Senin

Keluar Dari Kutukan Bencana Alam

Oleh : Haris Suharjono*
Kerusakan lingkungan di bumi Indonesia semakin parah akibat perbuatan tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Dengan demikian keseimbangan alam juga terganggu. Bencana alam yang dalam dua tahun terakhir ini kerap terjadi di wilayah Tanah Air disebabkan oleh terganggunya keseimbangan alam.
Kerusakan lingkungan di bumi terkait erat dengan kerusakan mental dan moral manusia. Semakin rusak mental dan moral manusia, maka semakin rusak pula bumi ini. Bencana alam akibat kerusakan lingkungan makin sering terjadi. Bumi sudah kelihatan ringkih dan tidak nyaman lagi untuk dihuni.
Kasus paling ekstrem adalah semburan lumpur panas Lapindo yang sudah meluas hingga ratusan hektar. Awalnya PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran minyak dan gas bumi di wilayah Sidoarjo. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengeboran hanya diijinkan maksimal sedalam 3.000 meter. Tetapi banyak pihak yang menyebutkan pengeboran tersebut sudah mencapai hingga kedalaman 4.000 meter. Selain itu diberitakan pula telah terjadi kesalahan teknis. Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Kira-kira 100 meter dari titik pengeboran, menyemburlah banjir lumpur panas yang menggegerkan seluruh dunia itu.
Ramalan geologis mengatakan bahwa lumpur Lapindo akan terus mengalir setidaknya hingga 31 tahun ke depan. Dalam perspektif historis, kemungkinan ini akan memunculkan dua jenis korban. Pertama, korban yang saat ini mengayuh hidup di hadapan luapan lumpur. Korban kedua adalah mereka yang bakal menjadi korban di masa depan sepanjang aliran lumpur tak terhentikan. Dampak yang luar biasa dari bencana disertai magifikasi yang terus digembar-gemborkan, membuat masalah lumpur panas ini seakan-akan tak terselesaikan.
Bagaimana kita keluar dari "kutukan bencana" tadi? Jawaban mengenai ini, sebenarnya sudah tersedia - setidaknya secara epistemik- di dalam program Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Kemungkinan dan harapan ini bisa dideteksi dari ide penting yang muncul pada masa kampanye SBY-JK tiga tahun lalu. Yakni ketika SBY mengatakan "perlunya keseimbangan antara tiga pranata dasar negara - sektor bisnis - masyarakat" untuk mencapai tujuan-tujuan keadilan.
Membaca Pesan Moral
Dari berbagai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang terjadi, kita dapat membaca pesan moral di dalamnya. Paling tidak, ada tiga hal penting yang bisa kita petik sebagai pesan moral dari aneka bencana belakangan ini. Kita semakin disadarkan bahwa keserakahan telah menyengsarakan kehidupan kita sendiri. Sebagian besar bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta kecelakaan alat-alat transportasi tidak terlepas dari ulah manusia.
Kesalahan sikap kita selama ini adalah bahwa alam bukan bagian dari kehidupan kita. Alam justru kita perlakukan hanya sebagai obyek kepentingan ekonomis belaka. Kita merasa sebagai penguasa atas alam, maka kita sewenang-wenang terhadapnya. Ekosistemnya kita hancurkan. Alam sebagaimana dipotret oleh Ann Neiss bukanlah benda mati tanpa hukum. Alam justru bagian dari kehidupan yang memiliki hukumnya sendiri. Ia bahkan dilihat sebagai pusat segala makhluk (biocentre).
Manusia menurut Neiss justru dituntut untuk mengikuti hukum alam jika mau hidup dengan nyaman dan tenteram. Sebaliknya bila manusia menghancurkan alam dan melawan hukum-hukumnya, ia akan sengsara dan menderita. Tampaknya kita telah terjebak pada opsi kedua sebagai buah dari keserakahan itu.
Tata Lingkungan Hidup
Untuk menata lingkungan hidup dibutuhkan tata ruang yang kondusif bagi pelestarian alam. Kita sambut baik rencana pemerintah untuk mereformasi tata ruang melalui RUU Tata Ruang yang akan digodok DPR. Tata lingkungan hidup yang disusun oleh daratan dapat dipelajari secara geologi. Gejolak udara yang erat kaitannya dengan masalah meteorologi dan tata keairan di darat dan lautan, perlu dikenal secara hidrologi.
Tumbuhan dan hewan di mana pun, juga perlu dipelajari berdasarkan ilmu botani dan zoologi. Sedangkan eksistensi manusia perlu pula dipelajari berdasarkan kaidah ilmu sosial (sosiologi), ekonomi untuk mengetahui nilai komersialnya, dan antropologi untuk mempelajari perilaku adat manusia dalam memanfaatkan tata lingkungan.
Alam memang tidak statis, tetapi selalu dinamis menyesuaikan diri untuk kembali kepada keseimbangan alaminya. Namun keseimbangan ini dapat kembali pada keseimbangan yang stabil (mantap), labil (tidak mantap), atau keseimbangan yang indeferen yaitu keseimbangan tidak kembali pada keadaan semula. Keseimbangan labil, apalagi yang indeferen amat berbahaya jika melanda jaringan jalan raya, kereta api, jalur laut atau udara. Sebab, gejolak arus laut dan atau udara mudah dan cepat berubah sesuai dengan matra ruang dan waktu, sehingga jika terjadi musibah sulit menemukan penyebabnya.
*) Pemerhati masalah lingkungan hidup, alumnus Institut Teknologi Bandung, tinggal di Bekasi.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung