WACANA
Oleh: Tatik Chusniyati*
Di zaman yang serba kompetitif ini, kaum perempuan tak mau lagi sekadar menjadi kanca wingking, cuma mendekam di rumah untuk dan wajib bisa macak, masak dan manak (berhias, memasak, dan melahirkan). Perempuan masa kini terus bergegas agar menjadi mitra yang baik bagi kaum laki-laki, anak-anak dan masyarakat.
Kaum Hawa sekarang merasa tertuntut agar dapat mengatur kehidupan rumah tangga, mendidik anak, berkarir, menghasilkan nafkah yang halal, berkiprah di masyarakat, memiliki dedikasi dan kesetiaan sebagai esensi konsep kehidupan modern kaum perempuan. Saat ini lebih banyak kaum perempuan yang bekerja pada domain publik, jika dibandingkan dengan dasawarsa yang lalu.
Di satu sisi, tuntutan tersebut akan mencegah adanya inequality (ketidakadilan) dalam hidup dan kehidupan. Terlebih, misalnya, seorang istri dan seorang suami juga sama-sama bekerja (duo career family). Dalam konteks ini, sesungguhnya tugas seorang istri jauh lebih berat dari tugas seorang suami. Sebagaimana kelakar seorang kyai, “Kalau tugas seorang suami dimulai dari terbit matahari hingga terbenam matahari, sedangkan tugas seorang istri dimulai sejak terbit matahari sampai terbenamnya mata suami.”
Sementara itu, sebagian perempuan ada yang merasa terkekang karena tugas-tugas di rumah dianggap menghambat karier atau membelenggu ruang gerak aktivitasnya. Namun banyak juga yang menemukan “surga dunia” justru di dalam rumah meski harus menghadapi setumpuk tanggung jawab sebagai konsekuensi menjadi ibu rumah tangga.
Bagaimanapun, seorang istri yang membiarkan rumahnya berantakan ketika terlalu sibuk mencari uang di luar, berarti ia telah berbuat kesalahan karena tanggung jawab mengurus rumah ada pada istri. Namun, tak ada alasan membiarkan seorang istri kelelahan, sementara suaminya tidak bersimpatik untuk membantunya.
Sekadar contoh, jika seorang istri terpaksa harus bekerja di luar rumah, pengaturan ekstra jelas diperlukan kalau tidak ingin rumah tangga berantakan. Bagi seorang suami diharapkan ikut membantu pekerjaan rumah tangga lebih banyak dari yang dilakukannya. Demi keadilan, jika si istri bekerja dalam waktu yang sama panjangnya dengan suaminya, maka sang suami harus membantu pekerjaan rumah secara proporsional ketika berada di rumah.
Faktor Pendidikan
Kemampuan kaum perempuan untuk bekerja dalam ranah publik salah satunya didorong oleh peningkatan kualitas pendidikan mereka, selain juga ingin meringankan beban yang harus ditanggung oleh kepala keluarga. Dengan demikian, wajar bila banyak sekali perempuan yang mencari kerja di berbagai sektor publik. Semuanya itu tentu setelah mendapatkan restu dari sang suami.
Sayangnya, kesuksesan kaum perempuan adakalanya hanya diukur dengan keberhasilan di luar rumah. Baik di kantor, sekolah atau kampus, juga di beberapa organisasi; entah itu bersifat keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, maupun kekuasaan. Padahal, kesuksesan dalam kehidupan berumah tangga juga penting bahkan jauh lebih bermakna bagi pengukuhan citra diri seorang perempuan.
Memang, kesuksesan di luar rumah merupakan ongkos yang sangat mahal bagi perempuan. Banyak kaum perempuan berupaya keras untuk memburu karir karena hal itu dapat menanamkan rasa percaya diri dan kepuasan tersendiri di hati mereka.
Sungguhpun demikian, hendaknya kaum perempuan tidak mengabaikan perannya sebagai seorang istri di dalam rumah tangga. Jika suami sudah memberi izin untuk bekerja di ruang publik, bukan berarti dengan seenak hatinya seorang istri menyerahkan tugas-tugas domestik kepada orang lain. Sebab jika hal itu dilakukan, lambat atau cepat, akhirnya hanya akan mengikis keharmonisan hidup rumah tangga.
Di sini perlunya kesadaran bahwa kehidupan modern yang mengitari kaum perempuan sejatinya dihadapi secara cermat untuk memperkuat citranya sesuai dengan kodratnya, juga sekaligus dicintai suami, anak-anak dan masyarakat. Batapapun suksesnya seorang perempuan berkarir, ia tetap dalam bingkai kesederhanaan dan keanggunannya. Karenanya, selain tidak kenal lelah berkarya, kaum perempuan atau para istri tidak lantas menyepelekan status mereka sebagai ratu rumah tangga.
Bagi perempuan, apalah artinya karir tinggi-tinggi hingga mencucuk atap langit, tapi gagal merengkuh cinta di dalam rumah tangga. Sebuah espektasi yang begitu terhormat jika seorang istri bisa berhasil dalam karirnya, dan di saat yang sama, juga disayang suami dan anak-anak, dicintai orang tua, serta disukai sanak keluarga dan masyarakat.
Pada sisi itulah sosok perempuan (baca: seorang ibu) dengan predikat sebagai pemilik surga di bawah telapak kakinya, diperlukan rasionalisasi dalam prinsip dan perilakunya agar menjadi sosok perempuan yang dihormati sesuai tuntunan agama dan nilai-nilai sosial. Tipe perempuan semacam itu berarti telah berhasil menunjukkan jati dirinya kepada kaum kerabat, kepada sahabat, kepada negerinya, bahkan kepada dunia.
Walhasil, kemampuan kaum perempuan untuk menyeimbangkan antara urusan publik dengan urusan domestik sangat diutamakan. Hal ini yang perlu menjadi pertimbangan awal sebelum perempuan terjun ke domain publik. Sebab, jika perempuan tidak trampil mengelola keseimbangan hidupnya, dikhawatirkan muncul hal-hal negatif yang menyeret suasana rumah tangga pada suatu kebuntuan, tragedi, bahkan kehancuran.
*) Pengajar Ma’had Abdurrahman bin Auf Unmuh Malang
Oleh: Tatik Chusniyati*
Di zaman yang serba kompetitif ini, kaum perempuan tak mau lagi sekadar menjadi kanca wingking, cuma mendekam di rumah untuk dan wajib bisa macak, masak dan manak (berhias, memasak, dan melahirkan). Perempuan masa kini terus bergegas agar menjadi mitra yang baik bagi kaum laki-laki, anak-anak dan masyarakat.
Kaum Hawa sekarang merasa tertuntut agar dapat mengatur kehidupan rumah tangga, mendidik anak, berkarir, menghasilkan nafkah yang halal, berkiprah di masyarakat, memiliki dedikasi dan kesetiaan sebagai esensi konsep kehidupan modern kaum perempuan. Saat ini lebih banyak kaum perempuan yang bekerja pada domain publik, jika dibandingkan dengan dasawarsa yang lalu.
Di satu sisi, tuntutan tersebut akan mencegah adanya inequality (ketidakadilan) dalam hidup dan kehidupan. Terlebih, misalnya, seorang istri dan seorang suami juga sama-sama bekerja (duo career family). Dalam konteks ini, sesungguhnya tugas seorang istri jauh lebih berat dari tugas seorang suami. Sebagaimana kelakar seorang kyai, “Kalau tugas seorang suami dimulai dari terbit matahari hingga terbenam matahari, sedangkan tugas seorang istri dimulai sejak terbit matahari sampai terbenamnya mata suami.”
Sementara itu, sebagian perempuan ada yang merasa terkekang karena tugas-tugas di rumah dianggap menghambat karier atau membelenggu ruang gerak aktivitasnya. Namun banyak juga yang menemukan “surga dunia” justru di dalam rumah meski harus menghadapi setumpuk tanggung jawab sebagai konsekuensi menjadi ibu rumah tangga.
Bagaimanapun, seorang istri yang membiarkan rumahnya berantakan ketika terlalu sibuk mencari uang di luar, berarti ia telah berbuat kesalahan karena tanggung jawab mengurus rumah ada pada istri. Namun, tak ada alasan membiarkan seorang istri kelelahan, sementara suaminya tidak bersimpatik untuk membantunya.
Sekadar contoh, jika seorang istri terpaksa harus bekerja di luar rumah, pengaturan ekstra jelas diperlukan kalau tidak ingin rumah tangga berantakan. Bagi seorang suami diharapkan ikut membantu pekerjaan rumah tangga lebih banyak dari yang dilakukannya. Demi keadilan, jika si istri bekerja dalam waktu yang sama panjangnya dengan suaminya, maka sang suami harus membantu pekerjaan rumah secara proporsional ketika berada di rumah.
Faktor Pendidikan
Kemampuan kaum perempuan untuk bekerja dalam ranah publik salah satunya didorong oleh peningkatan kualitas pendidikan mereka, selain juga ingin meringankan beban yang harus ditanggung oleh kepala keluarga. Dengan demikian, wajar bila banyak sekali perempuan yang mencari kerja di berbagai sektor publik. Semuanya itu tentu setelah mendapatkan restu dari sang suami.
Sayangnya, kesuksesan kaum perempuan adakalanya hanya diukur dengan keberhasilan di luar rumah. Baik di kantor, sekolah atau kampus, juga di beberapa organisasi; entah itu bersifat keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, maupun kekuasaan. Padahal, kesuksesan dalam kehidupan berumah tangga juga penting bahkan jauh lebih bermakna bagi pengukuhan citra diri seorang perempuan.
Memang, kesuksesan di luar rumah merupakan ongkos yang sangat mahal bagi perempuan. Banyak kaum perempuan berupaya keras untuk memburu karir karena hal itu dapat menanamkan rasa percaya diri dan kepuasan tersendiri di hati mereka.
Sungguhpun demikian, hendaknya kaum perempuan tidak mengabaikan perannya sebagai seorang istri di dalam rumah tangga. Jika suami sudah memberi izin untuk bekerja di ruang publik, bukan berarti dengan seenak hatinya seorang istri menyerahkan tugas-tugas domestik kepada orang lain. Sebab jika hal itu dilakukan, lambat atau cepat, akhirnya hanya akan mengikis keharmonisan hidup rumah tangga.
Di sini perlunya kesadaran bahwa kehidupan modern yang mengitari kaum perempuan sejatinya dihadapi secara cermat untuk memperkuat citranya sesuai dengan kodratnya, juga sekaligus dicintai suami, anak-anak dan masyarakat. Batapapun suksesnya seorang perempuan berkarir, ia tetap dalam bingkai kesederhanaan dan keanggunannya. Karenanya, selain tidak kenal lelah berkarya, kaum perempuan atau para istri tidak lantas menyepelekan status mereka sebagai ratu rumah tangga.
Bagi perempuan, apalah artinya karir tinggi-tinggi hingga mencucuk atap langit, tapi gagal merengkuh cinta di dalam rumah tangga. Sebuah espektasi yang begitu terhormat jika seorang istri bisa berhasil dalam karirnya, dan di saat yang sama, juga disayang suami dan anak-anak, dicintai orang tua, serta disukai sanak keluarga dan masyarakat.
Pada sisi itulah sosok perempuan (baca: seorang ibu) dengan predikat sebagai pemilik surga di bawah telapak kakinya, diperlukan rasionalisasi dalam prinsip dan perilakunya agar menjadi sosok perempuan yang dihormati sesuai tuntunan agama dan nilai-nilai sosial. Tipe perempuan semacam itu berarti telah berhasil menunjukkan jati dirinya kepada kaum kerabat, kepada sahabat, kepada negerinya, bahkan kepada dunia.
Walhasil, kemampuan kaum perempuan untuk menyeimbangkan antara urusan publik dengan urusan domestik sangat diutamakan. Hal ini yang perlu menjadi pertimbangan awal sebelum perempuan terjun ke domain publik. Sebab, jika perempuan tidak trampil mengelola keseimbangan hidupnya, dikhawatirkan muncul hal-hal negatif yang menyeret suasana rumah tangga pada suatu kebuntuan, tragedi, bahkan kehancuran.
*) Pengajar Ma’had Abdurrahman bin Auf Unmuh Malang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar