Jumat

Kunci Sukses Warga Cina NTB

Siap Menderita, Jujur Dan Tekun

OLEH: HERNAWARDI

Dalam ceceran sejarah, terungkap bahwa kedatangan dan keberadaan warga Tionghoa di Lombok, NTB terjadi pada abad XVII dengan mengandalkan profesi sebagai pedagang. Dalam perkembangan, warga Tionghoa di Lombok selalu membangun kesadaran tentang pentingnya akulturasi bersama masyarakat setempat. Itulah yang terjadi sejak abad XIX hingga sekarang.

Terjadinya perkawinan silang dan gotong royong kental menambah interaksi. Meski di eks pelabuhan Ampenan, kota Mataram masih tersisa bangunan Vihara sebagai simbol kebahktian etnis Cina di Pulau Seribu Masjid ini masih bertengger klenteng, yang konon usianya hingga ratusan tahun, mampu menyatukan suku pada etnis Cina di Lombok dalam keyakinan, baik yang memeluk Islam, Hindu, Nasrani maupun Konghucu.

Kim Sin, seorang warga keturunan Tionghoa yang sudah lama menetap di Lombok mengaku, dirinya termasuk warga keturunan yang sempat mengalami masa-masa pahit. Pada masa itu Kim Sin hanya bisa makan sebatang ubi sehari-hari dan hanya berpakaian karung. Bahkan orang tua Kim Sim pertama kali tiba di Lombok, negara dalam keadaan sulit dan kacau balau. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di mana-mana.

Situasi politik dan keamanan yang carut-marut membuat orang tua dari Tionghoa di Lombok lari menyelamatkan diri agar bisa bertahan hidup. Saat itu banyak warga Tionghoa diterpa penderitaan panjang. Ada yang lari ke Gunung atau mencari tempat persembunyian yang aman.

Karena itu ada falsafah yang dikenal kalangan komunitas Tionghoa, ‘’Di mana ada gunung di sana ada orang Cina’’. Artinya di pegunungan pasti ada air. Meski tak ada makanan, yang penting air minum tersedia, sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup, ungkap Kim membuka pengalaman pahit orang tuanya. Kim miliki 15 saudara, namun saat kolonial Jepang, ia termasuk yang paling melarat di Lombok, dan saudara lain terpencar ke berbagai daerah. ‘’Ayah meninggal saat saya masih kecil, dan menyusul ibu. Tinggal saya sendiri selaku anak yatim piatu. Saya harus mencari penghidupan sendiri. Karena tidak mampu, saya stop sekolah di kelas II SD, ujarnya.

Modal yang cuma diwariskan kedua orang tua, ingat Kim Sin, bukanlah harta benda tetapi pengetahuan yakni kejujuran, rajin, tekun, hemat dan rajin-rajin berkawan. ‘’Saya hemat cukup dengan makan ubi saja. Jika hidup bisa diperjuangkan dengan Rp 10 saja, maka lebih baik Kim tak membeli nasi seharga Rp 1000. Hidup memang perlu hemat. Jangan sampai baru ada rezeki langsung foya-foya. Tuhan pasti memberi bagian, jika kita mau bekerja. Tak mungkin Tuhan memberikan sesuatu bagi yang tidak pernah berbuat apa-apa, katanya.

Dengan jujur, Kim melanjutkan bisnis yang ditinggalkan ibunya dibantu seorang kerabat dekat. Pria yang berubah nama jadi Gunawan ini, akhirnya meraih sukses. Sejak tahun 1962, Gunawan sudah merintis usaha dengan membuka toko di Cakranegara dan Naramada. Sekarang, Gunawan menikmati hidup dengan memiliki sebuah rumah di Karangjasi, Cakra.

Kim Sin bukan satu-satunya warga Tionghoa yang sukses. Mayoritas warga Cina cenderung lebih baik karena konsep hidup yang dianut jelas, hingga kentara dalam dominasi ekonomi. Sebagai imbas, saat peristiwa 1 Januari 2000 di Lombok, toko-toko di Cakranegara, Mataram dan sekitarnya tutup dan harga barang melonjak naik dan langka. Jangankan untuk membeli elektronik, membeli super mi saja sulit. Kehidupan perekonomian mulai nampak ketika keadaan normal dan warga Tionghoa kembali ke Lombok. Artinya, kehidupan perekonomian di kota Mataram dikendalikan warga Cina, dan mereka punya andil membangun landasan ekonomi secara luas.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung