Senin

Kelenteng, "Masjid" Umat Tao

OLEH: Choirul Mahfud*
Selama ini sebagian banyak masyarakat kita menilai keliru terhadap eksistensi kelenteng. Kelenteng seolah hanya berfungsiKelenteng, "Masjid" Umat Tao sebagai tempat ibadah, pemujaan, penghormatan dan sarana untuk mengingat tauladannya dalam kehidupan sehari-hari saja. Padahal tidak demikian. Hal itu tampak dari hasil penelitian penulis bersama dengan tim peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) yang dilakukan beberapa waktu yang lalu.
Salah satu hasil penelitian tersebut adalah kelenteng di metropolis sesungguhnya telah eksis sejak ratusan tahun lalu dan sudah memberikan kontribusi besar bagi masyarakat luas, khususnya di Surabaya. Sebagaimana informasi yang penulis dapat dari Sidharta Adhimulya, salah seorang tokoh terkemuka Tao Indonesia di Surabaya, bahwa kelenteng bukan saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga mempunyai fungsi sosial.
Fungsi sosial kelenteng tampak terlihat di kelenteng Lithang yang terletak di Jl. Jagalan, Surabaya. Di sana, Anda bisa menjumpai bagaimana kelenteng juga menampung kaum miskin, papa dan lainnya untuk dibimbing ke jalan yang baik sesuai tuntunan ajaran Tridharma.
‘Kelenteng sama dengan Masjid’ mungkin itulah kesan tim peneliti kelenteng menyimpulkan. Mengapa bisa dikatakan demikian, sebab secara umum, perbedaan antara masjid dan kelenteng sebetulnya hanya tampak pada bangunan fisik saja. Misalnya, pada bangunan kelenteng biasanya dikelilingi oleh pagar, mempunyai keletakan simetris, mempunyai atap dengan arsitektur khas Cina, sistem strukturnya terdiri dari tiang dan balok, serta motif dekoratif untuk memperindah bangunan. Selain itu, penentuan lokasi bangunan ini pun harus berpedoman pada Hong Sui (Feng Sui). Dengan berpedoman pada Feng Sui ini diharapkan akan memberikan keberuntungan bukan malapetaka.
Justru dari sini, menurut hemat saya, selain sebagai tempat ritual dan sosial, kelenteng sebetulnya juga bisa menjadi sarana pariwisata kota. Sebab, jika dilihat dari bangunannya saja, kelenteng memiliki nilai estetika yang sungguh indah, menarik dan mempesona. Persoalannya tinggal bagaimana kemauan pemerintah daerah/kota dan propinsi untuk memanfaatkan kekayaan budaya ini secara positif. Sama halnya, dengan Masjid Ceng Ho, Masjid Agung Al-Akbar yang bisa digunakan sebagai tempat wisata, nikah, dan seminar, kelenteng juga bisa difungsikan seperti itu.
Beberapa kelenteng yang megah dan indah di Jawa Timur yang bisa kita kunjungi sebagai tempat wisata, diantaranya adalah: Poo An Kiong (Blitar), Hok Liong Kiong, Hong San Kiong (Jombang), Tjoe Hwie Kiong (Kediri), Poo San Sie (Kertosono), Tjoe An Kiong dan Tjoe Tik Kiong (Pasuruan), Kwan Sing Bio (Tuban), Tjoe Tik Kiong (Tulungagung) dan di Surabaya ada kelenteng Sanggar Agung Kenjeran Surabaya, Kelenteng Cokro, Kelenteng Boen Bio di Kapasan, Kelenteng Dukuh, Kelenteng Lithang, Kelenteng Mbah Ratu dan Kelenteng Cokelat (Sidharta Adhimulya, 2006).
Bila kita tilik kebelakang sejarah lahirnya kelenteng, mulai sejak zaman Nabi Fu Xie, Nabi Di Yao, Nabi Shun, Nabi Yi Yin, sampai Nabi Agung Kong Zi, sebetulnya, istilah kelenteng memang belum dikenal. Pada zaman dulu, yang dikenal adalah Miao (Altar Kuil Leluhur), She (Altar Malaikat Bumi). Sekarang disebut Hok Tek Zheng Shen dan Jiao, yaitu bangunan ibadah untuk bersujud kepada Thian, Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut W. Nugraha Christianto, pakar folklor Tionghoa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, kata kelenteng sebetulnya bukan berasal dari bahasa asli orang Tionghoa. Kelenteng dipopulerkan oleh orang Jawa yang mengambil kata dari tiruan bunyi lonceng. Alasan tersebut juga diamini oleh Suryanto dan Moertiko (2006), bahwa istilah kelenteng sebenarnya hanya dapat dijumpai di negeri ini. Kalau ditilik kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau makhluk hidup berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkannya, demikian pula terjadi pada kelenteng. Karena, saat diadakan upacara keagamaan, sering menggunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi 'klinting' atau 'kelenteng'. Karena bunyi-bunyian seperti itulah, maka dijadikan dasar acuan untuk menyebut tempat tersebut.
Penyebutan kelenteng sebagai tempat suci membuktikan bahwa kelenteng sudah cukup jelas dikenal eksistensinya dan sejalan dengan khazanah kebudayaan bangsa Indonesia, maka sepatutnya hakekat dari tempat suci ini perlu dijaga kemurniannya. Sebab, kelenteng juga termasuk kekayaan cagar budaya Indonesia.
Sayangnya, hingga kini masyarakat kita belum mengakui dengan jujur bahwa kelenteng merupakan salah satu cagar budaya bangsa yang perlu dilindungi, dipelihara dan dilestarikan. Alasan klasik yang selalu muncul karena kelenteng milik budaya Tionghoa. Padahal, anggapan seperti itu sangat keliru. Tionghoa hingga kini seolah bukan dari kita bangsa Indonesia padahal baru-baru ini sudah ditegaskan UU Kewarganegaraan yang intinya menegaskan bahwa tidak ada lagi diskriminasi bagi Tionghoa maupun etnis lainnya di negeri ini.
Sekali lagi, kita semua perlu kembali membuka sejarah kiprah Tionghoa di Surabaya khususnya. Dukut Imam Widodo, penulis buku ‘Soerabaia Tempo Doeloe’, menyatakan bahwa peranan masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Surabaya, menjadi golongan yang cukup penting. Sayangnya, masih banyak folklor (cerita/pandangan) yang hegemonik, rasis, dan menyudutkan orang keturunan Tionghoa. Misalnya, banyak warga Tionghoa yang menjadi tokoh penting dalam seni, budaya, akademik, dan pemerintahan. Tapi, warga Tionghoa selalu diidentikkan dengan pedagang (bisnis). Dalam konteks kebebasan memeluk agama dan kepercayaan, warga Tionghoa hingga kini juga masih terus mengalami diskriminasi. Padahal, kontribusi warga Tionghoa di kota Pahlawan ini sejak awal tahun 1411 sangat berperan bagi kemerdekaan dan kemajuan bangsa ini.
Dalam konteks perdamaian anti-konflik, tokoh Cheng Ho merupakan simbol perdamaian hingga beliau menjadi semacam tokoh mitologi yang diagungkan. Ia tidak hanya dipuja dan dikagumi sebagai seorang Bahariwan Agung tetapi juga disembah sebagai dewa di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong terutama oleh penganut agama leluhur Tionghoa. Kerukunan yang telah ditanamkan oleh Laksamana Cheng Ho di masa lalu, masih tetap relevan pada masa kini. Kerukunan menurutnya merupakan kunci untuk memperkokoh persatuan serta senjata ampuh guna menghadapi era global dan tantangan dalam mengelola kemajemukan kultur dan agama. Kemajemukan tersebut bila diyakini sebagai rahmat, maka niscaya akan menjelma sebagai sumber kekuatan bangsa. Sebaliknya, bila tidak disikapi secara bijaksana, dapat berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan.
Karenanya, untuk mengurai citra buruk masa lalu tersebut, sudah seharusnya ditumbuhkan sikap saling memahami tanpa ada sikap prejudice (buruk sangka). Usaha menelusuri jejak kebudayaan dan sejarah Tionghoa yang pernah ada dan berkembang di negeri ini secara baik merupakan suatu keharusan agar supaya tidak terjadi salah pemahaman dan bahkan konflik atas nama perbedaan etnis dan SARA. Kita harus menyadari bahwa Tionghoa adalah bagian integral dari sejarah Indonesia, maka hidup bersama dalam keragaman budaya merupakan konsekuensi logis yang harus segera disadari dan dilaksanakan.
*) Peneliti di International pluralism study center, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung