WACANA
OLEH: HIMAWAN KRISTIANTO*
SEMUA tentu tahu, bahwa menjadi wong cilik memang tidak pernah enak. Tertekan, tertindas, dan semua sebutan yang serba rendah. Namun, suka tidak suka, itulah personifikasi yang memang tengah kita rasakan sebagai Bangsa Indonesia. Kita hampir tidak pernah bisa melepas atribut ketidakberdayaan, ketika harus berhadapan dengan bangsa lain.
Hal paling lumrah yang bisa kita lakukan selama ini adalah tak lebih dari sekadar ”memendam emosi”. Ya, hanya sebatas itu. Kasus penganiayaan terhadap wasit karate Indonesia (Donald Pieter Luther Kolopita) oleh empat oknum polisi Diraja Malaysia belum lama ini, memang kembali menyentuh rasa emosional kita. Namun, terhadap bangsa lain, lagi-lagi, kita hanya bisa memendam emosi itu.
Penganiayaan terhadap wasit Donald Kolopita, secara gamblang menggambarkan betapa negeri serumpun itu memang tak pernah memandang Indonesia sebagai ”saudara tua”. Kasus ini semakin menambahkan panjang daftar ”keangkuhan” Malaysia terhadap kita. Reaksi keras bangsa Indonesia mulai dari pejabat negara dan kalangan politisi hingga rakyat kecil, berupa kecaman dan hujatan terhadap Malaysia atas kasus itu pun bermunculan, bak jamur di musim penghujan. Kalangan di parlemen juga mendesak agar pemerintah meninjau kembali hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Ironisnya, sejauh ini, pemerintah Malaysia merasa tidak berada di posisi yang salah sehingga tidak perlu harus meminta maaf atas kasus Donald. Buktinya, ketika pejabat penting di Malaysia menemui petinggi Indonesia (juga ketika PM Malaysia menelepon Presiden SBY), pihak pemerintah Malaysia ternyata hanya menyatakan rasa penyesalan yang mendalam (deeply regret) atas kasus tersebut, dan bukannya kata ”maaf” sebagai bentuk permintaan maaf (apologize).
Sepertinya, di mata pejabat Malaysia, kasus Donald bukanlah sesuatu yang besar. Itu bisa kita lihat bagaimana kasus Donald yang diikuti berbagai reaksi keras masyarakat Indonesia, sama sekali tidak mendapat porsi di berbagai media massa di Malaysia. Pihak parlemen Malaysia juga tak menjadikan kasus Donald itu sebagai prioritas pembahasan. Artinya apa? Bahwa, yang dilakukan polisi Malaysia terhadap setiap Warga Indonesia adalah sebuah ”kewajaran”. Mereka tetap beranggapan, justru warga Indonesialah yang selalu ”membuat masalah”, bahkan ”menuduh” media massa Indonesia selalu menjadi provokator yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia kian memanas dan menjadi retak.
Dari kasus Donald, permintaan maaf Malaysia sebenarnya adalah hal yang wajar dalam hubungan diplomatik. Bagaimana pun, kasus Donald adalah ”kejadian luar biasa”, hingga mengharuskan Malaysia untuk melakukan langkah diplomatik yang luar biasa pula. Minimal, kepolisian di negara itu sejak awal meminta maaf kepada keluarga Donald dan bangsa Indonesia.
Seandainya sikap itu yang diambil Malaysia, kita yakin ketegangan, ribut-ribut demo “ganyang Malaysia”, ancaman boikot produk, bahkan ancaman “penyisiran” terhadap warga Malaysia yang tinggal di Indonesia tentu tidak akan menyeruak ke permukaan. Pasalnya, sebagai negara yang beradab, Indonesia tentu tak ingin kesabaran yang dimilikinya berubah menjadi kebencian terhadap saudara serumpun di sana.
Terlepas dari itu, jika mengukur takaran emosi, sejatinya, emosi rakyat di negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini terhadap negara Malaysia, sudah sampai ubun-ubun. Betapa tidak. Dapat kita lihat berbagai fakta yang menunjukkan betapa angkuh dan sewenang-wenangnya perilaku pemerintah Malaysia (berikut warganya) tehadap warga negara Indonesia.
Sudah sejak lama negeri jiran itu dengan seenaknya “mengobok-obok” wilayah terorial kita, entah dalam bentuk “penggasakan” terhadap wilayah pulau terluar Indonesia (misal; kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan serta kasus Pulau Ambalat), pengoperasian kapal nelayan dan patroli laut hingga memasuki wilayah perairan Indonesia, serta “dengan sengaja” membuat patok perbatasan darat yang ”mencaplok” wilayah Indonesia (di beberapa daerah di pulau Kalimantan).
Belum lagi sikap bengis majikan di sana terhadap para TKI. Data Migrant Care menyebutkaan, selama Januari hingga Agustus 2007 tercatat sedikitnya 43 kasus penganiayaan terhadap TKI yang dilakukan oleh para majikan warga negara Malaysia. Kasus terakhir yang paling menggemparkan publik baik Indonesia, Malaysia, bahkan dunia internasional adalah kasus penganiayaan TKI yang amat tak berperikemanusiaan yang menimpa Ceriyati dan Parsiti.
Celakanya, setiap perlakukan Malaysia terhadap kita, hampir tidak pernah terselesaikan secara tuntas oleh pemerintah di Jakarta. Kita selalu melihat, bahwa para pengambil kebijakan di Jakarta tidak pernah mau dan mampu untuk “berbicara keras” kepada Malaysia. Yang paling aneh dan tak masuk akal terkait kasus pemukulan wasit Donald, justru Wapres Jusuf Kalla yang malah terbang ke Kuala Lumpur untuk membicarakan kasus Donald tersebut.
Jika dilihat dari tataran diplomasi internasional, amat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Wapres Jusuf Kalla menunjukkan betapa kita, negara Indonesia, memosisikan diri sebagai pihak yang “kalah”. Sungguh ironis! Jika demikian yang terus menerus terjadi, maka takkan terelakkan lagi, jika negara-negara dunia internasional kemudian juga memiliki pandangan yang “miring” terhadap Indonesia, yakni bahwa Indonesia adalah negara yang memang “mau mengalah” dan “mudah dikalahkan”, dalam berbagai segi dan bidang kehidupan tentunya.
Terkait dengan berbagai bentuk pelecehan dan tindakan yang notabene “merendahkan” martabat warga bangsa dan negara Indonesia ini, ada beberapa pertanyaan yang patut dijadikan bahan renungan. Akankah bangsa ini selalu merasa inferior dengan dirinya sediri? Akankah bangsa ini selalu saja mengalah serta membiarkan warga bangsanya selalu dilecehkan, menjadi “bulan-bulanan” serta dalam kondisi yang tak berdaya jika menghadapi tekanan bangsa lain?
Semuanya kembali kepada bangsa Indonesia sendiri. Jika bangsa ini memang masih menginginkan eksistensinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdulat, dan bermartabat tetap diakui di mata dunia internasional, maka, tindakan tegas—sebagai bentuk “pembelaan terhadap hak dasar sebuah negara”—menjadi sebuah keniscayaan yang mau tak mau harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Jika tidak, maka relakanlah ketakberdayaan demi ketakberdayaan selalu mengakrabi negeri ini. Itu saja!
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta
OLEH: HIMAWAN KRISTIANTO*
SEMUA tentu tahu, bahwa menjadi wong cilik memang tidak pernah enak. Tertekan, tertindas, dan semua sebutan yang serba rendah. Namun, suka tidak suka, itulah personifikasi yang memang tengah kita rasakan sebagai Bangsa Indonesia. Kita hampir tidak pernah bisa melepas atribut ketidakberdayaan, ketika harus berhadapan dengan bangsa lain.
Hal paling lumrah yang bisa kita lakukan selama ini adalah tak lebih dari sekadar ”memendam emosi”. Ya, hanya sebatas itu. Kasus penganiayaan terhadap wasit karate Indonesia (Donald Pieter Luther Kolopita) oleh empat oknum polisi Diraja Malaysia belum lama ini, memang kembali menyentuh rasa emosional kita. Namun, terhadap bangsa lain, lagi-lagi, kita hanya bisa memendam emosi itu.
Penganiayaan terhadap wasit Donald Kolopita, secara gamblang menggambarkan betapa negeri serumpun itu memang tak pernah memandang Indonesia sebagai ”saudara tua”. Kasus ini semakin menambahkan panjang daftar ”keangkuhan” Malaysia terhadap kita. Reaksi keras bangsa Indonesia mulai dari pejabat negara dan kalangan politisi hingga rakyat kecil, berupa kecaman dan hujatan terhadap Malaysia atas kasus itu pun bermunculan, bak jamur di musim penghujan. Kalangan di parlemen juga mendesak agar pemerintah meninjau kembali hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Ironisnya, sejauh ini, pemerintah Malaysia merasa tidak berada di posisi yang salah sehingga tidak perlu harus meminta maaf atas kasus Donald. Buktinya, ketika pejabat penting di Malaysia menemui petinggi Indonesia (juga ketika PM Malaysia menelepon Presiden SBY), pihak pemerintah Malaysia ternyata hanya menyatakan rasa penyesalan yang mendalam (deeply regret) atas kasus tersebut, dan bukannya kata ”maaf” sebagai bentuk permintaan maaf (apologize).
Sepertinya, di mata pejabat Malaysia, kasus Donald bukanlah sesuatu yang besar. Itu bisa kita lihat bagaimana kasus Donald yang diikuti berbagai reaksi keras masyarakat Indonesia, sama sekali tidak mendapat porsi di berbagai media massa di Malaysia. Pihak parlemen Malaysia juga tak menjadikan kasus Donald itu sebagai prioritas pembahasan. Artinya apa? Bahwa, yang dilakukan polisi Malaysia terhadap setiap Warga Indonesia adalah sebuah ”kewajaran”. Mereka tetap beranggapan, justru warga Indonesialah yang selalu ”membuat masalah”, bahkan ”menuduh” media massa Indonesia selalu menjadi provokator yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia kian memanas dan menjadi retak.
Dari kasus Donald, permintaan maaf Malaysia sebenarnya adalah hal yang wajar dalam hubungan diplomatik. Bagaimana pun, kasus Donald adalah ”kejadian luar biasa”, hingga mengharuskan Malaysia untuk melakukan langkah diplomatik yang luar biasa pula. Minimal, kepolisian di negara itu sejak awal meminta maaf kepada keluarga Donald dan bangsa Indonesia.
Seandainya sikap itu yang diambil Malaysia, kita yakin ketegangan, ribut-ribut demo “ganyang Malaysia”, ancaman boikot produk, bahkan ancaman “penyisiran” terhadap warga Malaysia yang tinggal di Indonesia tentu tidak akan menyeruak ke permukaan. Pasalnya, sebagai negara yang beradab, Indonesia tentu tak ingin kesabaran yang dimilikinya berubah menjadi kebencian terhadap saudara serumpun di sana.
Terlepas dari itu, jika mengukur takaran emosi, sejatinya, emosi rakyat di negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini terhadap negara Malaysia, sudah sampai ubun-ubun. Betapa tidak. Dapat kita lihat berbagai fakta yang menunjukkan betapa angkuh dan sewenang-wenangnya perilaku pemerintah Malaysia (berikut warganya) tehadap warga negara Indonesia.
Sudah sejak lama negeri jiran itu dengan seenaknya “mengobok-obok” wilayah terorial kita, entah dalam bentuk “penggasakan” terhadap wilayah pulau terluar Indonesia (misal; kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan serta kasus Pulau Ambalat), pengoperasian kapal nelayan dan patroli laut hingga memasuki wilayah perairan Indonesia, serta “dengan sengaja” membuat patok perbatasan darat yang ”mencaplok” wilayah Indonesia (di beberapa daerah di pulau Kalimantan).
Belum lagi sikap bengis majikan di sana terhadap para TKI. Data Migrant Care menyebutkaan, selama Januari hingga Agustus 2007 tercatat sedikitnya 43 kasus penganiayaan terhadap TKI yang dilakukan oleh para majikan warga negara Malaysia. Kasus terakhir yang paling menggemparkan publik baik Indonesia, Malaysia, bahkan dunia internasional adalah kasus penganiayaan TKI yang amat tak berperikemanusiaan yang menimpa Ceriyati dan Parsiti.
Celakanya, setiap perlakukan Malaysia terhadap kita, hampir tidak pernah terselesaikan secara tuntas oleh pemerintah di Jakarta. Kita selalu melihat, bahwa para pengambil kebijakan di Jakarta tidak pernah mau dan mampu untuk “berbicara keras” kepada Malaysia. Yang paling aneh dan tak masuk akal terkait kasus pemukulan wasit Donald, justru Wapres Jusuf Kalla yang malah terbang ke Kuala Lumpur untuk membicarakan kasus Donald tersebut.
Jika dilihat dari tataran diplomasi internasional, amat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Wapres Jusuf Kalla menunjukkan betapa kita, negara Indonesia, memosisikan diri sebagai pihak yang “kalah”. Sungguh ironis! Jika demikian yang terus menerus terjadi, maka takkan terelakkan lagi, jika negara-negara dunia internasional kemudian juga memiliki pandangan yang “miring” terhadap Indonesia, yakni bahwa Indonesia adalah negara yang memang “mau mengalah” dan “mudah dikalahkan”, dalam berbagai segi dan bidang kehidupan tentunya.
Terkait dengan berbagai bentuk pelecehan dan tindakan yang notabene “merendahkan” martabat warga bangsa dan negara Indonesia ini, ada beberapa pertanyaan yang patut dijadikan bahan renungan. Akankah bangsa ini selalu merasa inferior dengan dirinya sediri? Akankah bangsa ini selalu saja mengalah serta membiarkan warga bangsanya selalu dilecehkan, menjadi “bulan-bulanan” serta dalam kondisi yang tak berdaya jika menghadapi tekanan bangsa lain?
Semuanya kembali kepada bangsa Indonesia sendiri. Jika bangsa ini memang masih menginginkan eksistensinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdulat, dan bermartabat tetap diakui di mata dunia internasional, maka, tindakan tegas—sebagai bentuk “pembelaan terhadap hak dasar sebuah negara”—menjadi sebuah keniscayaan yang mau tak mau harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Jika tidak, maka relakanlah ketakberdayaan demi ketakberdayaan selalu mengakrabi negeri ini. Itu saja!
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar