Oleh: Nurani Soyomukti*
Kemerdekaan kini nampak menjadi istilah yang semu. Apalagi bagi rakyat yang didera kesulitan dalam menjalani kehidupannya. Semangat para founding fathers untuk menyatukan Nusantara juga semakin jauh panggang dari api. Kenyataan keragaman itu saat ini telah terancam. Sebab-sebab terancamnya kerukunan tentunya juga telah terbukti muncul dalam sejarah ketika kontradiksi utama masyarakat tidak dapat diselesaikan. Ketimpangan ekonomi seringkali memunculkan sentimen-sentimen rasial, keberagamaan, dan kesukuan. Dari sini jelas bahwa, masing-masing komunitas kultural akan dapat hidup harmoni jika dalam hubungan materialnya, pengalaman-pengalaman interaksi konkritnya diwarnai dengan hubungan saling menguntungkan dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bersama-sama mewujudkan kemasyarakatan yang lebih baik.
Jumlah keluarga miskin (gakin) di Indonesia dalam 25 tahun terakhir ini masih cukup besar. Tercatat, tahun 1970, jumlah gakin 70 juta jiwa (60% dari jumlah penduduk). Tahun 1996 tercatat 11,3% gakin (22,5 juta orang dari jumlah penduduk). Tahun 1997, 38-40 juta orang atau 20% dari jumlah penduduk. Tahun 2001 jumlah gakin 37,9 juta orang (18,2% dari jumlah penduduk). Tahun 2004 jumlahnya 36,1 juta orang atau 16,68% dari jumlah penduduk. Tahun 2005, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM yang rata-rata 110 persen telah menyebabkan jumlah gakin yang berhak mendapat dana kompensasi BBM meningkat, dari 15,5 juta menjadi lebih dari 20 juta, setara dengan 80 juta penduduk Indonesia.
Krisis kesejahteraan rakyat yang belum juga dapat diatasi jelas merupakan sebab-sebab terjadinya kemunduran kualitas kehidupan masyarakat. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang mengikutinya juga sangat menyulitkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Kemunduran kesejahteraan ini juga dibarengi dengan sulitnya meraih pendidikan dan kesehatan. Dipastikan akan terjadi lost generation karena mutu pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga miskin akan menurun drastis. Kurangnya akses pendidikan akan mengakibatkan tuna-pengetahuan (knowledgeless); sedangkan kekurangan gizi dan sulitnya menjaga kesehatan akan menyebabkan keburukan kualitas fisik manusia dan juga kualitas mentalnya (mental illness). Kesehatan fisik dan mental adalah sumber tenaga produktif bangsa yang mendasar. Dengan menghilangkan sumber-sumber tersebut bisa diramalkan bahwa kualitas bangsa Indonesia untuk beberapa tahun ke depan akan ketinggalan jauh dengan negara-negara lain, akan tetap terbelakang dan tergantung pada negara-negara maju.
Banyak "cobaan" yang dialami bangsa ini mulai dari kontradiksi alam (tsunami, banjir, tanah longsor, kecelakaan transportasi, dan lain-lain) hingga kontradiksi ekonomi, sosial, dan politik yang berupa kebijakan elit-elitnya yang jauh dari memberi kesejahteraan rakyat. Kondisi kemiskinan yang telah diwariskan sejak Orde Baru telah menimbulkan kebuntuan berpikir masyarakat yang manifes dalam bentuk apatisme dan dinamika emosi yang memuncak pada ketidaksehatan mental masyarakat.
Kita melihat bahwa bencana alam yang sering menimpa telah menimbulkan trauma mental. Hal yang sama juga terjadi pada rakyat sebagai korban bencana kebijakan yang menekan eksistensi dirinya. Setiap kondisi material-ekonomi yang dialami individu adalah ancaman yang membuat frustasi dan ketidaksehatan mental. Reaksi dari kondisi ini adalah terjadinya berbagai macam kekerasan, deviasi budaya, tindakan kriminal sebagai manifestasi dari penyimpangan yang didorong oleh kondisi mental yang 'sakit'.
Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar daripada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit.
Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedangkan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in corporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.
Tenaga Produktif Melemah dan Dilemahkan
Kreatifitas dan produktifitas masyarakat akan muncul dalam kondisi kesehatan fisik dan mental yang terlatih untuk menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan yang ada. Kontradiksi yang mendera bangsa ini sebenarnya adalah suatu keadaan yang seharusnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berpikir keras dan kreatif guna menganalisa dan menyelesaikan masalah yang ada. Semakin berat masalah yang dihadapi, seharusnya akan memunculkan semangat yang besar untuk menyelesaikan masalah melalui kerja keras dan kreatifitas. Seperti Jepang yang tiba-tiba bangkit setelah negaranya dihancurkan oleh bom sekutu.
Karena pendidikan dan kesehatan tidak dapat diakses dengan baik, maka pengetahuan rakyatpun tumpul. Selain itu basis budaya homogen hanya membikin masyarakatnya untuk menerima dan menirukan apa yang dipropagandakan secara terus-menerus. Homogenisasi penafsiran terhadap realitas yang secara tidak objektif diterima melalui media-media globalisasi seperti TV membuat masyarakat hanya bisa meniru, permisif dan imitatif, konsumtif, dengan demikian tidak ada dasar-dasar watak yang dibentuk untuk menjadi kreatif, produktif, dan inventif.
Di satu sisi elit-elit politiknya juga selalu memberi contoh yang memalukan, koruptif, bermewah-mewah, minta gaji dan tunjangan yang tinggi meskipun tidak memperjuangkan rakyatnya. Rakyat sudah apatis, pesimis, karena tidak ada lagi orang (pimpinan) yang dapat dipercayai, semua elit berkhianat dan mengingkari janji. Maka ada kecenderungan emosional psikologis dari orang yang sering didustai. Pertama, ia cenderung tidak akan percaya pada siapa saja. Kedua, ia akan menempuh caranya sendiri untuk mengatasi kesulitannya sesuai dengan keterbatasan kemampuannya.
Kedua kecenderungan itu terwujud dalam apatisme dan tindakan yang menganggap bahwa dirinya bisa melakukan apa saja untuk mengatasi masalah, bahkan menghalalkan segala cara. Ketidakproduktifan dan minimnya kreatifitas akan mengarahkan individu untuk memaksakan diri menggunakan cara sepihak, memaksa, dan jalan pintas untuk mengatasi masalah. Hal ini disebut kaum moralis dan agamawan sebagai "krisis moral" dalam masyarakat. Dan, ternyata berakar dari realitas historis yang konkrit. Moral bukanlah akibat, tetapi produk dari kebijakan-kebijakan yang kebanyakan juga dihasilkan oleh para pemimpin dan moralis yang tidak mau dan tidak mampu mengentaskan kemiskinan rakyat secara serius. Tegasnya yang tidak mau mengambil resiko karena posisinya sudah terlanjur enak, meskipun membodohi masyarakat yang tertekan, frustasi, dan menderita penyakit mental.
Kemiskinan yang semakin parah sekarang ini menyebabkan hidup yang dihadapi rakyat kita menjadi keras, sulit, penuh prasangka, dan hal ini memicu terjadinya kekerasan yang berakar dari kekerasan Negara (struktural). Dunia yang lunak atau yang keras sesungguhnya dialami oleh manusia dalam ranah ekonomi, akibat kebijakan struktural pemerintahan anti-rakyat dan anti-kesejahteraan dan anti-demokrasi. Jadi, yang dimaksud kekerasan sebenarnya adalah kondisi sosial yang dirasakan manusia secara aktual, yang membuat survivalitas dan potensinya harus berhadapan dengan kondisi sosio-ekonomi yang keras sebagai hasil dari kebijakan dan aktivitas individu lain yang menguasai dan menindasnya.
*) Pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA), tinggal di Jakarta
Kemerdekaan kini nampak menjadi istilah yang semu. Apalagi bagi rakyat yang didera kesulitan dalam menjalani kehidupannya. Semangat para founding fathers untuk menyatukan Nusantara juga semakin jauh panggang dari api. Kenyataan keragaman itu saat ini telah terancam. Sebab-sebab terancamnya kerukunan tentunya juga telah terbukti muncul dalam sejarah ketika kontradiksi utama masyarakat tidak dapat diselesaikan. Ketimpangan ekonomi seringkali memunculkan sentimen-sentimen rasial, keberagamaan, dan kesukuan. Dari sini jelas bahwa, masing-masing komunitas kultural akan dapat hidup harmoni jika dalam hubungan materialnya, pengalaman-pengalaman interaksi konkritnya diwarnai dengan hubungan saling menguntungkan dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bersama-sama mewujudkan kemasyarakatan yang lebih baik.
Jumlah keluarga miskin (gakin) di Indonesia dalam 25 tahun terakhir ini masih cukup besar. Tercatat, tahun 1970, jumlah gakin 70 juta jiwa (60% dari jumlah penduduk). Tahun 1996 tercatat 11,3% gakin (22,5 juta orang dari jumlah penduduk). Tahun 1997, 38-40 juta orang atau 20% dari jumlah penduduk. Tahun 2001 jumlah gakin 37,9 juta orang (18,2% dari jumlah penduduk). Tahun 2004 jumlahnya 36,1 juta orang atau 16,68% dari jumlah penduduk. Tahun 2005, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM yang rata-rata 110 persen telah menyebabkan jumlah gakin yang berhak mendapat dana kompensasi BBM meningkat, dari 15,5 juta menjadi lebih dari 20 juta, setara dengan 80 juta penduduk Indonesia.
Krisis kesejahteraan rakyat yang belum juga dapat diatasi jelas merupakan sebab-sebab terjadinya kemunduran kualitas kehidupan masyarakat. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang mengikutinya juga sangat menyulitkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Kemunduran kesejahteraan ini juga dibarengi dengan sulitnya meraih pendidikan dan kesehatan. Dipastikan akan terjadi lost generation karena mutu pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga miskin akan menurun drastis. Kurangnya akses pendidikan akan mengakibatkan tuna-pengetahuan (knowledgeless); sedangkan kekurangan gizi dan sulitnya menjaga kesehatan akan menyebabkan keburukan kualitas fisik manusia dan juga kualitas mentalnya (mental illness). Kesehatan fisik dan mental adalah sumber tenaga produktif bangsa yang mendasar. Dengan menghilangkan sumber-sumber tersebut bisa diramalkan bahwa kualitas bangsa Indonesia untuk beberapa tahun ke depan akan ketinggalan jauh dengan negara-negara lain, akan tetap terbelakang dan tergantung pada negara-negara maju.
Banyak "cobaan" yang dialami bangsa ini mulai dari kontradiksi alam (tsunami, banjir, tanah longsor, kecelakaan transportasi, dan lain-lain) hingga kontradiksi ekonomi, sosial, dan politik yang berupa kebijakan elit-elitnya yang jauh dari memberi kesejahteraan rakyat. Kondisi kemiskinan yang telah diwariskan sejak Orde Baru telah menimbulkan kebuntuan berpikir masyarakat yang manifes dalam bentuk apatisme dan dinamika emosi yang memuncak pada ketidaksehatan mental masyarakat.
Kita melihat bahwa bencana alam yang sering menimpa telah menimbulkan trauma mental. Hal yang sama juga terjadi pada rakyat sebagai korban bencana kebijakan yang menekan eksistensi dirinya. Setiap kondisi material-ekonomi yang dialami individu adalah ancaman yang membuat frustasi dan ketidaksehatan mental. Reaksi dari kondisi ini adalah terjadinya berbagai macam kekerasan, deviasi budaya, tindakan kriminal sebagai manifestasi dari penyimpangan yang didorong oleh kondisi mental yang 'sakit'.
Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar daripada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit.
Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedangkan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in corporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.
Tenaga Produktif Melemah dan Dilemahkan
Kreatifitas dan produktifitas masyarakat akan muncul dalam kondisi kesehatan fisik dan mental yang terlatih untuk menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan yang ada. Kontradiksi yang mendera bangsa ini sebenarnya adalah suatu keadaan yang seharusnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berpikir keras dan kreatif guna menganalisa dan menyelesaikan masalah yang ada. Semakin berat masalah yang dihadapi, seharusnya akan memunculkan semangat yang besar untuk menyelesaikan masalah melalui kerja keras dan kreatifitas. Seperti Jepang yang tiba-tiba bangkit setelah negaranya dihancurkan oleh bom sekutu.
Karena pendidikan dan kesehatan tidak dapat diakses dengan baik, maka pengetahuan rakyatpun tumpul. Selain itu basis budaya homogen hanya membikin masyarakatnya untuk menerima dan menirukan apa yang dipropagandakan secara terus-menerus. Homogenisasi penafsiran terhadap realitas yang secara tidak objektif diterima melalui media-media globalisasi seperti TV membuat masyarakat hanya bisa meniru, permisif dan imitatif, konsumtif, dengan demikian tidak ada dasar-dasar watak yang dibentuk untuk menjadi kreatif, produktif, dan inventif.
Di satu sisi elit-elit politiknya juga selalu memberi contoh yang memalukan, koruptif, bermewah-mewah, minta gaji dan tunjangan yang tinggi meskipun tidak memperjuangkan rakyatnya. Rakyat sudah apatis, pesimis, karena tidak ada lagi orang (pimpinan) yang dapat dipercayai, semua elit berkhianat dan mengingkari janji. Maka ada kecenderungan emosional psikologis dari orang yang sering didustai. Pertama, ia cenderung tidak akan percaya pada siapa saja. Kedua, ia akan menempuh caranya sendiri untuk mengatasi kesulitannya sesuai dengan keterbatasan kemampuannya.
Kedua kecenderungan itu terwujud dalam apatisme dan tindakan yang menganggap bahwa dirinya bisa melakukan apa saja untuk mengatasi masalah, bahkan menghalalkan segala cara. Ketidakproduktifan dan minimnya kreatifitas akan mengarahkan individu untuk memaksakan diri menggunakan cara sepihak, memaksa, dan jalan pintas untuk mengatasi masalah. Hal ini disebut kaum moralis dan agamawan sebagai "krisis moral" dalam masyarakat. Dan, ternyata berakar dari realitas historis yang konkrit. Moral bukanlah akibat, tetapi produk dari kebijakan-kebijakan yang kebanyakan juga dihasilkan oleh para pemimpin dan moralis yang tidak mau dan tidak mampu mengentaskan kemiskinan rakyat secara serius. Tegasnya yang tidak mau mengambil resiko karena posisinya sudah terlanjur enak, meskipun membodohi masyarakat yang tertekan, frustasi, dan menderita penyakit mental.
Kemiskinan yang semakin parah sekarang ini menyebabkan hidup yang dihadapi rakyat kita menjadi keras, sulit, penuh prasangka, dan hal ini memicu terjadinya kekerasan yang berakar dari kekerasan Negara (struktural). Dunia yang lunak atau yang keras sesungguhnya dialami oleh manusia dalam ranah ekonomi, akibat kebijakan struktural pemerintahan anti-rakyat dan anti-kesejahteraan dan anti-demokrasi. Jadi, yang dimaksud kekerasan sebenarnya adalah kondisi sosial yang dirasakan manusia secara aktual, yang membuat survivalitas dan potensinya harus berhadapan dengan kondisi sosio-ekonomi yang keras sebagai hasil dari kebijakan dan aktivitas individu lain yang menguasai dan menindasnya.
*) Pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA), tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:
Posting Komentar