WACANA
OLEH: HIMAWAN KRISTIANTO*
Setiap tanggal 20 Mei, kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Bila berbicara nasionalisme dalam konteks keberagaman, kita harus berusaha menemukan ikatan dasar dari sebuah nation. Kita memang belum punya definisi yang baik tentang konsep nasionalisme. Yang kita tahu, nasionalisme adalah perekat dari keberagaman budaya, agama, etnis, suku, dan juga ideologi. Meski pada dasarnya selalu saja terdapat kepentingan yang harus disisihkan dan dikorbankan untuk nasionalisme dan integrasi Indonesia kita. Jika masyarakat yang membawa kepentingan itu sudah tak bersedia berkorban lagi atas nama nasionalisme, maka tunggu dan hitunglah saja akan seberapa lama usia integrasi kita.
Pada hakikatnya nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralisme sebagai konteks dan wacana utama. Toh, sejarah telah berbicara banyak tentang kegagalan "payung nasionalisme" dalam menyatukan hati dan pikiran rakyat yang cukup melankolik. Runtuhnya dua negara besar di dunia, Yugoslavia dan Uni Soviet, mungkin bisa dijadikan contoh yang baik dari kegagalan nasionalisme sebagai faktor perekat yang mampu menjaga keutuhan dan masa depan sebuah negara-bangsa. Kita telah menyaksikan parade keruntuhan bangsa yang relatif besar bahkan sangat besar tersebut. Setelah melalui proses yang panjang, kedua bangsa besar tersebut akhirnya pecah dan berantakan menjadi negara-negara kecil.
Di negeri kita sendiri, kasus lepasnya Timor-Timur, gesekan konflik di wilayah Papua, Maluku, dan Aceh yang masih sering terjadi, lebih merupakan gambaran betapa nasionalisme telah "gagal" menjadi perekat simbolik kita, yakni kesatuan tanah air sebagai tempat tinggal. Pertanyaan saat ini; nasionalisme mana yang layak menyatukan dan mengakomodir semua kepentingan pragmatis manusia di negeri ini secara langsung?
Jawaban pastinya adalah "keadilan". Ya, keadilan, itulah "roh" nasionalisme kita. Sayangnya, hal ini seringkali terlupa. Setiap waktu, kita tak lupa bicara tentang nasionalisme, integrasi, dan kesejahteraan. Namun, di lain waktu, kita tak banyak bicara tentang keadilan. Pertanyaannya kemudian; nasionalisme model mana yang dapat menghadapi segala benturan hebat dari keberagaman tanpa dasar keadilan?
Kalau tak percaya, coba saja pergi ke Papua, atau Aceh, dua bagian dari negara inilah yang terlalu lama memendam "luka" atas konsekuensi sebuah nasionalisme. Benarkah ada hubungan antara tuntutan pemisahan diri mereka dengan penerapan syariat Islam? Ataukah ada hak-hak mereka yang terzalimi dan tak dibagikan secara adil?
Harus diakui, pola pemikiran bangsa ini seringkali "parsial" alias "setengah-setengah". Karena alasan itulah, kesalahan besar yang dilakukan bukan hanya terletak pada dampak yang ditimbulkan oleh pemikiran parsial tersebut, tapi juga pada kerapuhan sistem pemikiran kita. Bangsa ini memiliki misi besar--sekaligus menghadapi realitas yang sangat kompleks--,tapi, celakanya, kita malah selalu berpikir dengan amat sangat sederhana tentang nasionalisme.
Memang, sepertinya bangsa ini sudah terlalu biasa --bahkan mungkin sudah terlalu "gemar' -- melakukan "penyederhanaan" yang berlebihan, atau generalisasi yang salah kaprah tentang nasionalisme. Hal tersebut pada gilirannya menyebabkan kita tak berlaku adil. Entahlah, mungkin saja kita hanya mengadopsi model-model nasionalisme yang pada akhirnya kita sendiri tak tahu harus mengambil nasionalisme yang mana.
Coba, mari kita lihat dan kita kalkulasikan bersama-sama. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang terkenal kaya-raya. Aceh kaya akan bahan tambang (minyak bumi, gas alam, batu bara) berikut hasil perkebunan (kelapa sawit). Sedangkan Papua memiliki "gunung emas" Tembagapura (mengandung bijih logam emas dan bijih tembaga). Namun, mereka malah harus merelakan hati untuk hidup dalam kepapaan dan kemiskinan.
Distribusi kekayaan dan kekuasaanlah yang mengusik rasa keadilan mereka. Versi "adil" menurut mereka hingga kini ternyata tak jua sama dengan "adil" versi pemerintah. Jika ingin ke sana dan bicara tentang integrasi dan nasionalisme, tunggulah dulu, karena mereka hanya akan bertanya nasionalisme yang mana? Keadilan yang mana? Dan manfaat apa yang mereka dapatkan dengan bergabung dengan Indonesia?
Pun, jika sampai hari ini mereka masih menyatu dalam NKRI, pastilah emosi dan luka lama itu hanya akan menjadi "bom waktu" yang tinggal menunggu hitungan waktu untuk "meledak" kembali. Hingga akhirnya separatisme tak pelak selalu menjadi pilihan terakhir. Jadi, selama pemerintah tak mampu menyejajarkan versi "adil" mereka dengan rakyat di daerah bergolak tersebut, maka selama itu pula "api" separatisme tetap akan menyala.
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta.
Setiap tanggal 20 Mei, kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Bila berbicara nasionalisme dalam konteks keberagaman, kita harus berusaha menemukan ikatan dasar dari sebuah nation. Kita memang belum punya definisi yang baik tentang konsep nasionalisme. Yang kita tahu, nasionalisme adalah perekat dari keberagaman budaya, agama, etnis, suku, dan juga ideologi. Meski pada dasarnya selalu saja terdapat kepentingan yang harus disisihkan dan dikorbankan untuk nasionalisme dan integrasi Indonesia kita. Jika masyarakat yang membawa kepentingan itu sudah tak bersedia berkorban lagi atas nama nasionalisme, maka tunggu dan hitunglah saja akan seberapa lama usia integrasi kita.
Pada hakikatnya nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralisme sebagai konteks dan wacana utama. Toh, sejarah telah berbicara banyak tentang kegagalan "payung nasionalisme" dalam menyatukan hati dan pikiran rakyat yang cukup melankolik. Runtuhnya dua negara besar di dunia, Yugoslavia dan Uni Soviet, mungkin bisa dijadikan contoh yang baik dari kegagalan nasionalisme sebagai faktor perekat yang mampu menjaga keutuhan dan masa depan sebuah negara-bangsa. Kita telah menyaksikan parade keruntuhan bangsa yang relatif besar bahkan sangat besar tersebut. Setelah melalui proses yang panjang, kedua bangsa besar tersebut akhirnya pecah dan berantakan menjadi negara-negara kecil.
Di negeri kita sendiri, kasus lepasnya Timor-Timur, gesekan konflik di wilayah Papua, Maluku, dan Aceh yang masih sering terjadi, lebih merupakan gambaran betapa nasionalisme telah "gagal" menjadi perekat simbolik kita, yakni kesatuan tanah air sebagai tempat tinggal. Pertanyaan saat ini; nasionalisme mana yang layak menyatukan dan mengakomodir semua kepentingan pragmatis manusia di negeri ini secara langsung?
Jawaban pastinya adalah "keadilan". Ya, keadilan, itulah "roh" nasionalisme kita. Sayangnya, hal ini seringkali terlupa. Setiap waktu, kita tak lupa bicara tentang nasionalisme, integrasi, dan kesejahteraan. Namun, di lain waktu, kita tak banyak bicara tentang keadilan. Pertanyaannya kemudian; nasionalisme model mana yang dapat menghadapi segala benturan hebat dari keberagaman tanpa dasar keadilan?
Kalau tak percaya, coba saja pergi ke Papua, atau Aceh, dua bagian dari negara inilah yang terlalu lama memendam "luka" atas konsekuensi sebuah nasionalisme. Benarkah ada hubungan antara tuntutan pemisahan diri mereka dengan penerapan syariat Islam? Ataukah ada hak-hak mereka yang terzalimi dan tak dibagikan secara adil?
Harus diakui, pola pemikiran bangsa ini seringkali "parsial" alias "setengah-setengah". Karena alasan itulah, kesalahan besar yang dilakukan bukan hanya terletak pada dampak yang ditimbulkan oleh pemikiran parsial tersebut, tapi juga pada kerapuhan sistem pemikiran kita. Bangsa ini memiliki misi besar--sekaligus menghadapi realitas yang sangat kompleks--,tapi, celakanya, kita malah selalu berpikir dengan amat sangat sederhana tentang nasionalisme.
Memang, sepertinya bangsa ini sudah terlalu biasa --bahkan mungkin sudah terlalu "gemar' -- melakukan "penyederhanaan" yang berlebihan, atau generalisasi yang salah kaprah tentang nasionalisme. Hal tersebut pada gilirannya menyebabkan kita tak berlaku adil. Entahlah, mungkin saja kita hanya mengadopsi model-model nasionalisme yang pada akhirnya kita sendiri tak tahu harus mengambil nasionalisme yang mana.
Coba, mari kita lihat dan kita kalkulasikan bersama-sama. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang terkenal kaya-raya. Aceh kaya akan bahan tambang (minyak bumi, gas alam, batu bara) berikut hasil perkebunan (kelapa sawit). Sedangkan Papua memiliki "gunung emas" Tembagapura (mengandung bijih logam emas dan bijih tembaga). Namun, mereka malah harus merelakan hati untuk hidup dalam kepapaan dan kemiskinan.
Distribusi kekayaan dan kekuasaanlah yang mengusik rasa keadilan mereka. Versi "adil" menurut mereka hingga kini ternyata tak jua sama dengan "adil" versi pemerintah. Jika ingin ke sana dan bicara tentang integrasi dan nasionalisme, tunggulah dulu, karena mereka hanya akan bertanya nasionalisme yang mana? Keadilan yang mana? Dan manfaat apa yang mereka dapatkan dengan bergabung dengan Indonesia?
Pun, jika sampai hari ini mereka masih menyatu dalam NKRI, pastilah emosi dan luka lama itu hanya akan menjadi "bom waktu" yang tinggal menunggu hitungan waktu untuk "meledak" kembali. Hingga akhirnya separatisme tak pelak selalu menjadi pilihan terakhir. Jadi, selama pemerintah tak mampu menyejajarkan versi "adil" mereka dengan rakyat di daerah bergolak tersebut, maka selama itu pula "api" separatisme tetap akan menyala.
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar