SOROT
Oleh: Suparmono*
Sutiyoso akan resmi lengser keprabon, Minggu (7/10). Jabatannya sebagai Gubernur DKI akan digantikan Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke. Meski bukan orang baru, Foke akan menjalankan kekuasaannya dengan gaya dan karakternya sendiri.
Ada banyak pekerjaan rumah Bang Foke. Di antaranya mengenai transportasi massal, busway dan monorail. Penyelesaian koridor busway akan menjadi tolok ukur apakah Fauzi Bowo seperkasa Sutiyoso dalam memegang teguh prinsip angkutan massal ini. Dua koridor yang melayani rute Pondok Indah dan Pluit banyak ditentang warga.
Masalah besar lainnya yang pasti bakal dihadapi Bang Foke adalah banjir Jakarta. Paradigma pembangunan lazimnya mengacu kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu ke depan harus dilakukan pendekatan ekosistem dalam pola pembangunan berkelanjutan yang berdimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan tata-guna lahan yang mengabaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), berdampak negatif terutama kepada masyarakat yang berekonomi lemah. Namun nyaris tidak ada tindakan tegas kepada para pemodal maupun developer yang melanggar kesepakatan nasional dan atau wilayah yang mengatur tata-guna lahan. Memang ada kesan para pengambil keputusan (eksekutif) telah main mata dengan para pemilik modal besar. Bang Foke harus mampu menindak tegas mereka.
Di sebagian Kitab Suci, sungai dilukiskan sebagai atribut surga. Banyak ibukota negara di dunia bahkan kota-kota di bawah pengaruhnya yang memelihara dan mempercantiknya. Sebutlah misalnya Paris yang membanggakan wisata sungai Seine-nya, atau London dengan sungai Thames, Amsterdam dengan kanal-kanal dan sungai Amstel. Di Asia kita bisa sebut sungai Sumida di Tokyo, atau sungai Han di kota Seoul yang sangat mengesankan.
Bagaimana Ibukota kita bisa membanggakan keberadaan sungai-sungainya? Padahal, Tuhan sudah sangat bermurah hati dengan menghadiahkan tidak kurang dari 13 sungai yang mengaliri wilayahnya. Kita harapkan Bang Foke memiliki visi yang memadai bagaimana mengelola atribut surga yang mengaliri DKI Jakarta. Di sektor pariwisata DKI, selama ini diupayakan hanya dengan menjauhkan para wisatawan dari sungai-sungainya yang menjadi daerah kumuh.
Main mata para pengambil keputusan dengan para pemilik modal dalam melanggar RTRW dan RTH, telah menghilangkan daya resap air. Simpanan air yang secara bertahap dilepas di musim kemarau, tak lagi memiliki tandon, lalu menggenang. Sungai-sungai berubah menjadi penampung limbah panjang yang potensial mengancam kesehatan masyarakat sekitarnya.
Kembalikan dimensi alamiahnya
Keseimbangan dan dimensi alamiah rusak berat akibat keserakahan manusia. Dimensi sungai yang telah diatur undang-undang, dilanggar dalam kegiatan yang mengatasnamakan pembangunan. Sungai-sungai dipersempit, ditutup atau dialihkan. Akibatnya banjir besar semakin akrab di DKI. Itu bukan gara-gara gejala alam, tetapi akibat ulah manusia.
Proyek BKT hanya bagian kecil prasarana untuk mengatasi masalah banjir Jakarta. Yang lebih urgen, kita carikan tempat baru bagi air yang habitatnya telah dirampas. Kita ketahui 40% wilayah DKI berada di bawah rata-rata permukaan air laut. Daerah-daerah itu harus diklasifikasikan sebagai habitat air. Karena banyak rawa sudah jadi kawasan usaha dan hunian, maka kita harus mencarikan teknologi pengalihan air ke tempat baru yang direncanakan. Tanpa upaya dari pemerintah, maka air akan mencari jalannya sendiri. Akibatnya daerah-daerah yang semula bebas banjir, tiba-tiba tertimpa banjir besar. Tak terkecuali daerah-daerah pemukiman elit.
Perubahan dimensi sungai, berakibat meluapnya air yang tidak lagi tertampung dalam palung dan bantarannya. Lagi-lagi masyarakat yang tidak bersalah selalu ikut menerima bala bencana banjir. Apalagi dimensi sungai yang sudah menyempit itu juga harus menampung tambahan air dari wilayah RTH yang sudah berubah fungsinya. Program normalisasi sungai yang hingga kini dijadikan paradigma pengendalian sungai, sudah harus direformasi. Dalam artian normalisasi sungai niscaya diterjemahkan sebagai mengembalikan dimensi alamiahnya.
Implikasinya, penyelamatan sungai di DKI membutuhkan penataan Tata Ruang yang terpadu antara Jakarta dan daerah penyangganya. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan peraturan presiden tentang Tata Ruang di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Tanah Air kita yang rawan banjir mengharuskan kita membangun dengan mengindahkan keutuhan fungsi ekosistem. Kenyataan inilah yang melahirkan UU tentang Tata Ruang (1992) yang bernapaskan pembangunan berwawasan lingkungan. Bahkan, pihak Departemen PU kini memprakarsai reformasi UU tentang Tata Ruang sesuai tuntutan keadaan lingkungan yang semakin kompleks.
Salah satu tugas mendesak Gubernur DKI yang baru adalah menertibkan daerah sempadan sungai seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang sungai (1991). Garis sempadan sungai perlu segera ditentukan. Jika RUU Tata Ruang yang digodok DPR berpihak pada rakyat, maka semua bangunan yang berdiri di atasnya harus ditata ulang. Kalau perlu dibongkar saja, meski telah menjadi milik pemodal besar. Mestinya tidak ada main mata lagi. Jangan hanya menyalahkan para penghuni bantaran dan palung sungai yang umumnya masyarakat miskin.
*) Pengamat manajemen sumberdaya air, mantan Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, tinggal di Jakarta Selatan.
Oleh: Suparmono*
Sutiyoso akan resmi lengser keprabon, Minggu (7/10). Jabatannya sebagai Gubernur DKI akan digantikan Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke. Meski bukan orang baru, Foke akan menjalankan kekuasaannya dengan gaya dan karakternya sendiri.
Ada banyak pekerjaan rumah Bang Foke. Di antaranya mengenai transportasi massal, busway dan monorail. Penyelesaian koridor busway akan menjadi tolok ukur apakah Fauzi Bowo seperkasa Sutiyoso dalam memegang teguh prinsip angkutan massal ini. Dua koridor yang melayani rute Pondok Indah dan Pluit banyak ditentang warga.
Masalah besar lainnya yang pasti bakal dihadapi Bang Foke adalah banjir Jakarta. Paradigma pembangunan lazimnya mengacu kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu ke depan harus dilakukan pendekatan ekosistem dalam pola pembangunan berkelanjutan yang berdimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan tata-guna lahan yang mengabaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), berdampak negatif terutama kepada masyarakat yang berekonomi lemah. Namun nyaris tidak ada tindakan tegas kepada para pemodal maupun developer yang melanggar kesepakatan nasional dan atau wilayah yang mengatur tata-guna lahan. Memang ada kesan para pengambil keputusan (eksekutif) telah main mata dengan para pemilik modal besar. Bang Foke harus mampu menindak tegas mereka.
Di sebagian Kitab Suci, sungai dilukiskan sebagai atribut surga. Banyak ibukota negara di dunia bahkan kota-kota di bawah pengaruhnya yang memelihara dan mempercantiknya. Sebutlah misalnya Paris yang membanggakan wisata sungai Seine-nya, atau London dengan sungai Thames, Amsterdam dengan kanal-kanal dan sungai Amstel. Di Asia kita bisa sebut sungai Sumida di Tokyo, atau sungai Han di kota Seoul yang sangat mengesankan.
Bagaimana Ibukota kita bisa membanggakan keberadaan sungai-sungainya? Padahal, Tuhan sudah sangat bermurah hati dengan menghadiahkan tidak kurang dari 13 sungai yang mengaliri wilayahnya. Kita harapkan Bang Foke memiliki visi yang memadai bagaimana mengelola atribut surga yang mengaliri DKI Jakarta. Di sektor pariwisata DKI, selama ini diupayakan hanya dengan menjauhkan para wisatawan dari sungai-sungainya yang menjadi daerah kumuh.
Main mata para pengambil keputusan dengan para pemilik modal dalam melanggar RTRW dan RTH, telah menghilangkan daya resap air. Simpanan air yang secara bertahap dilepas di musim kemarau, tak lagi memiliki tandon, lalu menggenang. Sungai-sungai berubah menjadi penampung limbah panjang yang potensial mengancam kesehatan masyarakat sekitarnya.
Kembalikan dimensi alamiahnya
Keseimbangan dan dimensi alamiah rusak berat akibat keserakahan manusia. Dimensi sungai yang telah diatur undang-undang, dilanggar dalam kegiatan yang mengatasnamakan pembangunan. Sungai-sungai dipersempit, ditutup atau dialihkan. Akibatnya banjir besar semakin akrab di DKI. Itu bukan gara-gara gejala alam, tetapi akibat ulah manusia.
Proyek BKT hanya bagian kecil prasarana untuk mengatasi masalah banjir Jakarta. Yang lebih urgen, kita carikan tempat baru bagi air yang habitatnya telah dirampas. Kita ketahui 40% wilayah DKI berada di bawah rata-rata permukaan air laut. Daerah-daerah itu harus diklasifikasikan sebagai habitat air. Karena banyak rawa sudah jadi kawasan usaha dan hunian, maka kita harus mencarikan teknologi pengalihan air ke tempat baru yang direncanakan. Tanpa upaya dari pemerintah, maka air akan mencari jalannya sendiri. Akibatnya daerah-daerah yang semula bebas banjir, tiba-tiba tertimpa banjir besar. Tak terkecuali daerah-daerah pemukiman elit.
Perubahan dimensi sungai, berakibat meluapnya air yang tidak lagi tertampung dalam palung dan bantarannya. Lagi-lagi masyarakat yang tidak bersalah selalu ikut menerima bala bencana banjir. Apalagi dimensi sungai yang sudah menyempit itu juga harus menampung tambahan air dari wilayah RTH yang sudah berubah fungsinya. Program normalisasi sungai yang hingga kini dijadikan paradigma pengendalian sungai, sudah harus direformasi. Dalam artian normalisasi sungai niscaya diterjemahkan sebagai mengembalikan dimensi alamiahnya.
Implikasinya, penyelamatan sungai di DKI membutuhkan penataan Tata Ruang yang terpadu antara Jakarta dan daerah penyangganya. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan peraturan presiden tentang Tata Ruang di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Tanah Air kita yang rawan banjir mengharuskan kita membangun dengan mengindahkan keutuhan fungsi ekosistem. Kenyataan inilah yang melahirkan UU tentang Tata Ruang (1992) yang bernapaskan pembangunan berwawasan lingkungan. Bahkan, pihak Departemen PU kini memprakarsai reformasi UU tentang Tata Ruang sesuai tuntutan keadaan lingkungan yang semakin kompleks.
Salah satu tugas mendesak Gubernur DKI yang baru adalah menertibkan daerah sempadan sungai seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang sungai (1991). Garis sempadan sungai perlu segera ditentukan. Jika RUU Tata Ruang yang digodok DPR berpihak pada rakyat, maka semua bangunan yang berdiri di atasnya harus ditata ulang. Kalau perlu dibongkar saja, meski telah menjadi milik pemodal besar. Mestinya tidak ada main mata lagi. Jangan hanya menyalahkan para penghuni bantaran dan palung sungai yang umumnya masyarakat miskin.
*) Pengamat manajemen sumberdaya air, mantan Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, tinggal di Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar