TEROPONG
Oleh: Ir Herry Kurniawan *
Setelah sebulan ditunggu, akhirnya ada jawaban berupa pengumuman dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) seputar sebab musabab kecelakaan yang menimpa Boeing 737-400 Garuda Indonesia di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Rabu (7/3-2007). KNKT menilai, musibah Boeing 737-400 terjadi karena pesawat mendarat dengan kecepatan di atas normal atau pesawat mengalami over speed (terlalu cepat).
Peringatan Hari Penerbangan Nasional (9 April) tahun ini diliputi suasana keprihatinan yang mendalam. Frekuensi kecelakaan penerbangan nasional memang sangat tinggi, beruntun, dan bahkan fatal. Tepat di saat kita menapaki Tahun Baru, Senin, 1 Januari 2007, pesawat Boeing 737-400 yang dioperasikan maskapai penerbangan AdamAir dengan penumpang 102 orang termasuk awak pesawat jatuh di wilayah Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dalam penerbangan dari Surabaya ke Manado. Semuanya tewas, dan hingga kini belum seorangpun yang ditemukan.
Sesudah itu, beberapa kecelakaan kecil masih terus terjadi pada sejumlah maskapai penerbangan nasional yang berbeda. Lalu, terjadi lagi kecelakaan yang lebih besar, yakni patahnya badan pesawat B737-300 AdamAir di Bandara Juanda, disusul giliran pesawat B737-400 PK-GZC milik Garuda yang tergelincir dan terbakar habis di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Yang pasti, kecelakaan penerbangan yang terus terjadi itu sangat mengagetkan banyak pihak.
Isu seputar maraknya low cost carrier (LCC) atau maskapai berbiaya rendah yang ditengarai sebagai penyebab banyaknya kecelakaan transportasi udara. Pun banyak dugaan bahwa yang berkembang di Indonesia bukan LCC, tetapi low fare carrier atau maskapai bertarif murah yang mengorbankan perawatan pesawat. Dengan kecelakaan fatal yang dialami Garuda, spekulasi bisa berkembang, sebab Garuda dikenal menawarkan tiket lebih mahal sehingga tidak terlihat berkonsep LCC.
Musibah pesawat beregistrasi PK-GZC itu mungkin memupus harapan sebagian orang Indonesia akan penerbangan yang aman. Yang pasti, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, jumlah penumpang penerbangan domestik selama Februari 2007 turun sampai 25%. Kekhawatiran masyarakat terhadap faktor keamanan angkutan penerbangan akibat kecelakaan transportasi diduga menjadi salah satu penyebab tersendiri.
Pelajaran Mahal
Kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta memberi dua pelajaran penting tentang keselamatan angkutan udara di negeri Katulistiwa ini. Pertama, kegagalan regulasi di sektor perhubungan untuk mengawal privatisasi sektor penerbangan. Perubahan yang dilakukan mulai tahun 1990 hingga deregulasi pasca krisis ekonomi yang memberi kesempatan sektor swasta menjadi operator angkutan udara justru memberikan pil pahit. Sebab itu, pemerintah perlu segera melakukan audit teknis dan keuangan menyeluruh kepada semua maskapai penerbangan, pengelola bandara hingga struktur biaya yang lazim merupakan rahasia perusahaan. Ini bisa memberi pemahaman lebih baik tentang kemungkinan kecurangan yang dilakukan perusahaan angkutan penerbangan nasional.
Kedua, aspek keselamatan bukan hanya masalah maskapai berbiaya murah, tapi lebih ke persoalan sistem penjaminan keselamatan angkutan udara di Indonesia. Pertumbuhan jumlah lalu lintas udara selama ini tidak diimbangi upaya pemeriksaan yang lebih mendalam dari pesawat yang siap terbang.
Jumlah petugas penilai keselamatan penerbangan tidak mampu mengimbangi jumlah armada dan bandara yang harus diperiksa (dipelihara) ketelitiannya. Pertumbuhan lalu lintas udara juga membuat Bandara Adisutjipto yang memiliki panjang landasan pacu terbatas dan kualitas permukaan yang buruk memberikan comfort level yang rendah bagi pilot dan penumpang.
Kondisi teknis bandara, kualitas pesawat dan tekanan kerja yang berat kian membuka lahan subur bagi kemungkinan terjadinya kecelakaan, insiden dan tidak optimalnya safety management system. Di sini, bukan masalah satu atau dua maskapai, tetapi masalah sistem penjaminan keselamatan transportasi udara secara keseluruhan.
Utamakan keselamatan
AdamAir mengalami hard landing pada saat cuaca di Bandara Juanda kurang baik, sedangkan Garuda mengalami hard landing pada saat cuaca di Yogyakarta cerah. Sesuai hasil temuan dan kesimpulan KNKT di atas, hard landing Garuda tidak terkait faktor cuaca, tapi karena kecepatan di atas normal. Sebenarnya tanpa menunggu kotak hitampun, masalah hard landing dapat dijelaskan dengan memakai analisis SHEL (software, hardware, environment dan lifeware).
Penting juga memperhatikan penerapan regulasi pelaporan data Flight Data Recorder (FDR) secara reguler dari pilot. Data yang terekam jelas menunjukkan segala perilaku yang dilakukan pilot selama terbang, dan tentu menjadi semacam ancaman bagi pilot. Isu seperti ini sempat terjadi di Amerika Serikat. Tetapi FAA memberlakukan aturan agar data FDR tidak dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan sanksi bagi pilot. Identitas pilot-pun tidak boleh dipublikasikan. Hanya chief dari pilot saja yang berwenang untuk mengetahui identitas pilot.
Masalah jenis FDR yang dipakai juga tidak bisa diabaikan. Di Indonesia, banyak data FDR yang masih memanfaatkan magnetic tape sebagai media penyimpan meskipun sudah dalam keluaran digital. FDR jenis ini memerlukan alat downloader untuk bisa diubah ke dalam data mentah yang selanjutnya diproses melalui software pembaca data mentah FDR. Sayangnya, alat downloader seperti ini di samping mahal juga langka di pasaran.
Jika Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara Dephub selaku regulator penerbangan nasional mewajibkan tiap operator memberikan laporan data FDR, maka maskapai mesti memutar otak untuk mengeluarkan data dari FDR, kecuali jika kotak hitam sudah solid state. FDR jenis solid state mudah untuk didownload. Pesawat yang menggunakan jenis ini umumya terbatas untuk pesawat generasi baru.
Untuk itu regulasi yang diterapkan harus mempertimbangkan berbagai faktor. Tetapi acuan sentralnya, keselamatan penerbangan. Analisis data FDR harus tetap diberlakukan untuk menjamin semua sistem di pesawat terpantau dan kondisinya baik. Standar keselamatan penerbangan Indonesia harus ditingkatkan dan regulator memberlakukan laporan analisis data FDR kepada maskapai dalam periode waktu tertentu.
Data FDR sebenarnya bukan sekadar data yang dimunculkan saat ada kecelakaan, sebab bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi operasional penerbangan seperti yang diterapkan di Inggris, Kanada, Jerman dan lain-lain dengan salah satu programnya Flight Operation Quality Assurance (FOQA). Untuk itu, pihak maskapai penerbangan nasional bisa menerapkan program FOQA agar keselamatan angkutan penerbangan Indonesia tetap terjaga dengan tarif yang relatif murah.
*) Alumnus Institut Teknologi Bandung, tinggal di Depok.
Setelah sebulan ditunggu, akhirnya ada jawaban berupa pengumuman dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) seputar sebab musabab kecelakaan yang menimpa Boeing 737-400 Garuda Indonesia di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Rabu (7/3-2007). KNKT menilai, musibah Boeing 737-400 terjadi karena pesawat mendarat dengan kecepatan di atas normal atau pesawat mengalami over speed (terlalu cepat).
Peringatan Hari Penerbangan Nasional (9 April) tahun ini diliputi suasana keprihatinan yang mendalam. Frekuensi kecelakaan penerbangan nasional memang sangat tinggi, beruntun, dan bahkan fatal. Tepat di saat kita menapaki Tahun Baru, Senin, 1 Januari 2007, pesawat Boeing 737-400 yang dioperasikan maskapai penerbangan AdamAir dengan penumpang 102 orang termasuk awak pesawat jatuh di wilayah Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dalam penerbangan dari Surabaya ke Manado. Semuanya tewas, dan hingga kini belum seorangpun yang ditemukan.
Sesudah itu, beberapa kecelakaan kecil masih terus terjadi pada sejumlah maskapai penerbangan nasional yang berbeda. Lalu, terjadi lagi kecelakaan yang lebih besar, yakni patahnya badan pesawat B737-300 AdamAir di Bandara Juanda, disusul giliran pesawat B737-400 PK-GZC milik Garuda yang tergelincir dan terbakar habis di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Yang pasti, kecelakaan penerbangan yang terus terjadi itu sangat mengagetkan banyak pihak.
Isu seputar maraknya low cost carrier (LCC) atau maskapai berbiaya rendah yang ditengarai sebagai penyebab banyaknya kecelakaan transportasi udara. Pun banyak dugaan bahwa yang berkembang di Indonesia bukan LCC, tetapi low fare carrier atau maskapai bertarif murah yang mengorbankan perawatan pesawat. Dengan kecelakaan fatal yang dialami Garuda, spekulasi bisa berkembang, sebab Garuda dikenal menawarkan tiket lebih mahal sehingga tidak terlihat berkonsep LCC.
Musibah pesawat beregistrasi PK-GZC itu mungkin memupus harapan sebagian orang Indonesia akan penerbangan yang aman. Yang pasti, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, jumlah penumpang penerbangan domestik selama Februari 2007 turun sampai 25%. Kekhawatiran masyarakat terhadap faktor keamanan angkutan penerbangan akibat kecelakaan transportasi diduga menjadi salah satu penyebab tersendiri.
Pelajaran Mahal
Kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta memberi dua pelajaran penting tentang keselamatan angkutan udara di negeri Katulistiwa ini. Pertama, kegagalan regulasi di sektor perhubungan untuk mengawal privatisasi sektor penerbangan. Perubahan yang dilakukan mulai tahun 1990 hingga deregulasi pasca krisis ekonomi yang memberi kesempatan sektor swasta menjadi operator angkutan udara justru memberikan pil pahit. Sebab itu, pemerintah perlu segera melakukan audit teknis dan keuangan menyeluruh kepada semua maskapai penerbangan, pengelola bandara hingga struktur biaya yang lazim merupakan rahasia perusahaan. Ini bisa memberi pemahaman lebih baik tentang kemungkinan kecurangan yang dilakukan perusahaan angkutan penerbangan nasional.
Kedua, aspek keselamatan bukan hanya masalah maskapai berbiaya murah, tapi lebih ke persoalan sistem penjaminan keselamatan angkutan udara di Indonesia. Pertumbuhan jumlah lalu lintas udara selama ini tidak diimbangi upaya pemeriksaan yang lebih mendalam dari pesawat yang siap terbang.
Jumlah petugas penilai keselamatan penerbangan tidak mampu mengimbangi jumlah armada dan bandara yang harus diperiksa (dipelihara) ketelitiannya. Pertumbuhan lalu lintas udara juga membuat Bandara Adisutjipto yang memiliki panjang landasan pacu terbatas dan kualitas permukaan yang buruk memberikan comfort level yang rendah bagi pilot dan penumpang.
Kondisi teknis bandara, kualitas pesawat dan tekanan kerja yang berat kian membuka lahan subur bagi kemungkinan terjadinya kecelakaan, insiden dan tidak optimalnya safety management system. Di sini, bukan masalah satu atau dua maskapai, tetapi masalah sistem penjaminan keselamatan transportasi udara secara keseluruhan.
Utamakan keselamatan
AdamAir mengalami hard landing pada saat cuaca di Bandara Juanda kurang baik, sedangkan Garuda mengalami hard landing pada saat cuaca di Yogyakarta cerah. Sesuai hasil temuan dan kesimpulan KNKT di atas, hard landing Garuda tidak terkait faktor cuaca, tapi karena kecepatan di atas normal. Sebenarnya tanpa menunggu kotak hitampun, masalah hard landing dapat dijelaskan dengan memakai analisis SHEL (software, hardware, environment dan lifeware).
Penting juga memperhatikan penerapan regulasi pelaporan data Flight Data Recorder (FDR) secara reguler dari pilot. Data yang terekam jelas menunjukkan segala perilaku yang dilakukan pilot selama terbang, dan tentu menjadi semacam ancaman bagi pilot. Isu seperti ini sempat terjadi di Amerika Serikat. Tetapi FAA memberlakukan aturan agar data FDR tidak dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan sanksi bagi pilot. Identitas pilot-pun tidak boleh dipublikasikan. Hanya chief dari pilot saja yang berwenang untuk mengetahui identitas pilot.
Masalah jenis FDR yang dipakai juga tidak bisa diabaikan. Di Indonesia, banyak data FDR yang masih memanfaatkan magnetic tape sebagai media penyimpan meskipun sudah dalam keluaran digital. FDR jenis ini memerlukan alat downloader untuk bisa diubah ke dalam data mentah yang selanjutnya diproses melalui software pembaca data mentah FDR. Sayangnya, alat downloader seperti ini di samping mahal juga langka di pasaran.
Jika Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara Dephub selaku regulator penerbangan nasional mewajibkan tiap operator memberikan laporan data FDR, maka maskapai mesti memutar otak untuk mengeluarkan data dari FDR, kecuali jika kotak hitam sudah solid state. FDR jenis solid state mudah untuk didownload. Pesawat yang menggunakan jenis ini umumya terbatas untuk pesawat generasi baru.
Untuk itu regulasi yang diterapkan harus mempertimbangkan berbagai faktor. Tetapi acuan sentralnya, keselamatan penerbangan. Analisis data FDR harus tetap diberlakukan untuk menjamin semua sistem di pesawat terpantau dan kondisinya baik. Standar keselamatan penerbangan Indonesia harus ditingkatkan dan regulator memberlakukan laporan analisis data FDR kepada maskapai dalam periode waktu tertentu.
Data FDR sebenarnya bukan sekadar data yang dimunculkan saat ada kecelakaan, sebab bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi operasional penerbangan seperti yang diterapkan di Inggris, Kanada, Jerman dan lain-lain dengan salah satu programnya Flight Operation Quality Assurance (FOQA). Untuk itu, pihak maskapai penerbangan nasional bisa menerapkan program FOQA agar keselamatan angkutan penerbangan Indonesia tetap terjaga dengan tarif yang relatif murah.
*) Alumnus Institut Teknologi Bandung, tinggal di Depok.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar