Selasa

Gandhi Melangkah, Damai Bersemi

Wartawan Menulis, Konflik Meruncing
OLEH: BENY ULEANDER
Konon ada tiga hal yang terindah di dunia ini. Pertama, melihat orang yang sujud bersembahyang. Kedua, melihat orang yang menangis (menderita) demi cinta. Ketiga, melihat orang yang menebar damai dalam setiap jejak langkahnya.
Damai itu indah! Sayang, pribadi-pribadi yang mencintai damai cuma segelintir saja. Mahatma Gandhi, salah satu figur besar dalam sejarah perjuangan manusia melawan kekerasan tanpa menggunakan jalan kekerasan. Gandhi menjadi besar tatkala ia menempatkan jalan damai sebagai pilihan hidup untuk meretas kedamaian di muka bumi. Sikap tegas Gandhi ini melawan langsung adagium populer si vis pacem para bellum; jika anda menginginkan damai, bersiaplah untuk berperang!
Sosok Gandhi sang penebar sikap antikekerasan (ahimsa) dari daratan India menjadi inspirasi bagi seniman Suhas Bahulkar (1954) yang merindukan suatu dunia di mana umat manusia yang berbeda agama hidup bersama, saling bekerja sama, menghormati perbedaan dan keunikan masing-masing. Lukisan Bahulkar tentang Gandhi yang berjalan menebar jejak damai dipublikasikan untuk menginspasi pekerja pers agar menebar damai lewat goresan pena.
Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa pena wartawan lebih tajam dari bayonet. Ini sebuah tantangan bagi insan pers untuk lebih mempertegas visi dalam mengelola sebuah penerbitan media massa. Sebab saat ini, media massa tumbuh bebas. Dan banyak di antaranya menjadi media ‘kuning’ yang menyajikan berita ‘main-tembak’ untuk memperoleh duit tanpa mempedulikan peran media sebagai alat kontrol sosial dan jendela informasi publik.
Pers juga sukses mengungkap berbagai tindak kekerasan yang dialami suatu kelompok/suku bangsa sehingga diketahui dunia luar. Hal ini dialami rakyat Palestina yang mengalami pembunuhan massal oleh Israel selama bertahun-tahun, tapi tidak diketahui oleh dunia internasional. Aksi kejam Israel mulai berkurang setelah diberitakan secara luas dan transparan oleh pers asing kepada masyarakat internasional. “Selama bertahun-tahun rakyat kami dibunuh dengan leluasa oleh Israel,” ujar Saed Jamal Abu Hijleh (41), Direktur Departemen Hubungan Internasional Universitas Najleh, Palestina. Ini sebuah contoh bahwa pemberitaan pers efektif mengurangi aksi tindak kejahatan (genocide).
Ketua Pelaksana Harian Nasional Unesco untuk Indonesia Dr Arief Rachman menilai maraknya pertumbuhan rumah produksi saat ini sangat strategis untuk mendukung perdamaian. Hal-hal humaniora bila dikemas menarik bisa menjadi media penanaman nilai-nilai perdamaian. “Sebab penyampain pesan melalui gambar masih cocok dengan karakter masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pendengar bukan masyarakat pembaca,” ujarnya.
Satu upaya nyata menghapus rasa benci dan stereotip negatif layak ditiru pekerja pers dari Nancy Hunt Direktur We Are Family Foundation. Sejak perisitiwa bom 11 September 2001, kebencian orang Amerika terhadap umat muslim dan Arab berkembang pesat. Ia pun berusaha melawan steoretip negatif itu dengan memproduksi berbagai film animasi tentang dunia binatang yang bisa hidup rukun. “Upaya ini untuk menanamkan bibit solidaritas dan perdamaian di lubuk hati anak-anak sebagai generasi penerus,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung