Selasa

Rethinking Aliran Sesat Di Indonesia

Oleh: Choirul Mahfud*
Di akhir tahun 2007 ini, isu aliran “sesat” atau “sempalan” dalam agama menjadi topik menarik. Di tengah-tengah kompleksitas masalah hidup, dahaga spiritual dan krisis yang dialami bangsa ini, banyak orang memilih jalan hidup sebagai pengikut aliran baru yang dianggap sesat dalam agama tertentu, termasuk Islam. Kabar terbaru, muncul dan berkembangnya aliran “Al-Qiyadah Al-Islamiyah” yang dipimpin Ahmad Moshaddeq meski akhirnya “bertobat” ikut menyumbang kontroversi beragama.
Kabar di atas sebetulnya bukanlah berita baru dan kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Kasus berbeda tapi serupa sebelumnya telah menimpa kelompok Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) juga dianggap “sesat” hanya karena institusi itu mengembangkan tafsir keagamaan yang kritis, liberal dan progresif, menentang oligarki dan otoritarianisme dalam penafsiran agama (Ghazali, 2005).
Dalam konteks semacam ini, perlu diajukan pertanyaan penting siapa yang sebenarnya memiliki otoritas untuk menyatakan bahwa sebuah pandangan tertentu disebut sesat dan menyesatkan? Apakah MUI, NU, Muhammadiyah, atau justru Tuhan sendiri. Bila dilacak pada kasus sebelumnya, MUI beberapa kali memfatwakan suatu kelompok sebagai ajaran sesat. Hal itu perlu dipertanyakan apakah secara teologis MUI mempunyai hak untuk itu.
Djohan Effendi (2006) mensinyalir, bahwa lembaga ini nampaknya telah memfungsikan dirinya sebagai pengawal akidah umat. Fenomena sesat-menyesatkan adalah sebuah fenomena yang biasa terjadi di kalangan umat beragama sepanjang sejarah, di manapun dan sampai kapanpun. Masing-masing penganut agama, kepercayaan dan aliran, yakin sepenuhnya bahwa agama, kepercayaan atau aliran yang mereka anut adalah paling benar. Dengan fatwa sesat, MUI mungkin bertujuan mengingatkan umat Islam untuk berhati-hati jangan sampai tersesatkan oleh aliran yang dianggap sesat. Yang menjadi persoalan adalah apakah dengan fatwa itu para penganut aliran yang dianggap sesat tidak punya hak hidup di atas muka bumi ini?
Tentu saja berhak. Tetapi, sebenarnya bukankah masalah keyakinan adalah masalah yang sangat pribadi? Kita tidak bisa dan tidak mungkin bisa memaksakan pada seseorang untuk menganut atau tidak menganut suatu keyakinan, baik agama maupun bukan agama. Tidak ada satu kekuatan apapun yang berhak dan mampu mengatur hati manusia. Kebebasan berkeyakinan melekat pada eksistensi manusia. Karenanya, manusia dibebani tanggung jawab atas pilihannya. Kebebasan itu adalah anugerah Tuhan yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Dengan demikian bukankah merampas kebebasan manusia yang bersifat primordial dan eksistensial itu sama artinya dengan merampas otoritas Tuhan?
Kalau manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak maka apakah manusia yang menganut suatu agama dipaksa hanya menganut hanya satu penafsiran tentang ajaran-ajaran agama itu? Saya rasa pertanyaan ini tidak realistis karena dalam kenyataan tidak pernah ada penafsiran tunggal terhadap ajaran-ajaran agama.
Dalam perspektif normatif-teologis, perbedaan penafsiran itu terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah fikih tapi juga dalam masalah-masalah akidah. Perbedaan antara Sunni, Syiah dan Mu’tazilah adalah perbedaan dalam masalah akidah. Begitu pula perbedaan antara para filosof, mutakallimin dan sufi. Perbedaan itu menyangkut tentang konsep mengenai Tuhan, kenabian, kehidupan akhirat, surga dan neraka, kejadian alam dan sebagainya. Maka penafsiran tentang khatamun nabiyyin sebagaimana dianut oleh Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Jemaat Ahmadiyah misalnya, belumlah terlalu mendasar.
Andaikata MUI menempatkan dirinya sebagai pengawal akidah dan melarang pemahaman serta penafsiran salah satu unsur akidah yang berbeda dengan pemahaman dan penafsiran mayoritas apakah lalu mereka yang menganut pemahaman dan penafsiran yang berbeda itu harus ditindak? Karenanya perlu dibentuk aparat yang mengetes akidah seseorang apakah benar atau salah? Lalu, perlu juga pengadilan akidah yang akan mengadili apakah akidah seseorang yang dituduh sesat atau tidak? Tentu saja diperlukan daftar bacaan yang dianggap menyesatkan dan dilarang untuk dibaca oleh umat Islam. Karena bacaan-bacaan yang mengandung kesesatan itu juga tersebar melalui internet, diperlukan peralatan yang bisa menyensor segala bacaan melalui media komunikasi modern.
Dalam perspektif sosiologi, Fachri Ali melihat bahwa munculnya aliran yang dinilai sesat secara spekulatif sebagai bagian dari usaha orang untuk mendapatkan sesuatu yang spesifik. Dalam konteks ini, lanjut Fachri Ali, timbul rasa aneh ketika agama tidak lagi mampu menyediakan ruang privat bagi kalangan awam. Mereka mencari bilik-bilik sendiri dan menemukannya dalam unit-unit kecil yang saat ini marak. Selain itu agama formalistik kadang-kadang membuat orang merasa jauh dengan pemimpinnya. Gambaran seperti ini ada pada sekelompok orang di Gresik yang sulit berinteraksi dengan pemimpinnya atau mereka yang tinggal di Pare-Pare merasa jauh jika ingin menemui pemimpin agamanya. Ketika ada kelompok menawarkan pendekatan spiritual yang dianggap lebih sakral dan dekat secara personal maupun spiritual dengan pemimpinnya, aliran ini mudah diterima. Kedekatan dengan pemimpin saat ini tidak bisa dijawab ketika tekanan globalisasi muncul.
Di Indonesia, dalam amatan Yudi Latif, era reformasi yang mengenalkan ruang terbuka secara tiba-tiba membuka peluang untuk tampil berbeda. Sebelumnya, di Orde Baru, pluralitas agama, adat atau kebiasaan, benar-benar ditekan jika tidak masuk dalam kerangka yang sudah dibuat. Lanjut Latif, tatkala kelompok yang besar mengalami krisis kepercayaan, maka muncul kelompok-kelompok perlawanan, radikalisme, dan ekspresif agama yang biasanya agak menyempal.
Gejala berlapis ini memunculkan global paradox akibat penyeragaman atas agama. Bukankah ketidakpuasan adalah gejala biasa dalam era postmodernisme? Ketidakpuasan memunculkan tekanan, yang dalam kasus ini membuka ruang untuk memunculkan kelompok dengan identitas berbeda, yang dinilai sebagai aliran sesat. Mereka butuh stabilitas dan tokoh yang bisa memberikan kepastian, inspirasi dan karisma. Dan semua ini didapat dari kelompok-kelompok yang memang dekat dengan mereka, bukan kelompok besar dan sangat formal.
Respons Agamawan
Muncul pertanyaan, langkah apa yang tepat dalam merespons aktivitas aliran “sesat” atau sempalan tersebut? Melibatkan aparatur keamanan untuk menangkapi anggota alirsan “sesat” tidak menyelesaikan persoalan. Agama harus berbicara dengan bahasa hati. Dalam konteks itu, Yudi Latif (2007) merespons perlunya mengetahui latar belakang terlebih dahulu kenapa mereka mendirikan dan mengikuti aliran tersebut? Lanjut Yudi, bahwa biasanya para penganut aliran sesat tersebut memilih bergabung dengan berbagai alasan berkaitan dengan kenyamanan. Mereka menemukan ikatan emosional, pemimpin karismatik, keamanan, dan perlindungan. Untuk itu organisasi keagamaan pun harus mampu menyapa jamaahnya secara intens dan personal. Selain itu para penganut aliran itu pun tidak melihat suatu hal secara rasional, aspek emosional adalah yang utama bagi mereka.
Karenanya, agama harus mampu menjawab kekeringan batiniah tersebut. Bagi sebagian orang, kehadiran aliran “sesat” itu bukan saja sebuah cambukan atas umat Islam, tetapi juga sebagai tamparan kepada organisasi-organisasi massa yang besar dan beraliran agama yang nampaknya sibuk sendiri dan cuek terhadap permasalahan umat, khususnya umat yang minoritas. Mereka yang berada di luar garis mayoritas pemahaman agama tapi sangat haus dengan pencerahan.
NU dan Muhammadiyah, seharusnya bertindak cepat melakukan langkah-langkah pencerahan yang secara terus menerus. Selain itu, masalahnya adalah mampu dan maukah masyarakat, termasuk pemerintah, perangkat hukum, serta para pemuka agama melihat permasalahan kasus Al-qiyadah al-Islamiyah, Lia Aminuddin, dan sederet aliran lainnya bukan semata-mata permasalahan yang hanya dilihat dari bahasa permusuhan dan penghakiman semata?
Oleh karena itu, kelompok yang direaksi MUI dengan fatwa aliran sesat dan dihakimi masyarakat itu sebetulnya mesti dikaji lebih dulu, dan tidak emosional. Selain dibutuhkan dialog yang intensif, perlu ada proses-proses berkesinambungan untuk mengikis dan menjamin terciptanya masyarakat yang dinamis serta mengindari dampak buruk yang tidak kita inginkan. Semoga.
*) Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung