SOROT
OLEH: Choirul Mahfud*
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan fenomena bencana alam yang terjadi di hampir semua daerah, baik itu berupa banjir, gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi maupun lumpur Lapindo di Sidoarjo. Bias terburuk yang tersisa adalah penderitaan. Puluhan hingga ratusan ribu jiwa anak manusia melayang, kerugian materi, terjadi pengungsian sampai berdampak secara psikologis, ekologis dan ekonomi.
Bencana banjir, diprediksikan akan terus menyeruak di seluruh jazirah negeri pada setiap musim hujan, dan tampaknya pada bulan tertentu, hujan menjadi “musuh bersama” masyarakat. Rasa khawatir dan was-was bila terjadi banjir membuat hati masyarakat tidak tenang. Beberapa tahun silam, banjir yang menggelegar di Blitar, Tulungagung, Kediri, Batu, Surabaya, Mojokerto dan kota lain merupakan tragedi ekologi yang memilukan karena banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Dan, banjir tetap menjadi bencana yang terus menghantui masyarakat.
Sebagaimana kita lihat, nasib para korban yang ada di sejumlah tempat penampungan korban bencana, sangat mengenaskan. Terutama mereka yang kehilangan seluruh harta benda seperti rumah dan seluruh isi, serta ternak. Hingga kini, banyak warga korban bencana alam masih menggantungkan nasib hidupnya dari pemberian makanan dan uluran bantuan dari pemerintah, pengusaha dan para dermawan.
Menyikapi fenomena alam yang memiris hati ini, tentu semua pihak harus cepat tanggap. Jadi, tidak sebatas ungkapan prihatin terhadap para korban bencana, tidak cuma empati dan rasa belas-kasihan tetapi kesediaan setiap kita untuk bekerja lebih profesional, terpadu dan didukung dengan strategi yang efektif. Upaya konkrit dengan memberi bantuan riil harus segera diwujudkan baik berupa sembako, obat-obatan, sandang dan papan agar dapat meringankan beban hidup para korban.
Berita ganti rugi tanah dan bangunan akibat banjir Lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, mungkin perlu diapresiasi dan dicontoh para pengusaha dan pemerintah untuk peduli kepada rakyat. Sebab, sangat jarang para pengusaha dan pemerintah hanya ingin untung dan tidak siap rugi.
Dalam konteks bencana alam, seharusnya tidak dipandang semata-mata takdir tuhan. Akan tetapi, kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, termasuk bencana apapun, sesungguhnya akibat dari ulah tangan manusia. Bukankah dalam ajaran agama ini juga diterangkan? Secara logika, perbuatan tangan manusia dengan cara menebang hutan sembarangan dan sangat liar tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang berakibat pada rusaknya tatanan ekologis bukan merupakan perbuatan dan tindakan bodoh?
Oleh sebab itu, semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun para stakeholder lingkungan hendaknya dengan penuh kesadaran dan kemauan (political will) untuk melakukan kerja sama menanggulangi bencana alam yang saat ini terjadi dan mungkin di masa mendatang akan terulang kembali.
Perlu diketahui, seiring dengan era otonomi daerah, sebenarnya daerah, utamanya pemerintahan kabupaten/kota, dan propinsi diberikan wewenang penuh atau otoritas untuk melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (Pemda). Dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan. Termasuk di dalamnya upaya pencegahan terhadap bencana alam.
Jelas, upaya-upaya progresif dan antisipatif oleh pemerintah terhadap bencana yang akan datang dan mungkin terjadi, haruslah dilakukan secepatnya. Sebab, antisipasi terhadap datangnya musibah jauh lebih baik daripada menangani suatu musibah. Diakui atau tidak, selama ini penanggulangan bencana di berbagai daerah di Indonesia umumnya belum efektif, tidak sistematis, tidak terpadu, parsial, dan hanya bersifat kedaruratan atau responsif sesaat.
Menurut hemat penulis, kini masyarakat perlu segera mengantisipasi terjadinya banjir dengan menjaga kebersihan lingkungan dan aliran sungai. Dan, usaha peningkatan efektivitas penanganan masyarakat yang menjadi korban bencana, seluruh sistem, pengaturan, organisasi, rencana, dan program yang berkaitan dengan penanggulangan bencana di seluruh kota/kabupaten serta propinsi harus benar-benar dilakukan secara terpadu dan dilakukan secara gotong royong antara pemerintah, LSM, pers dan masyarakat umum lainnya. Bahkan, bila perlu melibatkan partisipasi dan solidaritas dunia. Walahu A’lam.
*) Staf Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah (UNMUH) Surabaya.
OLEH: Choirul Mahfud*
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan fenomena bencana alam yang terjadi di hampir semua daerah, baik itu berupa banjir, gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi maupun lumpur Lapindo di Sidoarjo. Bias terburuk yang tersisa adalah penderitaan. Puluhan hingga ratusan ribu jiwa anak manusia melayang, kerugian materi, terjadi pengungsian sampai berdampak secara psikologis, ekologis dan ekonomi.
Bencana banjir, diprediksikan akan terus menyeruak di seluruh jazirah negeri pada setiap musim hujan, dan tampaknya pada bulan tertentu, hujan menjadi “musuh bersama” masyarakat. Rasa khawatir dan was-was bila terjadi banjir membuat hati masyarakat tidak tenang. Beberapa tahun silam, banjir yang menggelegar di Blitar, Tulungagung, Kediri, Batu, Surabaya, Mojokerto dan kota lain merupakan tragedi ekologi yang memilukan karena banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Dan, banjir tetap menjadi bencana yang terus menghantui masyarakat.
Sebagaimana kita lihat, nasib para korban yang ada di sejumlah tempat penampungan korban bencana, sangat mengenaskan. Terutama mereka yang kehilangan seluruh harta benda seperti rumah dan seluruh isi, serta ternak. Hingga kini, banyak warga korban bencana alam masih menggantungkan nasib hidupnya dari pemberian makanan dan uluran bantuan dari pemerintah, pengusaha dan para dermawan.
Menyikapi fenomena alam yang memiris hati ini, tentu semua pihak harus cepat tanggap. Jadi, tidak sebatas ungkapan prihatin terhadap para korban bencana, tidak cuma empati dan rasa belas-kasihan tetapi kesediaan setiap kita untuk bekerja lebih profesional, terpadu dan didukung dengan strategi yang efektif. Upaya konkrit dengan memberi bantuan riil harus segera diwujudkan baik berupa sembako, obat-obatan, sandang dan papan agar dapat meringankan beban hidup para korban.
Berita ganti rugi tanah dan bangunan akibat banjir Lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, mungkin perlu diapresiasi dan dicontoh para pengusaha dan pemerintah untuk peduli kepada rakyat. Sebab, sangat jarang para pengusaha dan pemerintah hanya ingin untung dan tidak siap rugi.
Dalam konteks bencana alam, seharusnya tidak dipandang semata-mata takdir tuhan. Akan tetapi, kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, termasuk bencana apapun, sesungguhnya akibat dari ulah tangan manusia. Bukankah dalam ajaran agama ini juga diterangkan? Secara logika, perbuatan tangan manusia dengan cara menebang hutan sembarangan dan sangat liar tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang berakibat pada rusaknya tatanan ekologis bukan merupakan perbuatan dan tindakan bodoh?
Oleh sebab itu, semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun para stakeholder lingkungan hendaknya dengan penuh kesadaran dan kemauan (political will) untuk melakukan kerja sama menanggulangi bencana alam yang saat ini terjadi dan mungkin di masa mendatang akan terulang kembali.
Perlu diketahui, seiring dengan era otonomi daerah, sebenarnya daerah, utamanya pemerintahan kabupaten/kota, dan propinsi diberikan wewenang penuh atau otoritas untuk melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (Pemda). Dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan. Termasuk di dalamnya upaya pencegahan terhadap bencana alam.
Jelas, upaya-upaya progresif dan antisipatif oleh pemerintah terhadap bencana yang akan datang dan mungkin terjadi, haruslah dilakukan secepatnya. Sebab, antisipasi terhadap datangnya musibah jauh lebih baik daripada menangani suatu musibah. Diakui atau tidak, selama ini penanggulangan bencana di berbagai daerah di Indonesia umumnya belum efektif, tidak sistematis, tidak terpadu, parsial, dan hanya bersifat kedaruratan atau responsif sesaat.
Menurut hemat penulis, kini masyarakat perlu segera mengantisipasi terjadinya banjir dengan menjaga kebersihan lingkungan dan aliran sungai. Dan, usaha peningkatan efektivitas penanganan masyarakat yang menjadi korban bencana, seluruh sistem, pengaturan, organisasi, rencana, dan program yang berkaitan dengan penanggulangan bencana di seluruh kota/kabupaten serta propinsi harus benar-benar dilakukan secara terpadu dan dilakukan secara gotong royong antara pemerintah, LSM, pers dan masyarakat umum lainnya. Bahkan, bila perlu melibatkan partisipasi dan solidaritas dunia. Walahu A’lam.
*) Staf Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah (UNMUH) Surabaya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar