OLEH: WURI W/AKIN
Festival Seni Surabaya (FSS) 2007 sudah resmi ditutup medio Juni dengan ditandai pagelaran seni teater Raksasa yang dimainkan Putu Wijaya dan Rike Diah Pitaloka, dan Wayang Blong oleh Ki Enthus.
Aksi seniman dalam FSS dengan perantara seni teater dan seni wayang blong itu mengusung nada dasar yang sama, yakni kritik-kritik sosial. Bagi para penonton yang menyaksikan pagelaran seni festival terbesar di
Negara yang dipenuhi pemimpin koruptor digambarkan sebagai Raksasa oleh penulis naskah teater ternama di
Lalu, Ki Enthus yang dikenal sebagai dalang Wayang Blong justru kian memagnet pengunjung, meski secara umum, jenis seni yang satu ini agak berbeda dengan wayang kulit. Dalang asal Jawa Tengah ini menggabungkan banyak unsur dalam penampilan pamungkas di pelataran Balai Pemuda Surabaya. Dengan tetap memakai wayang kulit sebagai tokoh utama, Ki Enthus coba mencairkan fokus pengunjung dengan mendahulukan tari-tarian, sebagai gambaran dua masa yang berbeda, --pakaian era sekarang dan tradisional. Pagelaran Wayang Blong yang diwarnai aneka celetukan, lebih menyoroti kekisruhan negara sebagai akibat langsung dari mental masyarakat yang sakit, baik pemimpin, ulama, politikus hingga kaum akademisi.
Kurang Promosi
Meski sering dihelat festival seni budaya tradisional, baik se-Jawa Timur maupun nasional, namun gemanya dinilai baru terbentur pada dinding-dinding panggung pementasan, yang nota bene komunitas seni. Pemicunya, selain minim promosi juga karena kurang koordinasi lintas instansi, swasta maupun pemerintah. Padahal, tujuan sebuah festival seni sangat jelas yakni melestarikan budaya tradisional di samping hiburan bagi masyarakat, yang lebih gandrungi budaya bernafas modern. “Kita berharap dengan ditutupnya Festival Seni Surabaya 2007 dapat memberi hiburan bagi seluruh warga
Suprawoto, tokoh seniman Surabaya menilai, FFS yang digelar di Balai Pemuda dan Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur belum menjadi media alternatif mengangkat seniman dan seni budaya tradisional se-Jatim. Selain mayoritas penonton dari kalangan komunitas seni, juga cenderung menampilkan seni dan seniman asal luar
Ludruk
Seni lain yang bisa diandalkan sebagai media untuk menyampaikan kritik sosial adalah ludruk. Hanya, eksistensi ludruk terantuk pada upaya regenerasi pemain. Padahal, ludruk itu sudah ada sejak zaman Belanda setelah reog asal Ponorogo. Bahkan, dalam buku Lakon Ludruk Jawa Timur (1992), Ludruk yang berarti badut itu, konon ada sejak zaman Roro Mendut dan Pronocitro, yang diawali dari ngamen di Jombang sekitar tahun 1915-an. Karena itu, meski ludruk identik dengan kesenian tradisional Surabaya, tapi sebenarnya berasal dari Jombang.
Pada tahun 1920-1930-an, sebelum pentas lazim diawali dengan pemberian sesaji, lalu tandhakan yang berarti keagungan pada Tuhan. Tandhakan ibarat kesatria yang gagah dan melakukan tari yang reno-reno (macam-macam), yang kemudian dikenal sebagai tari Ngeromo. Pada zaman Jepang, ludruk dijadikan sebagai sarana perjuangan, terutama untuk mengejek kolonialis Jepang. Setelah
Semangat pentas ludruk seakan sirna pasca tragedi G30S PKI 1965. Banyak pemain ludruk yang takut pentas, dan tahun 1967 baru kembali dihidup kelompok ludruk dengan dibina Kodam V Brawijaya. Gema Tri Bratha Surabaya yang dipimpin Nurtomo merupakan salah satu kelompok ludruk yang masih eksis hingga kini. “Kalau dulu, masyarakat
Akhir tahun 1970-an, kelompok ini pernah merekam pentas, namun banyak yang dibajak demi bisnis. Meski masih banyak yang suka nonton Ludruk, namun regenerasi pemain agak sulit dilakukan, apalagi harus terpatri dalam garapan materia yang agak tematis sesuai perkembangan permasalahan yang ada di masyarakat.
Sabtu
Kritik Sosial Dalam ‘’Raksasa’’ FSS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar