Senin

Selamatkan Innocent Voice!

SOROT
Oleh: Nurani Soyomukti*

Keterlibatan Isa Ansori, usia 16 tahun, dan Nur Fauzan, usia 19 tahun, dalam jaringan teroris Indonesia yang beberapa waktu lalu ditemukan sungguh memprihatinkan. Meskipun mereka akan dibebaskan segera karena masih di bawah umur serta karena keterlibatannya dalam tindakan teroris tidak terlalu signifikan, yang jelas kita telah melihat fakta bahwa anak-anak dan kaum remaja belia telah direkrut dalam jaringan terorisme.
Terorisme merupakan gejala internasional dan lintas Negara. Hampir di semua kawasan terdapat kelompok yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Dan, anak-anak menjadi kalangan yang mudah direkrut karena mereka masih dapat didoktrin, diarahkan, dan dibentuk menjadi mesin-mesin kekerasan.
Kalau kita melihat film Blood Diamond yang dibintangi oleh Leonardo De Caprio, di dalamnya digambarkan secara jelas bagaimana kaum pemberontak (Revolusionary United Front/RUF) di Sierra Lione (di kawasan Afrika) menculik dan merampas anak-anak untuk direkrut jadi tentara pemberontak. Anak-anak di bawah umur bukan hanya diajari caranya menembak dan membunuh musuh, tetapi juga didoktrin dengan estetika kekerasan dan kenikmatan membunuh. Film itu menggambarkan bagaimana seorang bapak kehilangan anaknya yang cerdas dan rajin sekolah. Ia harus terpisah dengan anaknya yang kelak ketika besar menjadi seorang dokter. Anak tersebut diculik dari desa yang dihancurkan dan para penduduknya pindah mengungsi. Belakangan sang anak tidak lagi mengenali sang bapak karena bapaknya adalah bagian dari penduduk negara yang menjadi musuh pemberontak.
Dari kasus tersebut sebenarnya dapat kita simpulkan bahwa anak-anak dan remaja memiliki dinamika psikologis yang mudah dibentuk karena belum memiliki penjelasan tuntas tentang suatu kondisi sosial. Doktrinasi ideologi apapun dapat begitu mudahnya disuntikkan pada mereka.
Anak-anak Tak Berdosa
Akan tetapi kita sebaiknya juga harus bijak dan adil dalam menilai masalah terorisme. Kalau terorisme merupakan gejala di mana cara-cara teror dan kekerasan adalah metode utama, sebenarnya anak-anak seringkali menjadi rebutan dalam pergolakan politik di mana kekerasan mendominasi. Sebenarnya bukan hanya kelompok sipil bersenjata (pemberontak) yang seringkali menggunakan anak-anak untuk melawan pemerintah yang dianggapnya tidak adil karena tidak mungkin pemberontakan muncul dalam sebuah negara yang adil.
Ada sebuah film yang cukup bagus dalam menggambarkan anak-anak yang menjadi rebutan antara pemerintah yang otoriter yang berdiri di atas laras senjata dengan pemberontak yang justru ingin menyelamatkan anak-anak yang dipaksa untuk masuk ke jajaran tentara (wajib militer). Film Innocent Voice, kisah nyata (true story), yang beberapa tahun lalu menyabet penghargaan di festival Cannes, menggambarkan secara baik bagaimana anak-anak yang masih sekolah dipaksa oleh tentara pemerintah dalam menghadapi pemberontakan Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (Frente Farabundo Marti para la Liberacion Nacional atau FMLN) di El Salvador. Setiap sebulan sekali tentara pemerintah datang ke sekolah dan mengumumkan siapakah yang menjadi giliran untuk direkrut. Para orangtua ketakutan dan merasa bersedih karena mereka ingin melihat anak-anak mereka tumbuh dengan nyaman, menginginkan perang saudara segera berakhir. Film ini benar-benar menggambarkan secara humanis nasib anak-anak. Menonton film ini akan dipenuhi keharuan karena anak-anak yang sedang menikmati musim keceriaan dalam belajar dan bergaul dengan sesama teman dihantui oleh perang saudara.
Hak Anak-anak
Kondisi tersebut di atas perlu menjadi perhatian kita semua. Anak-anak dan kaum remaja belia yang seharusnya mendapatkan hak-haknya untuk bertumbuh-kembang menjadi pribadi-pribadi yang sehat jasmani dan rohani, harus diselamatkan dari kecamuk politik dan konflik ideologi. Dari kasus Isa Ansori (16) dan Nur Fauzan (19), keterlibatan anak-anak dalam gerakan teroris wajib diwaspadai. Kewaspadaan ini bukan hanya mengutuk secara hitam-putih pada anak-anak pelaku teror tersebut. Mereka memang menjadi pelaku, tetapi harus kita yakini bahwa mereka adalah korban.
Dan, korban adalah mereka yang terpinggirkan. Tidak mungkin orang (termasuk anak-anak) akan mewarisi ideologi kekerasan jika mereka tidak menjadi bagian dari mereka yang terpinggirkan, teraniaya, dan bahkan terdesak. Kalau kita lihat anak-anak yang direkrut dalam gerakan yang menggunakan teror dan kekerasan adalah mereka yang secara ekonomi miskin. Selain itu, juga mereka yang mendendam karena orangtua dan saudara dekat mereka juga menjadi korban. Lihatlah anak-anak yang dibesarkan di daerah konflik seperti di Jalur Gaza. Mereka tidak lagi memikirkan bagaimana bisa sekolah dan belajar atau bermain. Sejak kecil mereka diajari merakit bom, memegang senjata, dan dilatih untuk menyerang musuh. Karena mereka tidak memiliki apa-apa lagi. Orangtua dan saudaranya telah mati terkena bom yang diluncurkan Israel.
Kondisi semacam itulah yang harus kita hindari. Jalan utama mengembalikan anak pada dunia sejatinya adalah memberikan mereka kesejahteraan. Jangan biarkan mereka terjun ke medan tempur dengan dibekali senjata dan indoktrinasi ideologi sempit. Juga jangan biarkan anak-anak terjun ke jalan-jalan menjadi pengemis, gelandangan, pencuri dan penjahat. Anak-anak yang jahat lahir dari situasi ekonomi yang jahat pula.
*) Peneliti di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jember Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung