Oleh: Nurfa Rosanti*
Ramadhan tak hanya menjadi ajang kontemplasi spiritual Muslim dalam menunaikan ibadah puasa. Sebab Ramadhan kini telah dijadikan komoditas kapitalistik melalui media massa. Berbagai industri media dan stasiun TV berpacu memanfaatkan Ramadhan untuk menayangkan program-program ritual-religius. Mulai sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali, acara televisi diformat begitu rupa dengan aneka hiburan dan sinetron bernada keagamaan. Bahkan, iklan pun dibungkus nilai-nilai ketuhanan.
Anehnya, masyarakat muslim bukannya kritis terhadap fenomena tersebut melainkan malah larut di dalamnya. Kekhusyukan mereka dalam menikmati tayangan televisi justru mengalahkan tarawih, sholat berjema’ah, tadarus dan kegiatan lain yang notabene bagian dari kontemplasi spiritual. Parahnya lagi, kita belum pernah mendengar adanya keluhan atau "protes" dari lembaga atau ormas-ormas keislaman terhadap gejala yang ganjil ini.
Padahal semua tahu tayangan religius di stasiun-stasiun televisi disuguhkan di hadapan pemirsa hanya untuk merebut pasar (memburu rating tertinggi). Tujuannya agar masyarakat mau berlama-lama di depan televisi. Kalau publik suka, rating meningkat, iklan pun banyak masuk. Dengan kata lain Ramadan seakan-akan sedang dijual lewat tayangan televisi.
Nyaris tak ditemukan tayangan televisi yang memposisikan diri sebagai perjuangan atas idealisasi keagamaan. Agama hanyalah alat tunggangan untuk mencapai kepentingan-kepentingan temporal atas nama kemaslahatan publik (baca: ramadhan).
Tapi mengapa tayangan tersebut masih tetap disukai? Pertama, menurut Muhammadun AS, hal itu disebabkan karena dangkalnya pemahaman atas ajaran agama. Ibadah puasa yang dijalankan masyarakat selama ini ternyata terjebak pragmatisme berupa fiqh oriented. Asal berpuasa dengan tidak makan dan minum, maka puasanya sah. Orang yang terjebak fiqh oriented akan memahami puasa secara dangkal. Puasa hanya menjadi sesuatu yang berjalan sebagai business as usual (sebagaimana biasanya), kadang sampai menjadi dinding masif yang menghalangi kita melihat realitas lain di luar dinding itu.
Implikasinya, kita mudah dimanfaatkan, digiring, dan ditenggelamkan dalam kaidah pasar tanpa memberi perlawanan yang berarti. Dalam konteks ini, kita cukup bangga ketika simbol-simbol keagamaan bisa muncul di layar kaca, namun tanpa sadar mati nalar kritis keagamaannya. Padahal hilangnya nalar kritis dalam beragama akan sangat berbahaya karena agama akan selalu dimaknai apa adanya tanpa proses dialektika yang serius dan sinergis.
Dalam tayangan sinetron umpamanya, penggunaan busana muslim-muslimah, pengucapan salam, atau pemakaian simbol keagamaan lain seakan sudah mempresentasikan sebuah tayangan sinetron yang islami dan patut diteladani. Padahal di sisi lain kehidupan glamor, serba mewah, dalam tayangan sinetron sama sekali tidak sesuai dengan ajaran puasa Ramadhan. Glamoritas Ramadhan yang begitu mencolok dalam masyarakat secara langsung telah menambah makin tingginya kesenjangan sosial masyarakat. Prestise dan gaya hidup seperti ini sebenarnya merupakan distorsi atas ajaran agama dan arogansi terhadap realitas sosial kehidupan.
Kedua, tumpulnya kesadaran publik. Terlalu seringnya masyarakat tenggelam dalam tayangan televisi baik telah menghancurkan karakter reflektif kemanusiaan mereka. Tayangan kemiskinan, kejahatan, kekejaman dan penderitaan dalam sinetron, tidak memupuk rasa iba pada korban, tetapi menumpulkan nurani. Karena fenomena itu dianggap bagian dari kehidupan. Parahnya, pandangan tersebut secara tak sadar diseret dalam realitas keseharian.
Jangan heran ketika berita penggusuran dan penertiban atas PKL, pengemis dan pemulung kerap dilakukan pada saat menjelang bulan Ramadhan tak ada satupun umat muslim yang protes. Mengapa? Ya, karena menurut Neil Postman, tayangan televisi yang membanjiri otak masyarakat telah membentuk manusia menjadi pasif dan akhirnya egoistis.
Pandangan yang demikian amat bertentangan dengan Islam. Islam lahir sebagai bentuk pembebasan dan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Karenanya setiap umatnya harus aktif dan responsif terhadap segala fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Karena itu, perlu dibangun nalar keagamaan yang kokoh. Yang mampu menjadi benteng segala sikap yang melenceng jauh dari keasadaran keislaman. Dan yang paling mendesak adalah menghadirkan kembali makna agama yang hakiki dan membuang jauh makna keagamaan yang ditayangkan oleh sinetron.
Artinya, menyelami Ramadhan tidak hanya dengan menonton tayangan religi, tapi bagaimana langkah kita menciptakan kesejahteraan bagi sekalian umat. Dan tindakan universal itulah sebenar-benarnya berkah.
*) Pengajar di SMP Darussyahid Sampang-Madura dan santriwati di KIP (Komunitas Islam Pembebasan) Madura.
Ramadhan tak hanya menjadi ajang kontemplasi spiritual Muslim dalam menunaikan ibadah puasa. Sebab Ramadhan kini telah dijadikan komoditas kapitalistik melalui media massa. Berbagai industri media dan stasiun TV berpacu memanfaatkan Ramadhan untuk menayangkan program-program ritual-religius. Mulai sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali, acara televisi diformat begitu rupa dengan aneka hiburan dan sinetron bernada keagamaan. Bahkan, iklan pun dibungkus nilai-nilai ketuhanan.
Anehnya, masyarakat muslim bukannya kritis terhadap fenomena tersebut melainkan malah larut di dalamnya. Kekhusyukan mereka dalam menikmati tayangan televisi justru mengalahkan tarawih, sholat berjema’ah, tadarus dan kegiatan lain yang notabene bagian dari kontemplasi spiritual. Parahnya lagi, kita belum pernah mendengar adanya keluhan atau "protes" dari lembaga atau ormas-ormas keislaman terhadap gejala yang ganjil ini.
Padahal semua tahu tayangan religius di stasiun-stasiun televisi disuguhkan di hadapan pemirsa hanya untuk merebut pasar (memburu rating tertinggi). Tujuannya agar masyarakat mau berlama-lama di depan televisi. Kalau publik suka, rating meningkat, iklan pun banyak masuk. Dengan kata lain Ramadan seakan-akan sedang dijual lewat tayangan televisi.
Nyaris tak ditemukan tayangan televisi yang memposisikan diri sebagai perjuangan atas idealisasi keagamaan. Agama hanyalah alat tunggangan untuk mencapai kepentingan-kepentingan temporal atas nama kemaslahatan publik (baca: ramadhan).
Tapi mengapa tayangan tersebut masih tetap disukai? Pertama, menurut Muhammadun AS, hal itu disebabkan karena dangkalnya pemahaman atas ajaran agama. Ibadah puasa yang dijalankan masyarakat selama ini ternyata terjebak pragmatisme berupa fiqh oriented. Asal berpuasa dengan tidak makan dan minum, maka puasanya sah. Orang yang terjebak fiqh oriented akan memahami puasa secara dangkal. Puasa hanya menjadi sesuatu yang berjalan sebagai business as usual (sebagaimana biasanya), kadang sampai menjadi dinding masif yang menghalangi kita melihat realitas lain di luar dinding itu.
Implikasinya, kita mudah dimanfaatkan, digiring, dan ditenggelamkan dalam kaidah pasar tanpa memberi perlawanan yang berarti. Dalam konteks ini, kita cukup bangga ketika simbol-simbol keagamaan bisa muncul di layar kaca, namun tanpa sadar mati nalar kritis keagamaannya. Padahal hilangnya nalar kritis dalam beragama akan sangat berbahaya karena agama akan selalu dimaknai apa adanya tanpa proses dialektika yang serius dan sinergis.
Dalam tayangan sinetron umpamanya, penggunaan busana muslim-muslimah, pengucapan salam, atau pemakaian simbol keagamaan lain seakan sudah mempresentasikan sebuah tayangan sinetron yang islami dan patut diteladani. Padahal di sisi lain kehidupan glamor, serba mewah, dalam tayangan sinetron sama sekali tidak sesuai dengan ajaran puasa Ramadhan. Glamoritas Ramadhan yang begitu mencolok dalam masyarakat secara langsung telah menambah makin tingginya kesenjangan sosial masyarakat. Prestise dan gaya hidup seperti ini sebenarnya merupakan distorsi atas ajaran agama dan arogansi terhadap realitas sosial kehidupan.
Kedua, tumpulnya kesadaran publik. Terlalu seringnya masyarakat tenggelam dalam tayangan televisi baik telah menghancurkan karakter reflektif kemanusiaan mereka. Tayangan kemiskinan, kejahatan, kekejaman dan penderitaan dalam sinetron, tidak memupuk rasa iba pada korban, tetapi menumpulkan nurani. Karena fenomena itu dianggap bagian dari kehidupan. Parahnya, pandangan tersebut secara tak sadar diseret dalam realitas keseharian.
Jangan heran ketika berita penggusuran dan penertiban atas PKL, pengemis dan pemulung kerap dilakukan pada saat menjelang bulan Ramadhan tak ada satupun umat muslim yang protes. Mengapa? Ya, karena menurut Neil Postman, tayangan televisi yang membanjiri otak masyarakat telah membentuk manusia menjadi pasif dan akhirnya egoistis.
Pandangan yang demikian amat bertentangan dengan Islam. Islam lahir sebagai bentuk pembebasan dan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Karenanya setiap umatnya harus aktif dan responsif terhadap segala fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Karena itu, perlu dibangun nalar keagamaan yang kokoh. Yang mampu menjadi benteng segala sikap yang melenceng jauh dari keasadaran keislaman. Dan yang paling mendesak adalah menghadirkan kembali makna agama yang hakiki dan membuang jauh makna keagamaan yang ditayangkan oleh sinetron.
Artinya, menyelami Ramadhan tidak hanya dengan menonton tayangan religi, tapi bagaimana langkah kita menciptakan kesejahteraan bagi sekalian umat. Dan tindakan universal itulah sebenar-benarnya berkah.
*) Pengajar di SMP Darussyahid Sampang-Madura dan santriwati di KIP (Komunitas Islam Pembebasan) Madura.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar