Senin

Sukses Olimpiade, Sukses Pendidikan?

Oleh: M Husnaini*
Tim Indonesia berhasil menyabet dua medali perak dan dua medali perunggu dalam Olimpiade Kimia atau International Chemistry Olympiad (IChO) ke-39 di Moskwa, Rusia, pada 14-24 Juli 2007. Empat siswa Indonesia bersaing dengan 280 siswa dari 70 negara. Keempat siswa tersebut adalah Teuku Mahfuzh Aufar Kari, Mohamad Faiz, William, dan Vincentius Jeremi Suhardi. Prestasi tersebut meningkat dibandingkan dengan prestasi tahun lalu. Pada IChO ke-38, tim Indonesia hanya mendapatkan empat medali perunggu.
Fakta di atas menunjukkan kepada kita bahwa --secara individual-- memang ada beberapa siswa negeri ini yang menunjukkan prestasi cemerlang dalam olimpiade sains tingkat internasional. Akan tetapi, apakah keberhasilan itu serta merta mencerminkan mutu atau kualitas pendidikan di Indonesia? Rasanya masih harus berpikir ulang untuk buru-buru mengatakan iya.
Buktinya dapat kita lihat, misalnya, dari laporan tentang pembangunan manusia Indonesia yang dipublikasikan UNDP pada tahun 2004, dimana Human Development Index Indonesia berada di urutan ke-III dari 175 negara. Sementara penguasaan matematika siswa kelas II SMP, sebagaimana tercermin dalam hasil tes Trends in Mathematics and Sciences Study 2003, Indonesia berada pada urutan ke-34 dan 36 untuk sains dari 46 negara.
Belum lagi kebijakan pendidikan nasional juga tidak jelas, hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat teknis, dan belum menyentuh persoalan-persoalan substansial, sehingga mutu pendidikan tidak kunjung membaik. Secara jujur kita harus mengakui, pendidikan kita masih tertinggal jauh dengan beberapa negara tentangga, seperti Singapura dan Malaysia. Padahal kedua negara tersebut tidaklah mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Rupanya keduanya menjadi negara maju (lebih) disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
Masih terngiang di benak kita bahwa negeri ini pada tahun 1970-an mengirim guru-guru --terutama guru-guru eksakta-- mengajar di Malaysia, mengirim dokter dan perawat ke negeri Jiran tersebut. Sebaliknya, mereka mengirim siswa dan mahasiswa untuk belajar di Indonesia. Sekarang, kenyataan itu menjadi terbalik. Banyak siswa dan mahasiswa kita kini belajar di Malaysia dan banyak sekali orang Indonesia berobat di negeri Jiran tersebut. Ironis memang, murid yang dulu kita ajar kini telah menjadi orang pandai dan kini justru kita yang berguru di negeri mantan murid tersebut.
Memang, sampai hari ini pun pendidikan di negeri ini tidak pernah dikelola secara baik. Padahal pendidikanlah yang menentukan masa depan suatu bangsa. Masih banyak anak bangsa yang tidak dapat memperoleh pendidikan, putus sekolah, dan banyak pula yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Pendidikan menjadi sangat mahal, karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan --mulai dari uang bangunan, pakaian seragam, buku pelajaran, hingga uang semester-- yang kalau itu semua tidak dapat dibayarkan, sudah dapat dipastikan, murid tersebut tidak diterima masuk sekolah.
Padahal, amanat konstitusi dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi, pemerintah tampaknya mengingkari tanggung jawab tersebut. Diterapkannya privatisasi pendidikan adalah salah satu buktinya. Dengan privatisasi pendidikan, sama saja negara melegitimasi masuknya kapitalisme pendidikan sehingga hanya orang-orang berkantong tebal saja yang dapat mengakses pendidikan.
Selain itu, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 39 Ayat 2 disebutkan, "Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik perguruan tinggi". Pasal 58 Ayat 1 dinyatakan, "Evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan".
Dari dua pasal tersebut, jelas mengamanatkan bahwa otoritas evaluasi pendidikan itu ada di tangan guru. Artinya, penetapan kedalaman, keleluasaan evaluasi, penetapan kisi-kisi, penetapan butir-butir soal, analisis item soal, sampai pada pengambilan keputusan, semestinya ada di tangan guru. Namun, pada kenyataannya, otonomi itu malah diambil alih oleh Depdiknas melalui ujian nasional (UN) dengan legitimasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang justru bertentangan dengan UU Sisdiknas.
Masih banyak anomali (kebijakan pendidikan) yang harus segera dibenahi. Kalau pendidikan diyakini sebagai investasi masa depan bangsa, saatnya pemerintah berani menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan dan mendekonstruksi semua bentuk regulasi dan paradigma pendidikan agar sesuai dengan spirit pembukaan UUD 1945. Jika tidak, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa tertinggal dan kalah dalam segala hal. Sehingga prestasi dalam IChO ke-39 di Moskwa, Rusia, tersebut (hanya) sebatas kenangan belaka. Semoga.
*) Alumnus PP. Al-Ishlah Sendangagung Paciran, Lamongan, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung