Senin

Cermin Rendahnya Kualitas Guru

Lembaga Bimbingan Belajar
Oleh: Wahyudi Kurniawan*
Ujian Nasional (UN) sebentar lagi tiba. Untuk mengantisipasi rendahnya angka kelulusan siswa yang sempat membuat khawatir beberapa pihak baik itu para siswa ataupun pihak sekolah dan guru, saat ini banyak sekolah yang bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar (LBB). Tujuannya membantu memaksimalkan siswa dalam memecahkan soal-soal ujian dengan trik-trik khusus yang tidak dipunyai pihak sekolah, agar siswa lulus dengan nilai memuaskan.
Fenomena itu menjadikan bisnis LBB tumbuh kian pesat dan cepat. Bak tumbuhnya jamur di musim hujan, bisnis ini tiba-tiba menjadi sangat menjanjikan. Siswa berbondong-bondong mendaftarkan diri. Tidak hanya siswa yang tidak mampu dalam hal akademis, tetapi juga siswa yang secara akademis bagus pun ikut mendaftar. Ironisnya ada beberapa sekolah yang bahkan mewajibkan siswanya untuk ikut meskipun dalam segi ekonomi mereka tidak mampu membayar.
Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti LBB ada jaminan bagi siswa untuk lulus UN. Ternyata tidak menjamin juga, justru kebanyakan siswa menjadi lebih malas belajar karena merasa sudah cukup mampu menguasai trik-trik (jalan pintas) dalam mengerjakan soal yang diajarkan LBB. Masalahnya benarkah semua soal bisa dikerjakan dengan trik?
Trik terkadang memang membantu siswa dalam mengerjakan soal-soal tertentu dengan cepat. Tapi bagaimanapun juga peran guru tetap penting dalam menanamkan pemahaman konsep kepada siswa. Karena ini bekal mereka di kemudian hari jika mereka menghadapi soal-soal yang lebih rumit. Hal itu tidak akan didapatkan siswa di LBB karena sebenarnya ilmu itu tidak bisa dipecahkan hanya dengan mengandalkan trik secara instan.
Andai saja sekolah mampu memberikan yang terbaik bagi siswanya. Tidak hanya sekedar teori-teori yang membuat siswa jenuh dengan pelajarannya tapi perpaduan antara teori dan trik seperti yang ada di LBB. Tentunya LBB tidak perlu masuk ke sekolah-sekolah. Siswa dan orangtua juga tidak terbebani oleh biaya LBB. Sedangkan guru tetap mendapat kepercayaan dari para orangtua dan siswa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Itu penting bagi kredibilitas guru sebagai seorang pendidik.
Kehadiran lembaga bimbingan belajar di sekolah disadari atau tidak membuktikan bahwa pihak sekolah tidak mampu menyiapkan siswanya dengan baik. Itu berarti pembelajaran yang selama ini mereka lakukan gagal. Terbukti dari peran mereka mendidik para siswanya digantikan oleh LBB. Ini merupakan salah satu tanda paling jelas hancurnya moralitas dan matinya etika profesi seorang guru. Menjadi guru adalah menghayati profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada profesi itu seseorang berproses lewat belajar. Bagaimana bisa guru yang notabene berkewajiban untuk memahamkan suatu ilmu yang ia peroleh kepada anak didiknya, mempercayakan lembaga bimbingan belajar yang jadi tren saat ini untuk menggantikan perannya? Sungguh sangat memilukan bagi para generasi penerus bangsa.
Tugas mendidik dan mengajar siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika tugas ini diserahkan kepada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli profesi pastinya akan muncul pertanyaan. Selama ini apa yang telah dilakukan para guru dalam mendidik siswa? Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda, guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.
Perlu ditekankan bahwa menjadi seorang guru pada lembaga pendidikan semacam sekolah tidaklah hanya sekedar pekerjaan. Namun lebih dari itu guru adalah profesi mulia yang membutuhkan profesionalitas para pelakunya.
Profesi itu sendiri menurut HAR Tilaar maknanya tidaklah pekerjaan sesempit seperti apa yang kita pikirkan, namun meluas, bisa berwujud sebagai jabatan dalam suatu hierarki birokrasi, menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan itu serta pelayanan baku terhadap masyarakat. Di sinilah kecemasan-kecemasan publik terhadap bimbel muncul. Sebab bimbel ditengarai dijadikan sebagai ajang bisnis kepentingan orang-orang tertentu yang memiliki jabatan karena kekuasaannya dengan mengatasnamakan kepentingan siswa, sehingga sangat diperlukan penyadaran etika.
Etika Profesi Bagi Pendidik
Etika profesi dan standar moral harus dimiliki tiap individu yang terlibat dunia pendidikan. Ini penting sebab corak relasional antara individu dalam lembaga pendidikan tidak imun dari unsur kekuasaan yang memungkinkan ditindasnya individu yang satu oleh individu yang lain. Selain itu etika profesi menjadi pedoman saat muncul konflik kepentingan agar kepentingan masyarakat umum tetap terjamin melalui pelayanan profesional. Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan tak ubahnya seperti toko grosiran meminjam istilah Doni Koesuma A, di mana keuntungan dan tumpukan uang menjadi tujuan.
Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan hanya akan diisi orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompok. Tanpa etika profesi pula, nilai kebebasan dan individu tidak dihargai. Untuk inilah, tiap lembaga pendidikan memerlukan keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya. Dalam kenyataan, tiap individu dalam dunia pendidikan terlibat negosiasi dan perjumpaan dengan orang lain, seperti guru, karyawan, orang tua, siswa, masyarakat, pegawai pemerintahan, dan lembaga bimbel. Peristiwa perjumpaan ini amat rentan dengan konflik kepentingan.
Kerja sama antara lembaga sekolah dan bimbingan belajar tidak hanya menurunkan kredibilitas sekolah dan guru sebagai seorang pendidik namun juga menyiratkan adanya konflik kepentingan. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Apakah demi kepentingan siswa, guru dan sekolah, orangtua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat bahwa yang diuntungkan adalah semua, yaitu siswa, guru/sekolah, orangtua, dan lembaga bimbel.
Tak dapat dipungkiri, bimbel oleh LBB dapat kian memberikan kepercayaan diri siswa dalam menghadapi UN. Orang tua merasa nyaman dan aman anaknya akan siap menghadapi UN dan tes ujian masuk perguruan tinggi negeri, sekolah untung karena prestasi menjadi tinggi, guru untung sebab dapat tambahan uang saku dan tentunya lembaga bimbel untung karena dapat duit dari proyek ini. Namun pada kenyataannya tidak semua berpendapat demikian sebab tidak semua siswa, guru, dan orangtua diuntungkan.
Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi konflik kepentingan yang mengorbankan martabat guru sekaligus mempertanyakan kualitas guru, memperalat siswa, mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Tentunya hal itu harus diluruskan sedini mungkin, jangan sampai masyarakat terjebak pada hal-hal yang bersifat kasat mata. Seolah-olah hal itu menguntungkan untuk jangka panjang padahal sebenarnya tidak.
*) Pengamat pendidikan, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung