Senin

Model "PWS" Dalam Berantas DBD

BOX
Oleh: Sulis Styawan*

Jumlah penderita Virus Dengue --penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)-- di berbagai daerah setiap tahun terus saja bertambah. Terlebih pada musim hujan tingkat kerawanan berjangkitnya wabah penyakit DBD di kalangan warga berpeluang besar. Kewaspadaan segenap lapisan masyarakat terkait ancaman DBD , mutlak harus ditingkatan.
Pihak Pemda, harus tanggap ing sasmita (tahu diri, respek) dan segera cancut tali wandha (bergegas) menetapkan berbagai kebijakan dan tindakan konkrit untuk mencegah mewabahnya penyakit berbahaya ini di kalangan warga. Ingat adagium kesehatan "mencegah adalah lebih baik daripada mengobati".
Evaluasi Model 3M dan AF
Kasus wabah DBD yang terus berulang sebenarnya menggambarkan adanya ketidakefektifan strategi pemberantasan yang diterapkan. Saatnya kita perlu mengevaluasi model solusi yang selama ini sudah diaplikasikan oleh Pemda di berbagai, seperti Gerakan 3M (menutup, menguras, dan mengubur) di samping gerakan Abateisasi (menabur serbuk abate) dan Foggingisasi (pengasapan),-biasa disebut Gerakan AF.
Evaluasi ini sangat urgen, sejalan dengan realitas di lapangan, bahwa wabah DBD telah menasional dan menelan korban dalam jumlah besar, meski tidak secara keseluruhan.
Sebenarnya, model solusi 3M dan AF diharapkan dapat mencegah dan atau menghindari penyakit DBD. Langkah ini merupakan tindakan untuk memutus rantai vector (perantara) penyebaran virus DBD .
Tapi, harus diingat bahwa model solusi ini sangat tergantung pada kesadaran aplikatif semua komponen masyarakat terhadap model 3M dan AF itu sendiri. Karena model 3M dan AF lebih bersifat "imbauan" saja. Di sisi lain, foggingisasi sangat mengandalkan biaya besar untuk pengadaan peralatan dan jenis obatnya.
Pemda harus berjuang proaktif membangun kesadaran partisipatif seluruh komponen masyarakat, tanpa mengenal strata sosial-ekonomi. Lalu apakah model 3M atau AF mampu menciptakan kesadaran partisipatif masyarakat? Sekali lagi, jika kata kuncinya mengandalkan cara "imbauan", maka kerangka solusi ini tetap sulit diharapkan secara maksimal. Berarti, wabah DB tetap berpotensi terjadi.
Model Pemantauan Wilayah Setempat (PWS).
Dalam kaitan ini kita layak menengok model pemberantasan DBD yang dikembangkan Kota Parepare, Sulawesi Selatan, yaitu, model pemantauan wilayah setempat (PWS). Pendekatan yang dikembangkan ini terbukti telah mampu menjauhkan warganya yang berjumlah sekitar 115 ribuan jiwa dari serangan DBD.
Secara teoritik, PWS merupakan model pencegahan anti DBD yang terencana atau terprogram, tidak hanya menghadapi suasana saat ini, tapi jauh sebelumnya, bahkan untuk masa-masa mendatang. Dalam kaitan pencegahan dan penanggulangan DBD, Tim PWS melangkah dengan beberapa strategi. Pertama, memantau sarang-sarang nyamuk di manapun. Dalam perspektif "militerisme", pemantauan wilayah merupakan refleksi dari pendekatan teritorial yang dinilai sebagai potensi atau sumber persoalan. Mendekati territorial -dalam hal ini sarang nyamuk- cukup efektif untuk melihat inti persoalannya, bahkan dapat menghitung kekuatan objektifnya.
Model PWS ini secara dini dapat membaca lokasi kekuatan "lawan" sehingga memudahkan dalam penyerangannya serta menentukan "amunisi" yang paling tepat yang harus digunakan, apakah abateisasi atau foggingisasi.
Ketepatan analisis ini praktis dapat memberikan konstribusi positif (efektivitas dan efisiensi), dalam kaitan waktu ataupun biaya. Lebih dari itu, model PWS bukan hanya bersifat represif dan preventif dalam dimensi waktu temporal, misalnya saat terjadi wabah, tapi justru mencegah jauh sebelum terjadi. Artinya, pencegahannya terencana. Dengan perencanaan seperti ini, maka diharapkan akan mampu meniadakan korban DBD, meski ada suspect (yakni titipan dari daerah lain) yang memang tidak bisa dihindari oleh daerah manapun.
Terhadap korban DBD yang kebetulan terkategori suspect, Tim PWS tetap harus melacak historisnya mengapa sampai terkena nyamuk itu. Dalam konteks ini, tim dari Pemkab dapat meminta Pemprov untuk menerapkan aturan main dalam kerangka membangun kesehatan masyarakat bersama antar Pemkab baik intern maupun intra propinsi.
Di sinilah peran penting pemkab untuk berkoordinasi dengan pemkab lain, secara langsung atau melalui instansi yang lebih tinggi (propinsi). Sikap proakif tim medis dalam menerapkan program PWS ini, diharapkan mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan program 3M.
Kedua, tim kesehatan harus melakukan penyuluhan dari waktu ke waktu, dari pintu ke pintu, tanpa peduli lokasi mudah ataupun sulit dijangkau oleh kendaraan dan melibatkan banyak pihak, mulai walikota sampai jajaran terendah seperti RT/RW, bahkan sejumlah tokoh masyarakat.
Tingkat partisipasi RT/RW dan sejumlah tokoh masyarakat akan sangat membantu dalam mempercepat daya tanggap tim medis untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan. Tingkat partisipasi mereka juga perlu kita catat sebagai penambah tim medis, meski mereka bukanlah orang kesehatan. Langkah ini lebih merupakan upaya menjangkau publik yang jauh lebih besar jumlahnya dibanding tim paramedisnya, bahkan kadang sangat terpencil lokasinya.
Ketiga, mengingat dalam perspektif kesehatan bahwa penyuluhan merupakan bagian penting. Agar program itu efektif, Tim Kesehatan di berbagai wilayah harus melangkah jelas dengan berangkat dari data objektif yang dihimpun sebelumnya dari pusat-pusat layanan kesehatan masyarakat (Puskesmas).
Dari himpunan data itu terlihat lokasi-lokasi mana yang berpotensi kena penyakit DBD atau jenis penyakit lainnya, berapa tim medis yang harus dikerahkan, sarana apa yang menunjang operasi penyehatannya, dan akhirnya pemetaan lokasi (geomedic). Inilah sumber informasi yang secara dini dapat dirancang untuk mencegah gejala wabah penyakit, di samping tetap tidak mengabaikan tindakan represif yang harus dilakukan.
*) Mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung