OLEH: Muh Kholid AS*
Politisi Indonesia saat ini sedang terjun bebas menuju titik nol, demikian dikatakan Ahmad Syafii Maarif pada 14 Februari 2007, dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Statemen mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini tampaknya memang mewakili penilaian buruk publik terhadap (kebanyakan) politisi kontemporer di negeri ini, terlebih lagi mereka yang duduk di lembaga legislatif. Idealisasi politisi sebagai sokoguru kristalisasi perjuangan kepentingan rakyat, ternyata kian hari kian jauh dari kenyataan.
Lebih tegas lagi, almarhum Riswandha Imawan (2004), pernah menyebut lembaga legislatif sebagai kumpulan serigala. Sebab, dalam kenyataannya bukan saja lawan politik saja yang harus diterkam, tetapi rakyat yang memilih pun dijadikan santapan. Sifat predatorian anggota DPR/D sebagai makhluk ekonomis justru lebih mengemuka dibandingkan dengan nuraninya sebagai wali amanat (trustee), utusan rakyat (delegate), maupun pelindung rakyat. Tatkala rakyat sedang menghadapi berbagai permasalahan sosial yang bertubi-tubi tanpa henti, mereka justru berlomba-lomba untuk memenuhi egonya.
Terdapat kesenjangan logika yang dipakai wakil rakyat dengan rakyat yang diwakili. Mereka tidak mampu melawan ganasnya virus political myopic (Qomaruddin Hidayat: 2004), sehingga kehilangan penglihatan dalam menatap visi jauh ke depan yang melampaui usianya. DPR/D yang diuntungkan oleh konstitusi sebagai penentu kebijakan malah menjadikan kelebihannya itu untuk menari-nari di atas penderitaan rakyat.
Dalam tataran hukum positif, mungkin memang tidak ada aturan yang dilanggar oleh anggota legislatif dalam melakukan berbagai kegiatan yang menguras miliar uang rakyat. Apalagi mereka sendiri adalah para ahli hukum yang berhak mengeluarkan peraturan tertentu, bahkan juga mengakalinya. Tetapi persoalan fundamental yang harus dipahami, bahwa kekecewaan rakyat terhadap mereka bukanlah semata-mata karena pelanggaran aturan formal atau tidak. Akar masalahnya adalah pelanggaran sense of moral, dengan ketiadaan empati terhadap keinginan, kondisi, dan penderitaan rakyat.
Dunia politik dan aktornya seakan menjadi barang asing yang sarat dengan agitasi, kebohongan, anti-rakyat, serta berbagai perilaku destruktif lainnya. Mekanisme relasi yang mirip dengan rantai makanan ini tentu saja mengakibatkan adanya ketimpangan sosial antara orang parpol dan masyarakat biasa. Sebab, mereka yang diharapkan menjadi infrastruktur sebagai motor penggerak perubahan negara dalam lanskap idealisme, ternyata hanyalah asa yang sulit terwujudkan.
Tragisnya lagi, suara rakyat yang seringkali disetarakan dengan suara Tuhan ternyata juga diabaikan oleh politisi. Kebanyakan politisi yang mampu melenggang ke gedung legislatif, yang (mungkin) telah tujuan utama dalam berpolitik, seakan menjadi rahmat untuk dilayani, dihormati dan kesempatan mengeruk keuntungan materi. Mereka pun secara angkuh mempraktekkan sikap adigang adigung adiguna dan perlente, serta tidak mengenal rakyat yang telah memberikan mandat kepadanya.
Hidup Asketis
Padahal yang dimaui rakyat dari para wakilnya adalah sangat sederhana, yaitu sikap hidup yang tidak beringas terhadap lingkungannya. Sikap inilah yang dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah zuhud, yang biasanya juga diparalelkan dengan makna asketisme. Zuhud di sini tentu saja tidak harus diimplementasikan dengan meninggalkan kelezatan dunia dan menjauhi materi secara ekstrim, tetapi cukup sebagai hidup yang sederhana, bersahaja, tidak berlebihan, dan jauh dari sikap berfoya-foya.
Dalam tradisi Jawa, sikap hidup zuhud inilah yang biasanya diungkapkan dalam istilah sak madyo dan sak cukupe. Meski secara konstitusi diuntungkan dengan berbagai fasilitas untuk hidup glamour, mewah, dan berfoya-foya, tetapi mereka dituntut mempunyai kesadaran bahwa bangsa ini masih harus prihatin. Sikap ini cukup relevan dipraktikkan para wakil rakyat, mengingat banyaknya rakyat yang sudah terbiasa hidup secara zuhud, meski faktornya adalah paksaan kemiskinan.
Menurut Hajrianto Y. Tohari (2006), jika sikap ini banyak dilakukan para politisi-mampu (the have) secara numerikal dan proporsional, dipastikan akan berdampak pada pengurangan deskripansi sosial dan segregasi ekonomi yang terjadi. Selain itu, sikap ini juga akan meningkatkan rasa kebersamaan (sense of togetherness) sebagai bangsa yang masih harus senantiasa prihatin karena krisis berkepanjangan yang sepertinya belum ada tanda-tanda untuk berakhir.
Sebagai figur publik, anggota DPR/D seharusnya sadar bahwa tingkah laku mereka selalu menjadi sorotan publik luas. Sehingga dalam mengeluarkan segala kebijakan harus menggunakan banyak pertimbangan, bukan sekedar diperbolehkan oleh aturan yang positivistik atau tidak. Asas kemanfaatan, efektivitas, efisiensi, perasaan publik, kepercayaan konstituen, dan seterusnya, seharusnya dijadikan epistemologi dalam mengeluarkan kebijakan. Sebab citra DPR/D yang sudah demikian buruk akan sulit dikatrol jika penghuninya sendiri tidak mengubah perilakunya.
Sudah tentu anggota DPR/D dituntut kembali menelaah dan menghayati etika berdemokrasi, bahwa politik adalah panggilan untuk menyejahterakan rakyat. Kekuasaan hanyalah sarana untuk memperjuangkan keadilan, keberadaban, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat, bukan tujuan dan pemberhentian akhir. Bukan waktunya lagi kebodohan dan kemiskinan rakyat dimanipulasi, melainkan harus diperjuangkan secara konsisten menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Tetapi mungkinkah? Allah Alam bi al-Shawab
*) Peneliti di Institute for Religion and Social Studies (IRSS) Surabaya.
Politisi Indonesia saat ini sedang terjun bebas menuju titik nol, demikian dikatakan Ahmad Syafii Maarif pada 14 Februari 2007, dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Statemen mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini tampaknya memang mewakili penilaian buruk publik terhadap (kebanyakan) politisi kontemporer di negeri ini, terlebih lagi mereka yang duduk di lembaga legislatif. Idealisasi politisi sebagai sokoguru kristalisasi perjuangan kepentingan rakyat, ternyata kian hari kian jauh dari kenyataan.
Lebih tegas lagi, almarhum Riswandha Imawan (2004), pernah menyebut lembaga legislatif sebagai kumpulan serigala. Sebab, dalam kenyataannya bukan saja lawan politik saja yang harus diterkam, tetapi rakyat yang memilih pun dijadikan santapan. Sifat predatorian anggota DPR/D sebagai makhluk ekonomis justru lebih mengemuka dibandingkan dengan nuraninya sebagai wali amanat (trustee), utusan rakyat (delegate), maupun pelindung rakyat. Tatkala rakyat sedang menghadapi berbagai permasalahan sosial yang bertubi-tubi tanpa henti, mereka justru berlomba-lomba untuk memenuhi egonya.
Terdapat kesenjangan logika yang dipakai wakil rakyat dengan rakyat yang diwakili. Mereka tidak mampu melawan ganasnya virus political myopic (Qomaruddin Hidayat: 2004), sehingga kehilangan penglihatan dalam menatap visi jauh ke depan yang melampaui usianya. DPR/D yang diuntungkan oleh konstitusi sebagai penentu kebijakan malah menjadikan kelebihannya itu untuk menari-nari di atas penderitaan rakyat.
Dalam tataran hukum positif, mungkin memang tidak ada aturan yang dilanggar oleh anggota legislatif dalam melakukan berbagai kegiatan yang menguras miliar uang rakyat. Apalagi mereka sendiri adalah para ahli hukum yang berhak mengeluarkan peraturan tertentu, bahkan juga mengakalinya. Tetapi persoalan fundamental yang harus dipahami, bahwa kekecewaan rakyat terhadap mereka bukanlah semata-mata karena pelanggaran aturan formal atau tidak. Akar masalahnya adalah pelanggaran sense of moral, dengan ketiadaan empati terhadap keinginan, kondisi, dan penderitaan rakyat.
Dunia politik dan aktornya seakan menjadi barang asing yang sarat dengan agitasi, kebohongan, anti-rakyat, serta berbagai perilaku destruktif lainnya. Mekanisme relasi yang mirip dengan rantai makanan ini tentu saja mengakibatkan adanya ketimpangan sosial antara orang parpol dan masyarakat biasa. Sebab, mereka yang diharapkan menjadi infrastruktur sebagai motor penggerak perubahan negara dalam lanskap idealisme, ternyata hanyalah asa yang sulit terwujudkan.
Tragisnya lagi, suara rakyat yang seringkali disetarakan dengan suara Tuhan ternyata juga diabaikan oleh politisi. Kebanyakan politisi yang mampu melenggang ke gedung legislatif, yang (mungkin) telah tujuan utama dalam berpolitik, seakan menjadi rahmat untuk dilayani, dihormati dan kesempatan mengeruk keuntungan materi. Mereka pun secara angkuh mempraktekkan sikap adigang adigung adiguna dan perlente, serta tidak mengenal rakyat yang telah memberikan mandat kepadanya.
Hidup Asketis
Padahal yang dimaui rakyat dari para wakilnya adalah sangat sederhana, yaitu sikap hidup yang tidak beringas terhadap lingkungannya. Sikap inilah yang dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah zuhud, yang biasanya juga diparalelkan dengan makna asketisme. Zuhud di sini tentu saja tidak harus diimplementasikan dengan meninggalkan kelezatan dunia dan menjauhi materi secara ekstrim, tetapi cukup sebagai hidup yang sederhana, bersahaja, tidak berlebihan, dan jauh dari sikap berfoya-foya.
Dalam tradisi Jawa, sikap hidup zuhud inilah yang biasanya diungkapkan dalam istilah sak madyo dan sak cukupe. Meski secara konstitusi diuntungkan dengan berbagai fasilitas untuk hidup glamour, mewah, dan berfoya-foya, tetapi mereka dituntut mempunyai kesadaran bahwa bangsa ini masih harus prihatin. Sikap ini cukup relevan dipraktikkan para wakil rakyat, mengingat banyaknya rakyat yang sudah terbiasa hidup secara zuhud, meski faktornya adalah paksaan kemiskinan.
Menurut Hajrianto Y. Tohari (2006), jika sikap ini banyak dilakukan para politisi-mampu (the have) secara numerikal dan proporsional, dipastikan akan berdampak pada pengurangan deskripansi sosial dan segregasi ekonomi yang terjadi. Selain itu, sikap ini juga akan meningkatkan rasa kebersamaan (sense of togetherness) sebagai bangsa yang masih harus senantiasa prihatin karena krisis berkepanjangan yang sepertinya belum ada tanda-tanda untuk berakhir.
Sebagai figur publik, anggota DPR/D seharusnya sadar bahwa tingkah laku mereka selalu menjadi sorotan publik luas. Sehingga dalam mengeluarkan segala kebijakan harus menggunakan banyak pertimbangan, bukan sekedar diperbolehkan oleh aturan yang positivistik atau tidak. Asas kemanfaatan, efektivitas, efisiensi, perasaan publik, kepercayaan konstituen, dan seterusnya, seharusnya dijadikan epistemologi dalam mengeluarkan kebijakan. Sebab citra DPR/D yang sudah demikian buruk akan sulit dikatrol jika penghuninya sendiri tidak mengubah perilakunya.
Sudah tentu anggota DPR/D dituntut kembali menelaah dan menghayati etika berdemokrasi, bahwa politik adalah panggilan untuk menyejahterakan rakyat. Kekuasaan hanyalah sarana untuk memperjuangkan keadilan, keberadaban, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat, bukan tujuan dan pemberhentian akhir. Bukan waktunya lagi kebodohan dan kemiskinan rakyat dimanipulasi, melainkan harus diperjuangkan secara konsisten menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Tetapi mungkinkah? Allah Alam bi al-Shawab
*) Peneliti di Institute for Religion and Social Studies (IRSS) Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar