SOROT
Oleh: Nurani Soyomukti*
Pendidikan sangat penting dalam melahirkan manusia yang berkarakter produktif, humanis, modern dan demokratis, sehingga harus diutamakan. Namun fakta pendidikan di Indonesia tidaklah demikian. Sekitar14,6 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun menderita buta huruf. Dalam laporan UNDP, HDI (Human Development Index) Indonesia menempati urutan terbawah. Persoalan mahalnya akses pendidikan masih menjadi problem pokok pendidikan di Indonesia, padahal jika dihitung-hitung, Indonesia adalah negara yang kaya dengan kekayaan alam: air, bumi dan udara.
Akibat mahalnya biaya pendidikan, tercatat 75-80% (7-8 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah (Kompas; 6 September 2006). Hal ini akhirnya membuat banyak tenaga produktif terpaksa harus bekerja seadanya, atau jadi pengangguran. Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa biaya pendidikan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas semakin mahal. Di DKI Jakarta saja, untuk menyekolahkan anak harus mengeluarkan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah, belum masuk hitungan membayar SPP tiap semester, uang buku, seragam, ongkos angkutan, dan lain-lain. Untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), biaya pangkalnya berkisar Rp 2 juta hingga puluhan juta, belum lagi kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan pihak pemerintah dan universitas.
Mahalnya akses untuk pendidikan disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, minimnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah. Saat ini anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN tidak pernah melampaui 20%. Padahal amanat UUD mengharuskan pemerintah mengeluarkan anggaran minimal 20 % untuk pendidikan setiap tahunnya. Porsi anggaran yang lebih besar justru dihambur-hamburkan pemerintah untuk membayar utang luar negeri; kredit macet pengusaha-pengusaha korup; tunjangan pejabat negara dan anggota DPR, dan hal-hal lain yang justru memboroskan keuangan negara. Utang luar negeri yang dibayar tersebut sebagian besar adalah Utang Najis, yakni utang yang dikorup oleh rejim Soeharto dan kroni-kroninya. Rakyat, yang tidak memperoleh manfaat dari utang tersebut dipaksa membayar dengan pencabutan subsidi, pajak, dan lain sebagainya. Kedua, komersialisasi pendidikan dengan kebijakan privatisasi kampus dan pengesahan RUU BHP. Pendidikan yang semestinya digratiskan untuk rakyat justru dijadikan barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang berduit.
Selain persoalan mahalnya biaya, dunia pendidikan juga masih dililit sejumlah persoalan penting, seperti kualitas pendidikan yang semakin merosot dan tidak kompetititif dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk memperbaiki aspek kualitas memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan infrastruktur, yaitu tenaga pengajar dan kurikulum. Infrastruktur pendidikan masih sangat memprihatinkan, terutama di daerah-daerah pedalaman seperti di Papua. Pengadaan infrastruktur seperti gedung-gedung, ruang-ruang kelas, perpustakaan-perpustakaan, laboratorium-laboratorium bahasa dan penelitian, komputer, internet, sarana olahraga, seni,d an kantin harus dimaksimalkan. Tenaga pengajar yang hanya disyaratkan lulus S1 atau S2 saja tidaklah cukup, tanpa memperhatikan faktor kesejahteraan sebagai penunjang semangat bekerja. Langkah awal bisa dilakukan dengan merubah status seluruh guru bantu dan guru kontrak menjadi guru tetap; menaikkan gaji seluruh guru; beserta menjamin hari pensiun mereka. Tidak heran, jika guru-guru dan orang tua murid mulai resah dengan semakin memburuknya infrastruktur pendidikan dan melakukan protes-protes terhadap pemerintah.
Kurikulum pendidikan selama ini menunjukkan masih dipertahankannya indoktrinasi ala Orde Baru selama 32 tahun, yang efektif mendepolitisasi rakyat, membuatnya tidak produktif dan kehilangan memori tentang sejarah bangsanya yang sesungguhnya. Memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas menjadi kebutuhan paling mendesak sekarang, jika kita ingin mengeluarkan rakyat Indonesia dari kebodohan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Pendidikan yang layak bermakna bisa diakses oleh seluruh rakyat, tidak ada lagi diskriminasi kaya-miskin dalam memperoleh pendidikan. Ini hanya akan mungkin jika pemerintah menggratiskan pendidikan itu sendiri di semua jenjang, dan memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Pendidikan yang layak juga harus memenuhi aspek pemerataan, pemerataan pembangunan sekolah dan infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, dan pemerataan perlakuan semua manusia Indonesia dalam pendidikan, hingga tidak ada lagi kesenjangan.
Bantuan berupa dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), Biaya Operasional Pendidikan (BOP), bea siswa, perpustakaan keliling, dan lain-lain, belum cukup untuk membuat semua rakyat Indonesia bisa terlibat dalam pendidikan. Masih banyak kasus menunjukkan kelemahan pemerintah, ketika dana BOS salah sasaran; orang miskin dipersulit; dan Bea Siswa justru tidak dinikmati orang miskin. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah tersebut belumlah sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan untuk hal-hal yang tidak penting. Jumlah itupun masih harus dibayar rakyat melalui pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM, serta privatisasi perusahaan negara.
Argumentasi pemerintah tentang minimnya anggaran pendidikan karena APBN kita yang selalu defisit, akan kita bantah dengan rasionalisasi bahwa pemerintah bisa mengambil jatah pembayaran utang luar negeri; mengambilalih penguasaan (nasionalisasi) industri pertambangan dari asing; serta menyita harta para koruptor, terutama korupsi Soeharto dan kroni-kroninya untuk pembiayaan pendidikan. Jalan untuk membangkitkan industri nasional hanya akan mungkin jika pendidikan sebagai kekuatan pendukungnya sudah dimassalkan, didemokratiskan, dan dimodernkan
*) Sarjana Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, tinggal di Jember.
Pendidikan sangat penting dalam melahirkan manusia yang berkarakter produktif, humanis, modern dan demokratis, sehingga harus diutamakan. Namun fakta pendidikan di Indonesia tidaklah demikian. Sekitar14,6 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun menderita buta huruf. Dalam laporan UNDP, HDI (Human Development Index) Indonesia menempati urutan terbawah. Persoalan mahalnya akses pendidikan masih menjadi problem pokok pendidikan di Indonesia, padahal jika dihitung-hitung, Indonesia adalah negara yang kaya dengan kekayaan alam: air, bumi dan udara.
Akibat mahalnya biaya pendidikan, tercatat 75-80% (7-8 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah (Kompas; 6 September 2006). Hal ini akhirnya membuat banyak tenaga produktif terpaksa harus bekerja seadanya, atau jadi pengangguran. Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa biaya pendidikan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas semakin mahal. Di DKI Jakarta saja, untuk menyekolahkan anak harus mengeluarkan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah, belum masuk hitungan membayar SPP tiap semester, uang buku, seragam, ongkos angkutan, dan lain-lain. Untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), biaya pangkalnya berkisar Rp 2 juta hingga puluhan juta, belum lagi kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan pihak pemerintah dan universitas.
Mahalnya akses untuk pendidikan disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, minimnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah. Saat ini anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN tidak pernah melampaui 20%. Padahal amanat UUD mengharuskan pemerintah mengeluarkan anggaran minimal 20 % untuk pendidikan setiap tahunnya. Porsi anggaran yang lebih besar justru dihambur-hamburkan pemerintah untuk membayar utang luar negeri; kredit macet pengusaha-pengusaha korup; tunjangan pejabat negara dan anggota DPR, dan hal-hal lain yang justru memboroskan keuangan negara. Utang luar negeri yang dibayar tersebut sebagian besar adalah Utang Najis, yakni utang yang dikorup oleh rejim Soeharto dan kroni-kroninya. Rakyat, yang tidak memperoleh manfaat dari utang tersebut dipaksa membayar dengan pencabutan subsidi, pajak, dan lain sebagainya. Kedua, komersialisasi pendidikan dengan kebijakan privatisasi kampus dan pengesahan RUU BHP. Pendidikan yang semestinya digratiskan untuk rakyat justru dijadikan barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang berduit.
Selain persoalan mahalnya biaya, dunia pendidikan juga masih dililit sejumlah persoalan penting, seperti kualitas pendidikan yang semakin merosot dan tidak kompetititif dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk memperbaiki aspek kualitas memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan infrastruktur, yaitu tenaga pengajar dan kurikulum. Infrastruktur pendidikan masih sangat memprihatinkan, terutama di daerah-daerah pedalaman seperti di Papua. Pengadaan infrastruktur seperti gedung-gedung, ruang-ruang kelas, perpustakaan-perpustakaan, laboratorium-laboratorium bahasa dan penelitian, komputer, internet, sarana olahraga, seni,d an kantin harus dimaksimalkan. Tenaga pengajar yang hanya disyaratkan lulus S1 atau S2 saja tidaklah cukup, tanpa memperhatikan faktor kesejahteraan sebagai penunjang semangat bekerja. Langkah awal bisa dilakukan dengan merubah status seluruh guru bantu dan guru kontrak menjadi guru tetap; menaikkan gaji seluruh guru; beserta menjamin hari pensiun mereka. Tidak heran, jika guru-guru dan orang tua murid mulai resah dengan semakin memburuknya infrastruktur pendidikan dan melakukan protes-protes terhadap pemerintah.
Kurikulum pendidikan selama ini menunjukkan masih dipertahankannya indoktrinasi ala Orde Baru selama 32 tahun, yang efektif mendepolitisasi rakyat, membuatnya tidak produktif dan kehilangan memori tentang sejarah bangsanya yang sesungguhnya. Memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas menjadi kebutuhan paling mendesak sekarang, jika kita ingin mengeluarkan rakyat Indonesia dari kebodohan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Pendidikan yang layak bermakna bisa diakses oleh seluruh rakyat, tidak ada lagi diskriminasi kaya-miskin dalam memperoleh pendidikan. Ini hanya akan mungkin jika pemerintah menggratiskan pendidikan itu sendiri di semua jenjang, dan memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Pendidikan yang layak juga harus memenuhi aspek pemerataan, pemerataan pembangunan sekolah dan infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, dan pemerataan perlakuan semua manusia Indonesia dalam pendidikan, hingga tidak ada lagi kesenjangan.
Bantuan berupa dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), Biaya Operasional Pendidikan (BOP), bea siswa, perpustakaan keliling, dan lain-lain, belum cukup untuk membuat semua rakyat Indonesia bisa terlibat dalam pendidikan. Masih banyak kasus menunjukkan kelemahan pemerintah, ketika dana BOS salah sasaran; orang miskin dipersulit; dan Bea Siswa justru tidak dinikmati orang miskin. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah tersebut belumlah sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan untuk hal-hal yang tidak penting. Jumlah itupun masih harus dibayar rakyat melalui pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM, serta privatisasi perusahaan negara.
Argumentasi pemerintah tentang minimnya anggaran pendidikan karena APBN kita yang selalu defisit, akan kita bantah dengan rasionalisasi bahwa pemerintah bisa mengambil jatah pembayaran utang luar negeri; mengambilalih penguasaan (nasionalisasi) industri pertambangan dari asing; serta menyita harta para koruptor, terutama korupsi Soeharto dan kroni-kroninya untuk pembiayaan pendidikan. Jalan untuk membangkitkan industri nasional hanya akan mungkin jika pendidikan sebagai kekuatan pendukungnya sudah dimassalkan, didemokratiskan, dan dimodernkan
*) Sarjana Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar