peluang’ untuk menjadi pandemi. Pertama adalah kemampuan virus H5N1 untuk menginfeksi manusia.Virus H5N1, mulanya hanya bisa menginfeksi jenis burung dan hewan kelompok unggas. Namun saat ini, ternyata sudah terdapat indikasi bahwa virus flu burung bisa menjangkiti hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan babi. Virus ini kemudian bermutasi sehingga berubah menjadi virus yang bisa menginfeksi manusia.
Kedua, tidak adanya kekebalan manusia (imunitas) terhadap virus H5N1 adalah faktor penunjang terjadinya pandemi. Karena sebelumnya manusia belum pernah terekspos virus itu, maka hampir semua manusia tidak memiliki antibodi yang bisa menetralkan virus H5N1. Tak pelak, virus dengan leluasa menginfeksi sel-sel manusia dan merusaknya hingga menimbulkan efek fatal. Ketiga, bahwa sifat patogen virus H5N1 memang sangat tinggi. Berdasar data WHO, secara global (hingga akhir 2006), telah terjadi 267 kasus H5N1 pada manusia dan 161 di antaranya meninggal dunia. Jika dihitung, tingkat kefatalan/mortalitas dari virus ini adalah 60 persen. Khusus untuk Indonesia, tingkat kefatalan malah lebih tinggi, yaitu 80,76 persen (84/104). Angka ini jauh lebih tinggi dari tingkat kefatalan virus SARS, virus yang kita takuti dan mewabah di berbagai penjuru dunia beberapa tahun lalu dengan tingkat kefatalan yang ‘hanya’ sekitar 10 persen.
Faktor lain yang menjadi kunci terjadinya pandemi adalah kemampuan virus untuk menular dari manusia ke manusia. Meski hingga saat ini belum terbukti adanya penularan antarmanusia, namun beberapa kasus menunjukkan indikasi penularan dari manusia ke manusia. Salah satu hasil riset dengan mengambil sampel satu keluarga di Thailand telah membuktikan kemungkinan terjadinya penularan antarmanusia di dalam satu keluarga. Meski keluarga tersebut tak pernah kontak dengan burung, ternyata ada yang terinfeksi. Bahkan, ketika ada familinya yang datang dari tempat jauh yang bukan daerah endemi flu burung, ternyata juga terinfeksi setelah menunggui si pasien yang telah terinfeksi virus H5N1 itu. Begitu juga di Indonesia, ditengarai ada beberapa cluster H5N1 (kelompok yang terinfeksi) dalam keluarga (Ungchusak et al, 2005).
Jadi, menyikapi kian merebak dan mengganasnya wabah flu burung ini, kita memang harus ekstra waspada karena kunci terjadinya pandemi flu H5N1 adalah kemampuan virus untuk menular antarmanusia yang mungkin hanya memerlukan mutasi tunggal pada genomnya. Sedangkan untuk berubah karakter supaya bisa menular antarmanusia, pada virus ini bisa terjadi dengan dua cara. Pertama, melalui mutasi, seperti yang terjadi pada virus penyebab ‘Spanish Flu’. Kedua, melalui rekombinasi (reassortment) antara virus influenza burung dengan influenza manusia, seperti yang terjadi pada kasus ‘Hong Kong Flu’ tahun 1968. Banyak ahli yang berpendapat bahwa perubahan genetika yang memfasilitasi penularan antarmanusia tidak terjadi pada H5N1. Analisis genetika menunjukan bahwa baik virus H1N1 yang mewabah pada 1918 maupun virus H5N1 masih memiliki virus gen avian influenza, bukan virus human influenza. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa dalam waktu hampir 10 tahun sejak menginfeksi manusia pada 1997 sampai sekarang virus H5N1 belum berubah menjadi virus yang bisa menular antarmanusia. Jika dugaan tersebut benar, maka virus H5N1 memang patogen terhadap burung dan hanya secara ‘kebetulan’ dapat menginfeksi manusia yang mempunyai kontak langsung dengan burung yang terinfeksi.
Lalu, apakah kita percaya dengan skenario yang optimistis itu? Entahlah. Yang pasti, karena hal ini susah diperhitungkan, maka orang umumnya berpendapat bahwa kita harus siap untuk skenario yang ‘terburuk’. Pengalaman pandemi flu pada 1918 bisa dijadikan dasar untuk persiapan pandemi H5N1. Hal itu disebabkan kemiripan sifat dan atau karakter dari kedua virus tersebut. Misalnya, kebanyakan pasien adalah anak-anak.
Yang Bisa Dilakukan
Kita tentu berharap agar jenis virus mematikan ini tidak menjadi pandemi di Indonesia. Upaya keras nan serius guna mencegah agar virus flu burung tidak kian merebak harus terus kita galakkan. Di samping intervensi untuk mengurangi jumlah burung atau hewan golongan unggas yang terinfeksi, semisal dengan menyemprotkan desinfektan serta memusnahkan unggas di lokasi yang telah menjadi endemik flu burung. Sedikitnya terdapat tiga senjata utama untuk pengontrolan penyebaran virus antar manusia yaitu vaksin, obat antivirus dan isolasi pasien dari komunitas (Bartlett, 2006).
Untuk senjata pertama, yakni dengan vaksin, sepertinya hal ini ini sulit diterapkan karena kita belum siap dengan vaksin H5N1. Kita tak bisa berharap banyak karena produksi vaksin H5N1 saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan dunia. Apalagi sebagai negara ketiga, bisa dipastikan Indonesia tidak akan mendapatkan prioritas untuk memperoleh vaksin.
Senjata kedua, berupa obat antivirus, sangat memungkinkan untuk dilakukan jika dan hanya jika ada perhatian dari pemerintah mengingat cara ini membutuhkan dana yang cukup besar. Oseltamivir yang merupakan komponen dari jenis antivirus H5N1, Tamiflu terbukti efektif terhadap influenza, termasuk H5N1. Terlebih saat ini, perusahaan dalam negeri telah mendapatkan izin untuk produksi Tamiflu. Strategi yang ketiga adalah isolasi pasien. Menurut model pandemik 1918, ternyata sepertiga dari penularan terjadi dalam keluarga, sepertiga terjadi pada tempat kerja atau sekolah, dan sepertiga terjadi di komunitas umum (Ferguson et al, 2006). Karena itu, jika ditemukan kasus, maka langkah berupa pemisahan pasien perlu harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran virus yang lebih luas.
*) Mahasiswa Jurdik Fisika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS), Yogyakarta.
OLEH: SULIS STYAWAN*
Wabah virus flu burung ‘virus influenza subtipe A jenis H5N1’ kembali mengganas hampir di seluruh daerah Indonesia (31 provinsi). Beberapa kasus, baik dugaan (suspect) maupun yang telah dikonfirmasi (confirmed) telah dilaporkan. Hingga pertengahan Agustus 2007, setidaknya telah ditemukan kasus akumulatif sebanyak 104 kasus dan 84 di antaranya meninggal dunia menyusul meninggalnya seorang warga Sukabumi (Jawa Barat) dan 2 warga Bali akibat positif terinfeksi virus H5N1.
Jika dilihat dari jumlah kasus yang meninggal, Indonesia adalah peringkat kedua setelah Vietnam, dengan 42 angka kematian. Namun, berbeda dengan Indonesia, sejauh ini tidak ada laporan dari Vietnam dan negara Asia Tenggara lain bahwa sebelumnya virus H5N1 juga mewabah. Bahkan, di Vietnam, yang juga merupakan negara dengan kasus akumulatif cukup banyak (93 kasus dan 42 di antaranya meninggal dunia), sejak 2006 sampai saat ini, belum ada laporan tentang kasus H5N1 pada manusia.
Kenapa ini bisa terjadi? Mungkin kita harus belajar belajar banyak tentang cara penanggulangan yang dilakukan di Vietnam. Lebih dari itu, masih adanya kasus kematian pasien akibat terinfeksi virus H5N1, menjadi petunjuk bahwa di negeri berpenghuni 220 juta jiwa ini, virus flu burung senyatanya belum tuntas diberantas.
Pandemi
Para ahli influenza memperingatkan bahwa secara histori, pandemi influenza terjadi setiap 11 sampai 42 tahun. Pandemi influenza terburuk sepanjang sejarah adalah ‘Spanish Flu’ (H1N1) yang terjadi pada 1918-1919. Pandemi yang terakhir adalah ‘Hong Kong Flu’ (H3N2) pada 1968-1969. Pertanyaannya sekarang, apakah kembalinya wabah virus H5N1 di Indonesia merupakan pertanda mulainya pandemi berikutnya?
Jika ditelusuri lebih jauh, sedikitnya, ada tiga hal yang membuat flu burung memiliki ‘peluang’ untuk menjadi pandemi. Pertama adalah kemampuan virus H5N1 untuk menginfeksi manusia.Virus H5N1, mulanya hanya bisa menginfeksi jenis burung dan hewan kelompok unggas. Namun saat ini, ternyata sudah terdapat indikasi bahwa virus flu burung bisa menjangkiti hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan babi. Virus ini kemudian bermutasi sehingga berubah menjadi virus yang bisa menginfeksi manusia.
Kedua, tidak adanya kekebalan manusia (imunitas) terhadap virus H5N1 adalah faktor penunjang terjadinya pandemi. Karena sebelumnya manusia belum pernah terekspos virus itu, maka hampir semua manusia tidak memiliki antibodi yang bisa menetralkan virus H5N1. Tak pelak, virus dengan leluasa menginfeksi sel-sel manusia dan merusaknya hingga menimbulkan efek fatal. Ketiga, bahwa sifat patogen virus H5N1 memang sangat tinggi. Berdasar data WHO, secara global (hingga akhir 2006), telah terjadi 267 kasus H5N1 pada manusia dan 161 di antaranya meninggal dunia. Jika dihitung, tingkat kefatalan/mortalitas dari virus ini adalah 60 persen. Khusus untuk Indonesia, tingkat kefatalan malah lebih tinggi, yaitu 80,76 persen (84/104). Angka ini jauh lebih tinggi dari tingkat kefatalan virus SARS, virus yang kita takuti dan mewabah di berbagai penjuru dunia beberapa tahun lalu dengan tingkat kefatalan yang ‘hanya’ sekitar 10 persen.
Faktor lain yang menjadi kunci terjadinya pandemi adalah kemampuan virus untuk menular dari manusia ke manusia. Meski hingga saat ini belum terbukti adanya penularan antarmanusia, namun beberapa kasus menunjukkan indikasi penularan dari manusia ke manusia. Salah satu hasil riset dengan mengambil sampel satu keluarga di Thailand telah membuktikan kemungkinan terjadinya penularan antarmanusia di dalam satu keluarga. Meski keluarga tersebut tak pernah kontak dengan burung, ternyata ada yang terinfeksi. Bahkan, ketika ada familinya yang datang dari tempat jauh yang bukan daerah endemi flu burung, ternyata juga terinfeksi setelah menunggui si pasien yang telah terinfeksi virus H5N1 itu. Begitu juga di Indonesia, ditengarai ada beberapa cluster H5N1 (kelompok yang terinfeksi) dalam keluarga (Ungchusak et al, 2005).
Jadi, menyikapi kian merebak dan mengganasnya wabah flu burung ini, kita memang harus ekstra waspada karena kunci terjadinya pandemi flu H5N1 adalah kemampuan virus untuk menular antarmanusia yang mungkin hanya memerlukan mutasi tunggal pada genomnya. Sedangkan untuk berubah karakter supaya bisa menular antarmanusia, pada virus ini bisa terjadi dengan dua cara. Pertama, melalui mutasi, seperti yang terjadi pada virus penyebab ‘Spanish Flu’. Kedua, melalui rekombinasi (reassortment) antara virus influenza burung dengan influenza manusia, seperti yang terjadi pada kasus ‘Hong Kong Flu’ tahun 1968. Banyak ahli yang berpendapat bahwa perubahan genetika yang memfasilitasi penularan antarmanusia tidak terjadi pada H5N1. Analisis genetika menunjukan bahwa baik virus H1N1 yang mewabah pada 1918 maupun virus H5N1 masih memiliki virus gen avian influenza, bukan virus human influenza. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa dalam waktu hampir 10 tahun sejak menginfeksi manusia pada 1997 sampai sekarang virus H5N1 belum berubah menjadi virus yang bisa menular antarmanusia. Jika dugaan tersebut benar, maka virus H5N1 memang patogen terhadap burung dan hanya secara ‘kebetulan’ dapat menginfeksi manusia yang mempunyai kontak langsung dengan burung yang terinfeksi.
Lalu, apakah kita percaya dengan skenario yang optimistis itu? Entahlah. Yang pasti, karena hal ini susah diperhitungkan, maka orang umumnya berpendapat bahwa kita harus siap untuk skenario yang ‘terburuk’. Pengalaman pandemi flu pada 1918 bisa dijadikan dasar untuk persiapan pandemi H5N1. Hal itu disebabkan kemiripan sifat dan atau karakter dari kedua virus tersebut. Misalnya, kebanyakan pasien adalah anak-anak.
Yang Bisa Dilakukan
Kita tentu berharap agar jenis virus mematikan ini tidak menjadi pandemi di Indonesia. Upaya keras nan serius guna mencegah agar virus flu burung tidak kian merebak harus terus kita galakkan. Di samping intervensi untuk mengurangi jumlah burung atau hewan golongan unggas yang terinfeksi, semisal dengan menyemprotkan desinfektan serta memusnahkan unggas di lokasi yang telah menjadi endemik flu burung. Sedikitnya terdapat tiga senjata utama untuk pengontrolan penyebaran virus antar manusia yaitu vaksin, obat antivirus dan isolasi pasien dari komunitas (Bartlett, 2006).
Untuk senjata pertama, yakni dengan vaksin, sepertinya hal ini ini sulit diterapkan karena kita belum siap dengan vaksin H5N1. Kita tak bisa berharap banyak karena produksi vaksin H5N1 saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan dunia. Apalagi sebagai negara ketiga, bisa dipastikan Indonesia tidak akan mendapatkan prioritas untuk memperoleh vaksin.
Senjata kedua, berupa obat antivirus, sangat memungkinkan untuk dilakukan jika dan hanya jika ada perhatian dari pemerintah mengingat cara ini membutuhkan dana yang cukup besar. Oseltamivir yang merupakan komponen dari jenis antivirus H5N1, Tamiflu terbukti efektif terhadap influenza, termasuk H5N1. Terlebih saat ini, perusahaan dalam negeri telah mendapatkan izin untuk produksi Tamiflu. Strategi yang ketiga adalah isolasi pasien. Menurut model pandemik 1918, ternyata sepertiga dari penularan terjadi dalam keluarga, sepertiga terjadi pada tempat kerja atau sekolah, dan sepertiga terjadi di komunitas umum (Ferguson et al, 2006). Karena itu, jika ditemukan kasus, maka langkah berupa pemisahan pasien perlu harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran virus yang lebih luas.
*) Mahasiswa Jurdik Fisika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS), Yogyakarta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar