Senin

Menciptakan Atmosfir Demokratisasi Pendidikan

OLEH: Indah Dwi Qurbani*
Proses belajar mengajar dalam sistem pendidikan di Indonesia masih menempatkan siswa tidak ubahnya seperti kerbau yang sedang membajak sawah, atau kuda yang digunakan untuk menarik pedati. Waktu istirahat benar-benar dinikmati untuk memulihkan tenaga guna menyongsong jam pelajaran selanjutnya. Inilah budaya usang yang masih dipertahankan, meski prosentasenya sangat kecil untuk dapat melahirkan manusia paripurna. Sebuah budaya yang menyulitkan peneguhan manusia sebagai tool making animal (meminjam istilah Habermas) dalam menyikapi kehidupan materialnya berhadapan dengan alam dan menafikan kepentingan siswa sebagai manusia yang selalu mengorganisir pengalamannya menurut kepentingan kognitif. Ini cermin hilangnya demokratisasi penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.
Fondasi pendidikan kita yang hanya berbasis transfer of knowledge atau transfer of value acapkali menjauhkan siswa dari nilai kebenaran yang semestinya melekat dan dibutuhkan siswa terhadap sesuatu yang disebut pengetahuan. Jika pengetahuan manusia dibentuk oleh sikap, sarana, dan lingkungan yang mempengaruhinya, maka model pendidikan semacam ini harus dipertanyakan. Transfer of knowledge atau transfer of value hanya akan membuat roda sejarah berhenti dan mesin budaya menjadi mati. Model pendidikan yang hanya beroperasi sebagai pemindahan teori iptek dan nilai akan menciptakan strata masyarakat nepotis dan kolutif sebagai pelestarian kekuasaan yang korup. Hal ini akan menempatkan pendidikan sekedar sebagai industri nilai yang telah gagal berfungsi dan sekedar menjadi pasar.
Di sisi lain, ritual forum diskusi mahasiswa sebagai metode pendidikan alternatif, atau pendidikan yang berbasis komunitas (community based education) yang mestinya menjadi lokomotif dari terbangunnya pendidikan pluralis jarang sekali dilakukan, sehingga menjadi kontraproduktif dan mencetak mahasiswa-mahasiswa yang terjebak dalam dunia satu dimensi, yaitu mahasiswa yang hanya menyandarkan masa depannya pada seperangkat kurikulum di bangku kuliah.
Padahal apa yang diperoleh di bangku kuliah sesungguhnya adalah dasar untuk pengembangan kemampuan diri. Pengembangan itu secara intensif diyakini Verhaak sebagai proses yang menentukan kredibilitas kebenaran yang diyakini. Pengembangan itu secara bertahap juga dapat mengkonstruksi sebuah mitos (myth) dan kebiasaan-kebiasaan mental (mindset) yang baru, untuk kemudian melahirkan mahasiswa-mahasiswa masa depan yang dinamis, produktif, utuh, dan holistik.
Mitos mengenai pendidikan sebagai pintu gerbang ke arah gelar, kerja, status sosial, kekayaan material, dan ke arah pasar yang hingga kini telah melingkupi budaya pencarian ilmu di negeri ini dengan sendirinya akan tergantikan dengan mitos baru yang sesuai dengan dimensi-dimensi sosial yang lebih kaya.
Kebiasan mental seperti mencari jalan pintas, kepuasan materi, status dan prestise semata, akan tergusur dengan kebiasan-kebiasan mental yang baru, yang dapat mendukung sistem pendidikan dan sistem sosial yang lebih baik (the future education).
Pendidikan masa depan tentang bagaimana melakukan pembelajaran sosial (social learning), tentang bagaimana berpikir secara sistemik, holistik, integratif, dengan berorientasi pada masa depan. Mengembangkan kesadaran, bahwa segala sesuatu di dunia ini saling berkaitan, antara satu dengan lainya, baik dalam tempat, ruang, dan waktu mestinya menjadi atmosfir pendidikan, sehingga keterpurukan bangsa dengan sendirinya bisa segera diatasi.
Pendidikan Antroposentrik.
Masalah mendasar dari carut-marutnya sistem pendidikan di negeri ini sesungguhnya berawal dari pandangan epistemik pendidikan kita yang telah berubah menjadi antroposentrik. Situasi ini berdampak pada hilangnya keseimbangan religius dalam thymos dan etika kita dalam realitas. Sains dan teknologi kita dikatakan Capra, berpusat pada sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda yang terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan fenomena alam.
Problematika ini sesungguhnya berawal dari rancunya konsep pendidikan yang bahkan pada satu titik mampu menghancurkan tatanan peradaban. Contoh konkrit, sistem dan orientasi belajar siswa di sekolah yang sepenuhnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, (karier, jabatan, kekuasaan, dan uang). Sehingga out put generasinya pun menjadi serba materialistik, konsumeristik, bahkan tak jarang menjurus ke arah hedonistik dan menafikan pedagogis kemanusiaannya.
Jika dilacak secara epistemologis, mata rantai yang terbungkus rapi dalam sistem pendidikan di Indonesia, justru tak lepas dari konstruksi filsafat pendidikan kita yang lebih menitikberatkan filsafat antroposentrisme ketimbang teosentrisme.
Ini tampak dari dikotomisasi pendidikan antara "pendidikan umum" di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan "pendidikan agama" di bawah Departemen Agama yang seolah dirancang terpisah dan bersifat fragmentatif. Dualisme tersebut telah melahirkan dikotomi baru antara "ilmu umum"di satu sisi dan "ilmu agama" pada sisi lain. Lebih jauh lagi, dikotomi baru itu mereproduksi dikotomi lebih baru lagi antara "pendidikan modern" (umum) dan "pendidikan tradisional" (agama).
Bila ditarik pada peta religiusitas, dikotomi di atas semakin nampak sektarian dengan adanya sekolah khusus umat Kristiani, Budha, Hindu, Islam, dan Konghucu, yang cenderung menutup peluang pertukaran budaya dan nilai. Sekolah-sekolah tertentu terbagi berdasarkan status sosial dan ekonomi keluarga siswa. Sistem seleksi penerimaan atau rekrutmen siswa/mahasiswa baru yang feodalistik dan kapitalistik, hanya akan membuka peluang bagi keluarga kelas berpunya untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Pola rekrutmen di atas semakin diperburuk oleh sistem evaluasi hasil belajar yang cenderung dilakukan hanya berdasarkan jumlah pengetahuan yang dikuasai siswa atau mahasiswa, bukan berdasarkan kemampuan mereka dalam menyerap ilmu. Sistem evaluasi semacam ini akan menjadikan anak-anak dari keluarga miskin selalu gagal belajar hanya karena tidak tersedianya waktu untuk belajar dan fasilitas-fasilitas yang mendukung proses belajar tersebut. Pendidikan multikultural memerlukan sistem pendidikan demokratis dan evaluasi serta pola rekrutmen yang humanis dan berorientasi personal sesuai kondisi obyektif setiap siswa atau orang.
*)Dosen FH Universitas Wiraraja Sumenep, Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung