Oleh: Nurani Soyomukti*
Korupsi adalah produk dari hubungan sosial yang kontradiktif. Sedangkan agama juga merupakan bagian dari realitas sosial yang ikut mengiringi pembangunan karakter masyarakat, meskipun kondisi sosiallah yang memberi basis bagi perkembangan mental manusia.
Di Barat, sebagaimana dibedah oleh Max Weber, pertumbuhan ekonomi kapitalis dapat berjalan lancar untuk memakmurkan peradaban karena spirit agama berperan begitu kuatnya. Spirit dan kekuatan etis dari aliran/sekte agama protestan membantu melicinkan pertumbuhan ekonomi yang kelak terbukti mampu bertahan dan melakukan ekspansinya ke berbagai belahan dunia bersama modernisasi yang dibawanya.
Pertanyaannya adalah, bisakah semangat keagamaan menjadi faktor pelicin (lubricating factor) bagi perkembangan dan kemakmuran ekonomi Indonesia? Korupsi di negeri ini bukan hanya parah, tetapi telah membudaya dan mendarah daging. Korupsi telah menghambat produktifitas dan modernisasi yang seharusnya berpilar pada diferensiasi peran sosial yang mulus karena masing-masing kelompok bersaing secara sehat, rasional, dan didasarkan pada prestasi kerjanya. Korupsi telah menghambat orang yang punya potensi prduktif dan kreatif tidak dapat berperan karena terhalangi oleh keputusan yang didasarkan pada keputusan korup (baca: irasional).
Jangan Hanya Jadi Simbol
Peran ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU ternyata tidak cukup efektif karena agama seakan hanya dijadikan simbol moral dan konsolidasi elitis, dan bukan tindakan-tindakan partisipatoris dalam menegakkan penyimpangan. Dulu, di tahun 2003, pada saat dua organisasi menyatakan berkoalisi dengan menyatukan tekad bulat untuk memerangi korupsi, wacana pemberantasn korupsi seakan menguat. Sayangnya hanya menjadi wacana di media massa, karena setelah deklarasi kedua organisasi dilakukan, juga tidak ada gerakan kedua organisasi untuk mendampingi aparat hukum menangkapi para koruptor.
Inilah yang saya maksud bahwa agama hanya menjadi simbol dan kosmetika. Agama Islam yang pernah berperan untuk melawan penjajahan bangsa Quraisy sebagai pelanggeng perbudakan, ternyata di negeri ini tidak dapat berbuat apa-apa kecuali pemanis dari langgengnya berbagai kontradiksi yang terjadi. Seandainya deklarasi untuk memberantas korupsi dari dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu diikuti oleh tindakan konkrit dan serius, saya yakin rakyat Indonesia yang kebanyakan menjadi anggota dua ormas ini akan cukup untuk mendorong penegak hukum mengadili para koruptor, secara tegas dan tidak berbelit-belit.
Akhirnya, akan banyak orang bertanya-tanya akan himbauan moral agama terhadap berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Apalagi adanya fakta bahwa Departemen Agama justru menjadi sarang korupsi yang paling besar di pemerintahan kita. Agama terkesan kian ompong dalam menghadapi masalah korupsi.
Korupsi memang bukan hal mudah untuk diberantas karena menyejarah dalam kelahiran bangsa kita. Dulu Tan Malaka pernah menyarankan pada Soekarno untuk memotong satu generasi, mengganti generasi birokrasi peninggalan Belanda dengan para kaum muda yang bersih dari didikan kolonial. Sayangnya usulan itu tak terlaksana.
Simbiosis antara budaya feodal yang berpilar pada budaya irasionalitas, dengan hubungan industrialisasi kapitalis peninggalan penjajahan, menjadi bahaya laten bagi rakyat karena pelayanan publik yang demokratis dan memakmurkan tidak kunjung datang akibat simbiosis antara dua budaya menindas dalam dua fase corak produksi itu. Feodalisme menggunakan irasionalitas agama dan kepercayaan kolot sebagai produk kebangsawanan untuk menundukkan rakyat agar segelintir penguasa dapat hidup menghisap rakyat. Sedangkan modernisasi kapitalisme juga menindas rakyat pekerja dengan hubungan produksinya yang eksploitatif.
Yang dominan sekarang ini, posisi agama di dalam masyarakat feodal adalah untuk melegitimasi kekuasaan atas nama Tuhan, sebagai simbol perekat kesatuan dan solidaritas meskipun diiringi ketimpangan. Ketokohan berdasarkan agama sangat penting untuk merekatkan rakyat dari tercerai-berai meskipun secara ekonomi timpang. Ketika kapitalisme kian menjadi-jadi, ternyata semangat keagamaan di negeri ini juga masih sama. Hal ini terjadi karena feodalisme tidak dihancurkan oleh penjajah, kapitalisme juga tidak tumbuh bersama semangat keagamaan --sebagaimana terjadi di Barat dalam pengertian Weberian-- tetapi dicangkokkan dan dibiarkan tidak dapat berkembang secara produktif. Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi negara kapitalis pinggiran yang tergantung pada modal (penjajah asing).
Dengan demikian, korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan imperialistik itu. Modernisasi tidak dapat berkembang pesat karena korupsi, dan ini memang dibiarkan karena kalau modernisasi maju modal asing akan tersaingi. Tak heran jika sejak Orde Baru pemikiran dan praktek keagamaan selalu saja diupayakan agar terjebak pada simbolisasi saja, tidak mampu menurunkan pemikiran kritis dan progresif untuk mendorong peran partisipatoris para aktivis ormas keagamaan. Agama juga gagal menurunkan teologi pembebasan untuk membela rakyat miskin, bukan hanya memerangi korupsi tetapi juga membangun suatu format gerakan menyeluruh untuk mengentaskan kemiskinan yang dialami rakyat.
Dalam hal pemberantasan korupsi, agama yang secara jelas melarang korupsi (penipuan dan penindasan), ternyata hanya menjadi penyeru moral sloganistik. Lagi-lagi yang terjadi hanyalah konsolidasi elit keagamaan untuk menjadikan isu korupsi sebagai daya tawar politik pada penguasa, dan tidak menggerakkan kesadaran massa rakyat agar kampanye anti-korupsi bukan hanya jadi wacana, tetapi juga jadi gerakan.
*) Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007, tinggal di Jember.
Korupsi adalah produk dari hubungan sosial yang kontradiktif. Sedangkan agama juga merupakan bagian dari realitas sosial yang ikut mengiringi pembangunan karakter masyarakat, meskipun kondisi sosiallah yang memberi basis bagi perkembangan mental manusia.
Di Barat, sebagaimana dibedah oleh Max Weber, pertumbuhan ekonomi kapitalis dapat berjalan lancar untuk memakmurkan peradaban karena spirit agama berperan begitu kuatnya. Spirit dan kekuatan etis dari aliran/sekte agama protestan membantu melicinkan pertumbuhan ekonomi yang kelak terbukti mampu bertahan dan melakukan ekspansinya ke berbagai belahan dunia bersama modernisasi yang dibawanya.
Pertanyaannya adalah, bisakah semangat keagamaan menjadi faktor pelicin (lubricating factor) bagi perkembangan dan kemakmuran ekonomi Indonesia? Korupsi di negeri ini bukan hanya parah, tetapi telah membudaya dan mendarah daging. Korupsi telah menghambat produktifitas dan modernisasi yang seharusnya berpilar pada diferensiasi peran sosial yang mulus karena masing-masing kelompok bersaing secara sehat, rasional, dan didasarkan pada prestasi kerjanya. Korupsi telah menghambat orang yang punya potensi prduktif dan kreatif tidak dapat berperan karena terhalangi oleh keputusan yang didasarkan pada keputusan korup (baca: irasional).
Jangan Hanya Jadi Simbol
Peran ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU ternyata tidak cukup efektif karena agama seakan hanya dijadikan simbol moral dan konsolidasi elitis, dan bukan tindakan-tindakan partisipatoris dalam menegakkan penyimpangan. Dulu, di tahun 2003, pada saat dua organisasi menyatakan berkoalisi dengan menyatukan tekad bulat untuk memerangi korupsi, wacana pemberantasn korupsi seakan menguat. Sayangnya hanya menjadi wacana di media massa, karena setelah deklarasi kedua organisasi dilakukan, juga tidak ada gerakan kedua organisasi untuk mendampingi aparat hukum menangkapi para koruptor.
Inilah yang saya maksud bahwa agama hanya menjadi simbol dan kosmetika. Agama Islam yang pernah berperan untuk melawan penjajahan bangsa Quraisy sebagai pelanggeng perbudakan, ternyata di negeri ini tidak dapat berbuat apa-apa kecuali pemanis dari langgengnya berbagai kontradiksi yang terjadi. Seandainya deklarasi untuk memberantas korupsi dari dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu diikuti oleh tindakan konkrit dan serius, saya yakin rakyat Indonesia yang kebanyakan menjadi anggota dua ormas ini akan cukup untuk mendorong penegak hukum mengadili para koruptor, secara tegas dan tidak berbelit-belit.
Akhirnya, akan banyak orang bertanya-tanya akan himbauan moral agama terhadap berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Apalagi adanya fakta bahwa Departemen Agama justru menjadi sarang korupsi yang paling besar di pemerintahan kita. Agama terkesan kian ompong dalam menghadapi masalah korupsi.
Korupsi memang bukan hal mudah untuk diberantas karena menyejarah dalam kelahiran bangsa kita. Dulu Tan Malaka pernah menyarankan pada Soekarno untuk memotong satu generasi, mengganti generasi birokrasi peninggalan Belanda dengan para kaum muda yang bersih dari didikan kolonial. Sayangnya usulan itu tak terlaksana.
Simbiosis antara budaya feodal yang berpilar pada budaya irasionalitas, dengan hubungan industrialisasi kapitalis peninggalan penjajahan, menjadi bahaya laten bagi rakyat karena pelayanan publik yang demokratis dan memakmurkan tidak kunjung datang akibat simbiosis antara dua budaya menindas dalam dua fase corak produksi itu. Feodalisme menggunakan irasionalitas agama dan kepercayaan kolot sebagai produk kebangsawanan untuk menundukkan rakyat agar segelintir penguasa dapat hidup menghisap rakyat. Sedangkan modernisasi kapitalisme juga menindas rakyat pekerja dengan hubungan produksinya yang eksploitatif.
Yang dominan sekarang ini, posisi agama di dalam masyarakat feodal adalah untuk melegitimasi kekuasaan atas nama Tuhan, sebagai simbol perekat kesatuan dan solidaritas meskipun diiringi ketimpangan. Ketokohan berdasarkan agama sangat penting untuk merekatkan rakyat dari tercerai-berai meskipun secara ekonomi timpang. Ketika kapitalisme kian menjadi-jadi, ternyata semangat keagamaan di negeri ini juga masih sama. Hal ini terjadi karena feodalisme tidak dihancurkan oleh penjajah, kapitalisme juga tidak tumbuh bersama semangat keagamaan --sebagaimana terjadi di Barat dalam pengertian Weberian-- tetapi dicangkokkan dan dibiarkan tidak dapat berkembang secara produktif. Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi negara kapitalis pinggiran yang tergantung pada modal (penjajah asing).
Dengan demikian, korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan imperialistik itu. Modernisasi tidak dapat berkembang pesat karena korupsi, dan ini memang dibiarkan karena kalau modernisasi maju modal asing akan tersaingi. Tak heran jika sejak Orde Baru pemikiran dan praktek keagamaan selalu saja diupayakan agar terjebak pada simbolisasi saja, tidak mampu menurunkan pemikiran kritis dan progresif untuk mendorong peran partisipatoris para aktivis ormas keagamaan. Agama juga gagal menurunkan teologi pembebasan untuk membela rakyat miskin, bukan hanya memerangi korupsi tetapi juga membangun suatu format gerakan menyeluruh untuk mengentaskan kemiskinan yang dialami rakyat.
Dalam hal pemberantasan korupsi, agama yang secara jelas melarang korupsi (penipuan dan penindasan), ternyata hanya menjadi penyeru moral sloganistik. Lagi-lagi yang terjadi hanyalah konsolidasi elit keagamaan untuk menjadikan isu korupsi sebagai daya tawar politik pada penguasa, dan tidak menggerakkan kesadaran massa rakyat agar kampanye anti-korupsi bukan hanya jadi wacana, tetapi juga jadi gerakan.
*) Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007, tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar