Senin

Berebut Identitas FKKSM

OPSI
OLEH: TAUFIQ SHOLEH*
Setelah populer dengan Jember Fashion Carnaval (JFC), pada 11-15 September 2006, Jember ditunjuk sebagai panitia bersama Festival Kesenian Kawasan Selatan & Madura (FKKSM). FKKSM adalah festival seni dan budaya yang menyertakan sejumlah kabupaten di Jawa Timur seperti Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Bondowoso, Jember, Banyuwangi dan Kabupaten Bangkalan sebagai wakil pulau Madura. Mereka mempertontonkan di hadapan publik identitas seni dan budaya asli daerah masing-masing.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada trend Pemerintah Daerah (baik Tingkat I maupun II) menyelenggarakan even-even yang bertajuk seni dan budaya. Pertanyaanya, benarkah ke-seni-an yang mereka tampilkan dalam even-even tersebut merupakan identiitas "seni" dan "budaya" asli daerah bersangkutan, yang secara sosio-kultural maupun historis bisa dipertanggungjawabkan? Dan, untuk kepentingan apa identitas itu dimunculkan?
Dalam diskursus kebudayaan, topik seni dan budaya akan selalu hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Karena dalam wacana kebudayaan itu sendiri, seni dan budaya dapat menjadi hal yang sangat sensitif namun sekaligus produktif untuk dihembuskan.
Sensitif, karena seni dan budaya bisa menyangkut banyak hal dalam kehidupan manusia. Ke-budaya-an sebagai hal terbaik yang pernah dipikirkan dan dikatakan di dunia ini (Arnold, 1960). Sehingga seni dan budaya (ke-budaya-an) akan mencakup ruang eksotisitas, etnisitas, ras, dan bahkan agama. Pandangan Arnold yang demikian ini selanjutnya menjadi cikal bakal berkembangnya mazhab Leavisisme.
Leavisisme telah menggiring diskursus ke-budaya-an ini sebagai sesuatu yang biner, yaitu ke-budaya-an yang dikotak dalam definisi dan kategori tertentu seperti, kebudayaan "rendah"-an versus ke-budaya-an "tinggi", ke-budaya-an adi luhung versus ke-budaya-an dekil dan sebagainya. Di sinilah letak sensitivitas seni dan budaya yang dimaksud. Karena masing-masing tentunya akan mati-matian mempertahankan ke-budaya-an- ke-seni-an yang mereka yakini sebagai yang paling benar dan absah untuk dilestarikan. Sebaliknya, yang lain laik untuk dibinasakan.
Produktif, karena seni dan budaya menjadi sangat efektif mereproduksi simbol, makna, nilai serta norma dalam struktur masyarakat. Dalam konteks ini, menyimak kembali apa yang pernah digambarkan oleh Raymond Williams cukup relevan untuk direnungkan.
Menurutnya, ke-budaya-an, yang di dalamnya juga termasuk ke-seni-an, selalu memiliki dua aspek. Pertama, ia memiliki makna dan tujuan yang diketahui. Anggotanya terlatih untuk itu. Pengamatan dan makna baru, yang ditawarkan kemudian dites. Semua itu merupakan proses biasa masyarakat manusia dan pikiran manusia. Karena itu sifat kebudayaan selalu bersifat tradisional dan kreatif. Keduanya merupakan makna paling umum dan makna individual yang paling halus (Williams, dalam K.Bertens:2002)
Namun demikian, ke-budaya-an "ke-seni-an" akan berwajah mengerikan dan menakutkan ketika harus bersinggungan dengan politik-kekuasaan (negara). Ia justru akan menjadi politik representasi kelas dominan (tentu tidak harus negara). Tujuannya untuk menyokong sturuktur kekuasaan yang ada. Ke-budaya-an "ke-seni-an" kemudian menjadi abdi dan hamba bagi mereka yang menjadi pemegang kekuasaan.
Contoh, sejarah ke-budaya-an "ke-seni-an" kita di masa rezim Orde Baru. Saat itu sering kita saksikan bagaimana negara seakan-akan tampil sebagai pembela dan pelindung ke-seni-an atas nama "pelestaarian khasanah ke-budaya-an bangsa". Padahal sejatinya, ke-budaya-an "ke-seni-an" telah dibajak untuk kepentingan sesaat dan demi melanggengkan kekuasaan. Celakanya, ke-budaya-an "ke-seni-an" (dengan segenap masyarakat yang terlibat di dalamnya) seolah tunduk, patuh dan tanpa perlawanan karena mereka menganggap negara telah menyelamatkan eksistensi dirinya.
Konkritnya, banyak kita temukan saat itu ke-budaya-an "ke-seni-an" menjadi kepanjangan tangan negara untuk menjinakkan massa (rakyat). Akhirnya ke-budaya-an "ke-seni-an" harus didisiplinkan oleh segebok bentuk aturan yang kesemuanya amat normatif-positivism yaitu, kategori kesenian mana yang resmi dan tidak resmi, mana kesenian yang asli dan yang tidak, mana kesenian yang patut dipertahankan dan mana yang harus ditiadakan. Demikian seterusnya.
Pertanyaannya, benarkah ke-budaya-an "ke-seni-an" membutuhkan legitimasi kekuasaan (negara)? Bila demikian halnya, apa makna kebudayaan, yang katanya sebagai sesuatu yang terbaik yang pernah terpikirkan oleh manusia, bukan penguasa?
Pertanyaan Penting Dalam Ke-budaya-an !
Dalam salah satu pernyataan resmi yang dibacakan oleh panita, maksud dan tujuan diselenggarakannya FKKSM adalah upaya meningkatkan kesejahteraan para seniman/pekerja seni dengan berbasis budaya, di samping juga menambah wawasan seniman dan pekerja seni di kawasan selatan dan Madura.
Tidak begitu jelas apa maksud dari pernyataan di atas. Jika yang dimaksud seniman/pekerja seni bisa mencari keuntungan materi dari ber-kesenian, nampaknya kurang begitu tepat. Sebab faktanya, banyak kesenian-kesenian "rakyat" yang saat ini ada tetap eksis meskipun tanpa sokongan modal. Apalagi berharap secara ekonomis dari ber-keseni-an.
Begitupun juga jika yang dimaksud dengan ikut menambah wawasan bagi para seniman dan pekerja seni. Wawasan yang seperti apa? Wawasan ke-seni-an sebagaimana yang diinginkan penguasa? Atau wawasan ke-budaya-an "ke-seni-an" yang lahir dari akar si empunya, yaitu masyarakat? Semua pertanyaan di atas wajib bagi kita untuk direnungkan. Dalam diskursus kebudayaan, tidak penting siapa dan apa seni dan budaya itu? Yang paling penting adalah bagaimana bahasa seni dan budaya itu digunakan dan untuk tujuan apa?
*) Peneliti Muda DESANTARA-Institute for Cultural Studies-Jakarta, tinggal di Jember

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung