Senin

Memaafkan Menteri Agama

REFLEKSI
Oleh: Muhammad Ainun Najib*

Insiden kelaparan jama'ah haji saat wukuf di Arafah dan Mina memicu permohonan maaf Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Seraya memohon maaf, Menag sekaligus mengungkapkan kegagalan penyediaan makanan katering ANA yang diakibatkan sabotase dari muasasah dan membludaknya jama'ah karena tahun ini adalah haji akbar (wukuf Arafah bertepatan dengan hari Jumat). Sebuah alibi yang biasa diucapkan pejabat publik untuk menutupi kesalahan. Padahal, menurut Dale Carnegie (1981), penulis buku How to Win Friends and Influence People, menyarankan kalau anda salah, akuilah dengan gentlemen dan tanggung jawab, tanpa harus mengutarakan alibi, agar orang lain simpati dan mengikuti pola pikir anda.
Malapetaka kelaparan jama'ah haji kini tengah diinvestigasi oleh sebuah tim yang diketuai oleh KH. M. Tholhah Hasan untuk mengungkapkan siapa yang harus bertanggung jawab. Kedudukan tim investasi sangat strategis menentukan siapa yang bersalah dalam kasus ini. Budaya menteri mengundurkan diri karena gagal menyediakan kepentingan publik tampaknya belum menjadi tradisi dalam jagat pemerintahan. Kalau pun ada menteri mundur, maka lebih dikarenakan konsideran politik, bukan lantaran dianggap gagal melaksanakan tugas. Dalam konteks ini, Menag dan menteri lain yang 'gagal' enggan untuk mengembalikan jabatannya kepada Presiden. Alih-alih mundur, yang disampaikan sekadar permohonan maaf plus alibi. Tekanan politik sebagian kelompok masyarakat agar Menag mengundurkan diri tampaknya tidak digubris. Kartu truf kasus ini berada di tangan tim investigasi yang dibentuk melalui keppres dan keberanian politik presiden untuk mencopot menteri yang gagal memenuhi standar kerja profesional.
Meminta maaf sekalipun pada dasarnya tidak bisa mengembalikan kesengsaraan jama'ah haji. Salah satu kelemahan tindakan manusia, demikian difatwakan Hannah Arendt, adalah tidak bisa dikembalikan ke titik nol (irreversible). Kelaparan jama'ah haji meninggalkan bekas luka yang mendalam sehingga diberitakan bahwa ketika Menag mengunjungi kloter jamaah haji hampir saja dikeroyok. Maaf dan uang ganti tidak dapat mengembalikan kepedihan hati. Rekonsiliasi hanya dapat dimungkinkan bila jamaah haji bersedia memaafkan kesalahan Menag. Namun, memaafkan bukan sesuatu yang logis, karena setiap kesalahan harus menerima balasan setimpal. Karena itu, beberapa lembaga bantuan hukum siap memberikan pelayanan gugatan hukum terhadap Menag. Memaafkan hanya tumbuh dari kemurahan hati.
Depag
Kisruhnya pelaksanaan ibadah haji mencerminkan buruknya pelayanan publik di negeri ini, khususnya Depag. Tidak dapat disangkal, Departemen Agama dicitrakan sebagai lembaga dengan profesionalitas rendah: korupsi, kolusi dan nepotisme yang tumbuh subur, sebagaimana keprihatinan yang pernah disampaikan Syafi'i Ma'arif; pendidikan yang dikelola Depag terkenal dengan mutu "kelas dua"; serta penyelenggaraan haji yang penuh dengan pungli dan amburadul. Kendati demikian, departemen ini menjadi ajang rebutan antara kelompok Islam modernis dan tradisionalis.
Secara historis, eksistensi Depag dapat ditelusuri sejak zaman kolonial. Belanda mendirikan Kantoor voor Inlandsche Zaken (kantor urusan pribumi) yang didesain mengawasi kekuatan kaum pribumi, terutama kaum Muslim, demi terciptanya rust en orde. Sejalan dengan itu, Jepang membuat Shumubu yang sebenarnya merupakan akomodasi superfisial dan kosmetis yang digunakan mengatrol dukungan kekuatan militer dalam persiapan Perang Pasifik. KH. Hasyim Asy'ari adalah orang yang pertama kali menjabat kedudukan Shumubu, menggantikan Dr. Husein Djajadiningrat, bekas kepala Kantoor voor Inlandsche Zaken. Namun, jabatan ini semata simbolik karena dalam kenyataannya dijalankan oleh KH. Wahid Hasyim bersama Abdul Kahar Muzakkar (Muhammadiyah).
Kementrian Agama cikal bakal Depag dibentuk sejak Kabinet Syahrir atas desakan umat Islam. Kecuali itu, berdirinya kementrian agama merupakan bentuk kompromi antara keinginan membentuk negara Islam dan sekuler (Bolland, 1985). Konsesi politik umat Islam ini pada awalnya mempunyai tiga bidang: pendidikan, penerangan, dan pengadilan. Menurut Prof. Ali Mufrodi, guru besar Sejarah Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam pidato pengukuhannya tentang sejarah haji (2003), pemerintah Indonesia melalui kementrian agama sejak awal 1950-an memonopoli pelaksanaan haji yang sebelumnya ditangani oleh organisasi-organisasi Islam.
Cakupan lahan garap Depag yang overloaded berimbas pada kinerja buruk. Dalam pendidikan misalnya, Depag tumpang-tindih dengan lahan Depdiknas. Kesan dikotomi pendidikan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum terlalu kasat dengan adanya dua departemen yang berbeda. Di samping itu, pendidikan Islam dianaktirikan dengan pemberian subsidi pendidikan yang tidak memadai dibandingkan pendidikan umum. Penting dipikirkan bagaimana meredesain Depag yang memiliki profesionalitas tinggi.
Potong Generasi
Citra buruk Depag mengandaikan adanya cara-cara revolusioner mengatasinya. Salah satunya adalah potong birokrasi yang terkontaminasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keberanian menindak pejabat dan pegawai yang terbukti korupsi dan pungli perlu ditumbuhkan, sekalipun pejabat tersebut mendapatkan dukungan dari ormas Islam tertentu. Semangat baru, tetapi bukan sekadar slogan, perlu dipompakan agar citra buruk Depag terkikis sedikit demi sedikit.
Bgitupula, monopoli Depag dalam penyelenggaraan ibadah haji perlu dipikirkan ulang. Dengan sumber daya manusia yang 'pas-pasan' dan cakupan kerja yang berlebihan, Depag perlu menempatkan dirinya tidak sebagai penyelenggara, tetapi sebagai regulator dan pengawas semata. Sementara itu, penyelenggaraan ibadah haji diserahkan biro perjalanan haji sebagaimana tahun-tahun sebelum kemerdekaan.
Sambil menanti hasil tim investigasi kelaparan jamaah haji, tidak salahnya memikirkan ulang bagaimana para jamaah dapat melakukan haji secara manusiawi dan bebas dari pungli. Betapa bodohnya kita bila terjatuh dua kali dalam satu lubang yang sama.
*)Mahasiswa Progam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung