Senin

Visi LSM Dalam Konflik Agraria

SOROT
Em. Lukman*

Konflik tanah yang terjadi di desa Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan telah merenggut nyawa 4 petani dan puluhan lainnya luka-luka. Tragedi berdarah ini menyedot perhatian Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Kontras yang berupaya menggali insiden penembakan itu secara jujur untuk mengimbangi data investigasi (versi TNI AL) yang akhir-akhir ini mendominasi pemberitaan di media massa.
Kesimpulan penelitian Kontras menunjukkan bahwa penembakan itu memang dengan sengaja dilakukan oleh TNI AL (sebagaimana versi warga) dan tidak ditembakan ke tanah (versi TNI AL) melainkan dibidikkan secara langsung ke arah warga. Pernyataan Kontras ini praktis menimbulkan kemarahan pihak marinir. Melalui pengacaranya, Ruhut Sitompul SH, pihak AL menegaskan bahwa Kontras sengaja memicu kemarahan warga sehingga penyelesaian yang menguntungkan bagi semua pihak menjadi berantakan. Keberadan LSM seperti Kontras dianggap sebagai biang keladi tertundanya penuntasan kasus tanah di Indonesia.
LSM dan Agraria
Apa yang harus dilakukan LSM, dalam memandang kasus Alas Tlogo, bila kehadiran lembaga ini justru dianggap memprovokasi suasana? Dalam memandang kehadiran LSM dalam serentetan kasus agraria di Indonesia tentunya tidak dapat dilihat dari kacamata ’menguntungkan’ atau ’tidak menguntungkan’. Fakta konflik lahan harus dapat disuguhkan secara berimbang.
Kehadiran LSM memang acapkali dituding sebagai lembaga yang memprovokasi konflik agraria. Karena itu Kontras harus tetap berpegang teguh terhadap itikad baik kehadiran mereka di Alas Tlogo. Sebab tidak jarang, di bawah teror opini militer, LSM kerap kemudian merubah arah gerakannya dari yang semula berbasis “gerakan reforma agraria” menjadi “gerakan pembaruan hukum agraria”; dari gerakan “revitalisasi UUPA 1960” menjadi “gerakan revisi UUPA 1960”. Karenanya, yang kemudian menjadi sasaran kritik gerakan reforma agraria sekarang tidak lagi tertuju pada masalah “penyelewengan” pemerintah terhadap UUPA 1960, melainkan tertuju pada masalah “irrelevansi” UUPA 1960.
Terjadinya pergeseran itu dengan sendirinya membawa pergeseran pada aspek pendekatan dan strategi perjuangan LSM, yakni dari strategi penguatan rakyat melalui pendidikan pembebasan dan pengorganisasian di akar rumput, bergeser ke strategi advokasi yang menitikberatkan pada cara-cara lobi dan negosiasi dengan pihak pemegang kebijakan (pemerintah). Strategi ini dapat melahirkan tiga kemungkinan, yakni kompromi, konflik (tidak ada titik temu), atau saling menjauh, untuk menghindari konflik sekaligus kompromi.
Akibat teror dari berbagai pihak yang tidak menginginkan arus reformasi agraria mengalir, beberapa kalangan yang pada mulanya getol memperjuangkan reformasi agraria justru memilih pendekatan kompromi ketika lahir Tap MPR No. IX/MPR/2001. Karena itu, bagi mereka (ornop anti-Tap maupun kalangan masyarakat umum) yang cukup skeptis dan jeli menangkap konjungtur sosial-politik yang ada, serta tidak terkecoh untuk mengafirmasi gagasan mainstream –apapun alasannya– lahirnya kebijakan itu tidak lagi dipandang sebagai hasil perjuangan yang patut disyukuri, melainkan merupakan babak kedua bencana masalah agraria post penyelewengan pemerintah terhadap UUPA 1960.
Menurut Bey (2002), kelahiran Tap tersebut merupakan lonceng kematian UUPA 1960 dan pertanda gagalnya upaya mendorong pelaksanaan reformasi agraria melalui penegakkan kembali UUPA 1960.
Kecenderungan-kecenderungan yang muncul dalam periode posta Orde Baru, telah menunjukkan pada publik, bahwa kondisi yang “diperlukan” (necessary condition) ­dan kondisi yang “mencukupi” (sufficient condition) bagi pelaksanaan reformasi agraria pada dasarnya masih belum, bahkan jauh dari terpenuhi. Kondisi yang diperlukan tidak lain adalah terpenuhinya prasyarat reformasi agraria; sementara kondisi yang mencukupi adalah sampai sejauh mana prasyarat yang sudah ada itu dapat memberi iklim kondusif bagi pelaksanaan reformasi agraria.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, jelas sangat sulit untuk “menemukan”, apalagi menciptakan dua kondisi tersebut (necessary dan sufficient condition). Bila tetap dipaksakan, maka yang terjadi bukannya penguatan komitmen perjuangan, melainkan dipaksa berkompromi dengan situasi dan kondisi yang ada, dan “pasrah diri” terseret mainstream pemikiran dominan yang berkembang saat ini. Hasilnya mudah ditebak, kepentingan golongan pemegang kekuasaan ekonomi-politiklah yang memenangkan pertempuran wacana ini.
Faktor utama timbulnya ketidakpastian pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia, karena negara–baik di ranah masyarakat politik maupun masyarakat sipil –(sadar atau tidak) telah terkooptasi oleh gagasan neoliberalisme. Gagasan itu telah melumpuhkan strategi pembaruan radikal di tingkat nasional –yang dimitoskan tidak mungkin dapat dijalankan– karena akan (harus!) berhadapan dengan penilaian dan sanksi rejim global (Hirst dan Thomsond, 2001), yang tidak lain adalah WTO (World Trade Organization). Itulah sebabnya, rejim global tidak akan pernah mendukung agenda reformasi agraria yang berpihak pada kepentingan rakyat, karena akan menghalangi proses ekspansi modal finansial kaum kapitalis.
Menyadari peliknya keberadaan LSM di hampir seluruh kasus tanah, Kontras harus dapat meyakinkan publik bahwa kehadirannya tidak saja untuk melakukan advokasi -apalagi memprovokasi-sebagaimana yang dituduhkan pihak marinir, akan tetapi melakukan pendampingan politik pada warga untuk mempercepat arus refomasi agraria yang telah lama kita idamkan. Selamat berjuang Kontras !
*) Warga Pandaan Pasuruan, studi di Program Administrasi Publik Pasca Sarjana UNEJ.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung