Oleh : Ach Syaiful A'la*
Penyelenggaraan pendidikan memang memerlukan biaya. Bahkan, biaya penyelenggaraan pendidikan yang tidak bermutu justru akan lebih mahal ketimbang pendidikan yang bermutu, karena banyak kegiatan yang harus diurus. Kini banyak anak usia sekolah tang tidak bisa menikmati pendidikan lantaran biaya sekolah yang begitu mahal.
Selama ini sekolah tak ubahnya pasar. Di mana ada uang, di situ ada barang. Sekolah bagaikan mesin pencetak ijazah. Padahal tujuan pendidikan sendiri merupakan instrumen seseorang untuk melakukan mobilisasi, interaksi sosial dan mengangkat harkat dan martabat, juga pendidikan seharusnya bisa dinikmati oleh semua warga negara termasuk orang miskin. Sayang selama ini tujuan pendidikan tersebut jauh dari harapan.
Good Bye UN – Selamat datang SPMB mulai marak di masyarakat kita. Syaiful Anshari dalam opini "Menghindari Jebakan Sekolah Unggulan," melihat bahwa masyarakat sekarang mulai terkecoh dengan simbol-simbol sekolah yang berlabel serba menantang, dan mempunyai masa depan cerah seperti SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), SSI (Sekolah Standar Internasional), dan SSN (Sekolah Standar Nasional).
Pendidikan Tanpa Sekolah
Di akhir 1970-an, Ivan Illich mengejutkan masyarakat, praktisi, dan pemerhati pendidikan dengan gagasan kontroversial tentang deschooling society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan bahwa jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas, tanpa harus terikat kelembagaan seperti sekolah. Artinya, dalam masyarakat ini, sekolah tidak lagi dibutuhkan. Gagasan ini, sampai sekarang memang belum terbukti dalam kehidupan konkrit. Akan tetapi, jika saja kita melihatnya sebagai parodi maka betapa tepatnya Illich dalam menilai dan mendeskripsikan eksistensi lembaga pendidikan.
Tetapi masyarakat Indonesia kurang merespon terhadap ide cemerlang Ivan Illich, tiba-tiba di pertengahan tahun 2005, jadi lebih dari 32 tahun kemudian dalam dialog interaktif sebuah radio yang peduli pada pendidikan, ada ulasan mengenai pendidikan tanpa sekolah. Nampaknya, keinginan itu dipicu oleh kekecewaan mengenai keadaan pendidikan yang terasa semakin ruwet dan curat-marut. Ide semacam ini sangat wajar, mengingat bahwa ketidakpuasan masyarakat mengenai pendidikan dewasa ini sudah sampai di ubun-ubun.
Wajar saja bila masyarakat bermimpi tentang pendidikan tanpa sekolah. Kenapa tidak? Ada beberapa alasan untuk mendukung ide ini. Pertama, pendidikan tidak identik dengan sekolah. Karena, pendidikan jauh lebih bermakna, lebih luas dan lebih mendalam bila dibandingkan dengan sekolah, apalagi sekolah tidak bermutu, tidak jelas visi dan misinya serta masih mencari model-model pembelajaran. Di sekolah yang berkembang hanyalah proses pembelajarannya, yang kadang melupakan proses pendidikan.
Kedua, kebijakan pendidikan Indonesia adalah wajib belajar, bukan wajib sekolah itupun menganut aliran compulsory, yang tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memaksa. Hal ini bisa saja diberi makna bahwa orang tua harus menggiring anaknya ke sekolah, asal ia dapat menjamin anaknya belajar, karena tetap bertanggung jawab atas mendidik anaknya.
Ketiga, pendidikan di Indonesia dilaksanakan dengan 3 jalur, formal, non-formal, dan informal. Dalam pasal 27 ayat (1) UU No 29 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan, "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan adalah berbentuk kegiatan belajar secara mandiri."
Keempat, model pendidikan yang paling tua adalah pendidikan individual, yang berpusat pada siswa dan bukan berpusat pada kepentingan lain, misalnya politik dan seterusnya. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Wuest (1995) mengenai teori pembelajaran modern antara lain, berpusat pada siswa, iklim belajar yang tidak tegang dan menyenangkan, hubungan yang akrab antara siswa dan guru.
Mungkin solusi yang terbaik adalah tuntutan adanya sekolah alternatif yang berkualitas. Kerisauan mengenai penyelenggaraan sekolah yang ada sekarang ini, telah memicu beberapa pakar untuk mendirikan sekolah pilihan, Romo Mangunwijya ( alm) mendirikan SD Mangonan (Jogja), Prof Dr Muchlas Samani dengan sekolah Alam Insan Mulia (Surabaya), Ahmad Bahruddin dengan SMP Qaryah Thayyibah (Salatiga) dan seterusnya.
*) Ketua Forum Kajian Sosial Keagamaan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Penyelenggaraan pendidikan memang memerlukan biaya. Bahkan, biaya penyelenggaraan pendidikan yang tidak bermutu justru akan lebih mahal ketimbang pendidikan yang bermutu, karena banyak kegiatan yang harus diurus. Kini banyak anak usia sekolah tang tidak bisa menikmati pendidikan lantaran biaya sekolah yang begitu mahal.
Selama ini sekolah tak ubahnya pasar. Di mana ada uang, di situ ada barang. Sekolah bagaikan mesin pencetak ijazah. Padahal tujuan pendidikan sendiri merupakan instrumen seseorang untuk melakukan mobilisasi, interaksi sosial dan mengangkat harkat dan martabat, juga pendidikan seharusnya bisa dinikmati oleh semua warga negara termasuk orang miskin. Sayang selama ini tujuan pendidikan tersebut jauh dari harapan.
Good Bye UN – Selamat datang SPMB mulai marak di masyarakat kita. Syaiful Anshari dalam opini "Menghindari Jebakan Sekolah Unggulan," melihat bahwa masyarakat sekarang mulai terkecoh dengan simbol-simbol sekolah yang berlabel serba menantang, dan mempunyai masa depan cerah seperti SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), SSI (Sekolah Standar Internasional), dan SSN (Sekolah Standar Nasional).
Pendidikan Tanpa Sekolah
Di akhir 1970-an, Ivan Illich mengejutkan masyarakat, praktisi, dan pemerhati pendidikan dengan gagasan kontroversial tentang deschooling society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan bahwa jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas, tanpa harus terikat kelembagaan seperti sekolah. Artinya, dalam masyarakat ini, sekolah tidak lagi dibutuhkan. Gagasan ini, sampai sekarang memang belum terbukti dalam kehidupan konkrit. Akan tetapi, jika saja kita melihatnya sebagai parodi maka betapa tepatnya Illich dalam menilai dan mendeskripsikan eksistensi lembaga pendidikan.
Tetapi masyarakat Indonesia kurang merespon terhadap ide cemerlang Ivan Illich, tiba-tiba di pertengahan tahun 2005, jadi lebih dari 32 tahun kemudian dalam dialog interaktif sebuah radio yang peduli pada pendidikan, ada ulasan mengenai pendidikan tanpa sekolah. Nampaknya, keinginan itu dipicu oleh kekecewaan mengenai keadaan pendidikan yang terasa semakin ruwet dan curat-marut. Ide semacam ini sangat wajar, mengingat bahwa ketidakpuasan masyarakat mengenai pendidikan dewasa ini sudah sampai di ubun-ubun.
Wajar saja bila masyarakat bermimpi tentang pendidikan tanpa sekolah. Kenapa tidak? Ada beberapa alasan untuk mendukung ide ini. Pertama, pendidikan tidak identik dengan sekolah. Karena, pendidikan jauh lebih bermakna, lebih luas dan lebih mendalam bila dibandingkan dengan sekolah, apalagi sekolah tidak bermutu, tidak jelas visi dan misinya serta masih mencari model-model pembelajaran. Di sekolah yang berkembang hanyalah proses pembelajarannya, yang kadang melupakan proses pendidikan.
Kedua, kebijakan pendidikan Indonesia adalah wajib belajar, bukan wajib sekolah itupun menganut aliran compulsory, yang tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memaksa. Hal ini bisa saja diberi makna bahwa orang tua harus menggiring anaknya ke sekolah, asal ia dapat menjamin anaknya belajar, karena tetap bertanggung jawab atas mendidik anaknya.
Ketiga, pendidikan di Indonesia dilaksanakan dengan 3 jalur, formal, non-formal, dan informal. Dalam pasal 27 ayat (1) UU No 29 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan, "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan adalah berbentuk kegiatan belajar secara mandiri."
Keempat, model pendidikan yang paling tua adalah pendidikan individual, yang berpusat pada siswa dan bukan berpusat pada kepentingan lain, misalnya politik dan seterusnya. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Wuest (1995) mengenai teori pembelajaran modern antara lain, berpusat pada siswa, iklim belajar yang tidak tegang dan menyenangkan, hubungan yang akrab antara siswa dan guru.
Mungkin solusi yang terbaik adalah tuntutan adanya sekolah alternatif yang berkualitas. Kerisauan mengenai penyelenggaraan sekolah yang ada sekarang ini, telah memicu beberapa pakar untuk mendirikan sekolah pilihan, Romo Mangunwijya ( alm) mendirikan SD Mangonan (Jogja), Prof Dr Muchlas Samani dengan sekolah Alam Insan Mulia (Surabaya), Ahmad Bahruddin dengan SMP Qaryah Thayyibah (Salatiga) dan seterusnya.
*) Ketua Forum Kajian Sosial Keagamaan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar