Oleh: Edy Firmansyah*
Pemberantasan korupsi oleh pemerintah terkesan masih setengah hati. Memang sudah banyak para koruptor yang berhasil diseret ke meja hijau. Hanya saja seringkali berakhir dengan putusan bebas. Vonis bebas tiga mantan Direktur Bank Mandiri, yakni E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu adalah salah satu bukti dari sekian banyak kasus bebasnya para terdakwa koruptor. Meskipun ada yang 'terpaksa' dikenai pidana kurungan, tetapi boleh dikatakan ringan. Bahkan kecenderungan para koruptor itu mendapatkan pelayanan istimewa selama dalam tahanan.
Hal tersebut tentu saja tidak sebanding dengan tindak kejahatan yang dilakukannya. Pasalnya, korupsi adalah penyakit moral sehingga menimbulkan dampak yang luar biasa baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Antara lain terjadinya pemusatan ekonomi pada elite politik, diskriminasi kebijakan, pembangunan yang tidak merata, ekonomi biaya tinggi dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Ekses negatif itu menjadikan rakyat miskin semakin tak terbendung jumlahnya, kekurangan gizi, meningkatnya angka pengangguran, serta lunturnya rasa nasionalisme.
Ironisnya lagi, karena lemahnya sikap pemerintah tersebut, akhirnya menyulut bermunculannya para koruptor-koruptor baru yang semakin membabi buta menggerogoti uang negara. Seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Misalnya hasil pemeriksaan BPK pada 344 laporan dan 23 laporan keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dari laporan itu ditemukan sebanyak 60 daerah Propinsi/Kabupaten maupun kota yang telah mengendapkan dana senilai Rp 214, 75 miliar dan terdapat 77 pemerintah daerah (pemda) melakukan pemborosan keuangan APBD sebesar Rp 170,68 miliar. Bahkan di Kab. Jember, Jawa Timur BPK juga menemukan penyimpangan dana yang jumlahnya mencapai 133,51 mililar (Yasan Kara, SINDO, 14/12/2006 ).
Bahkan ketika hendak dijerat oleh hukum, banyak di antara para koruptor baru itu yang lari ke luar negeri. Dan lagi-lagi pemerintah dibuat gigit jari. Indonesia masih bertengger di urutan paling buncit negara terkorup.
Mengapa hukum lemah ketika berhadapan dengan para koruptor? Ibarat memakan buah simalakama, pihak yang harus ditindak dan yang harus menindak sebenarnya sama-sama korupnya. Seorang jaksa, polisi, hakim atau pejabat pemberantas korupsi yang tadinya serius berupaya membongkar satu kasus korupsi tiba-tiba mundur dan melaporkan pada atasannya bahwa kasus dugaan korupsi yang sedang ditanganinya tidak cukup bukti dan harus ditutup. Padahal di balik itu, mereka menutup kasus tersebut karena mendapat ancaman dari pelaku korupsi bahwa kasus korupsi mereka pun di masa lalu akan dibongkar.
Meski begitu bukan berarti korupsi yang sudah berurat akar di negeri ini tidak bisa diberantas. Menurut Soedarso dalam Korupsi di Indonesia, pejabat-pejabat yang korup dapatlah kita anggap sebagai late comers to the modern world, yakni orang-orang yang dalam pengertian kultural tidak kompeten memegang jabatannya. Mereka belum terlatih dalam soal kerja sama berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan juga tidak memiliki penghargaan terhadap norma-norma yang melindungi prinsip kerja sama modern.(Kayam, 2005;212).
Solusi yang tepat saat ini bukan sebatas hukuman radikal seperti hukuman mati, tetapi regenerasi total. Pejabat-pejabat negara yang terindikasi melakukan korupsi disingkirkan. Bahkan kalau perlu mereka diasingkan di sebuah pulau terpencil. Sedangkan posisi mereka digantikan dengan orang-orang yang bersih serta memiliki loyalitas tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan begitu organisasi (negara) akan terhindar dari kesemrawutan. Dan alangkah baiknya jika pemerintah mau melakukan tebang habis. Artinya regenerasi total ini secara serentak di seluruh Nusantara. Sehingga terhindar dari upaya-upaya money politik dan ditunggangi kepentingan sepihak.
Sekaligus juga pemerintah segera melakukan pembenahan terhadap sistem administrasi dan keuangan negara. Karena sistem tersebut merupakan sisa-sisa masa kolonial. Dan bukan rahasia umum lagi, bahwa sebenarnya watak korupsi ini lahir dari sistem administrasi kolonial yang bergerak bukan untuk kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik, melainkan untuk penghisapan.
*) Aktivis dan Ketua FORDEM (Forum Demokrasi), Pamekasan, Madura.
Pemberantasan korupsi oleh pemerintah terkesan masih setengah hati. Memang sudah banyak para koruptor yang berhasil diseret ke meja hijau. Hanya saja seringkali berakhir dengan putusan bebas. Vonis bebas tiga mantan Direktur Bank Mandiri, yakni E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu adalah salah satu bukti dari sekian banyak kasus bebasnya para terdakwa koruptor. Meskipun ada yang 'terpaksa' dikenai pidana kurungan, tetapi boleh dikatakan ringan. Bahkan kecenderungan para koruptor itu mendapatkan pelayanan istimewa selama dalam tahanan.
Hal tersebut tentu saja tidak sebanding dengan tindak kejahatan yang dilakukannya. Pasalnya, korupsi adalah penyakit moral sehingga menimbulkan dampak yang luar biasa baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Antara lain terjadinya pemusatan ekonomi pada elite politik, diskriminasi kebijakan, pembangunan yang tidak merata, ekonomi biaya tinggi dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Ekses negatif itu menjadikan rakyat miskin semakin tak terbendung jumlahnya, kekurangan gizi, meningkatnya angka pengangguran, serta lunturnya rasa nasionalisme.
Ironisnya lagi, karena lemahnya sikap pemerintah tersebut, akhirnya menyulut bermunculannya para koruptor-koruptor baru yang semakin membabi buta menggerogoti uang negara. Seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Misalnya hasil pemeriksaan BPK pada 344 laporan dan 23 laporan keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dari laporan itu ditemukan sebanyak 60 daerah Propinsi/Kabupaten maupun kota yang telah mengendapkan dana senilai Rp 214, 75 miliar dan terdapat 77 pemerintah daerah (pemda) melakukan pemborosan keuangan APBD sebesar Rp 170,68 miliar. Bahkan di Kab. Jember, Jawa Timur BPK juga menemukan penyimpangan dana yang jumlahnya mencapai 133,51 mililar (Yasan Kara, SINDO, 14/12/2006 ).
Bahkan ketika hendak dijerat oleh hukum, banyak di antara para koruptor baru itu yang lari ke luar negeri. Dan lagi-lagi pemerintah dibuat gigit jari. Indonesia masih bertengger di urutan paling buncit negara terkorup.
Mengapa hukum lemah ketika berhadapan dengan para koruptor? Ibarat memakan buah simalakama, pihak yang harus ditindak dan yang harus menindak sebenarnya sama-sama korupnya. Seorang jaksa, polisi, hakim atau pejabat pemberantas korupsi yang tadinya serius berupaya membongkar satu kasus korupsi tiba-tiba mundur dan melaporkan pada atasannya bahwa kasus dugaan korupsi yang sedang ditanganinya tidak cukup bukti dan harus ditutup. Padahal di balik itu, mereka menutup kasus tersebut karena mendapat ancaman dari pelaku korupsi bahwa kasus korupsi mereka pun di masa lalu akan dibongkar.
Meski begitu bukan berarti korupsi yang sudah berurat akar di negeri ini tidak bisa diberantas. Menurut Soedarso dalam Korupsi di Indonesia, pejabat-pejabat yang korup dapatlah kita anggap sebagai late comers to the modern world, yakni orang-orang yang dalam pengertian kultural tidak kompeten memegang jabatannya. Mereka belum terlatih dalam soal kerja sama berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan juga tidak memiliki penghargaan terhadap norma-norma yang melindungi prinsip kerja sama modern.(Kayam, 2005;212).
Solusi yang tepat saat ini bukan sebatas hukuman radikal seperti hukuman mati, tetapi regenerasi total. Pejabat-pejabat negara yang terindikasi melakukan korupsi disingkirkan. Bahkan kalau perlu mereka diasingkan di sebuah pulau terpencil. Sedangkan posisi mereka digantikan dengan orang-orang yang bersih serta memiliki loyalitas tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan begitu organisasi (negara) akan terhindar dari kesemrawutan. Dan alangkah baiknya jika pemerintah mau melakukan tebang habis. Artinya regenerasi total ini secara serentak di seluruh Nusantara. Sehingga terhindar dari upaya-upaya money politik dan ditunggangi kepentingan sepihak.
Sekaligus juga pemerintah segera melakukan pembenahan terhadap sistem administrasi dan keuangan negara. Karena sistem tersebut merupakan sisa-sisa masa kolonial. Dan bukan rahasia umum lagi, bahwa sebenarnya watak korupsi ini lahir dari sistem administrasi kolonial yang bergerak bukan untuk kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik, melainkan untuk penghisapan.
*) Aktivis dan Ketua FORDEM (Forum Demokrasi), Pamekasan, Madura.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar