Senin

Kekerasan Sebuah Penyakit Menular

SOROT
Oleh: Kusen Suseno*
Rusaknya persaudaraan di Indonesia kini semakin parah. Tidak sedikit ibu yang mau menjual anak kandungnya sendiri, sebagian lagi tega membunuh anak-anaknya, dan suami membunuh istrinya. Semua dilakukan dengan beragam alasan. Sesama pelajar dan mahasiswa mahasiswa saling baku hantam. Senior menganiaya yunior seperti terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Sumedang.
Filsuf Rene Girard menyatakan bahwa manusia adalah anak keturunan Adam yang tidak bisa menghindar dari kekerasan. Kenyataan dasariah itu diyakinkan oleh Girard dengan memberi contoh kisah-kisah agama terkait kekerasan dan rasa takut. Dan Sigmund Freud menegaskan manusia adalah makhluk rendah yang dipenuhi dengan kekerasan, kebencian dan agresi.
Agresi ini butuh penyaluran. Seseorang tak bisa menghajar udara kosong untuk menyalurkan hasrat kekerasannya. Bisa jadi seorang atasan yang penuh kesabaran saat di kantor ternyata mempraktikkan kekerasan di dalam rumah tangga. Anak, istri atau pembantu acapkali dijadikan penyaluran kekerasannya. Dalam skala terkecil, keluarga memang menjadi pilihan terdekat untuk menyalurkan kekerasan.
Dari keluarga pula banalisasi kekerasan dimulai. Seorang anak melihat kekerasan ayahnya terhadap pembantu atau istri, maka dalam benak si anak kekerasan itu adalah hal yang biasa. Dari keluarga berkembang ke masyarakat. Kita tak perlu heran jika akhirnya kekerasan itu menjadi biasa (banalisasi kekerasan).
Atas dasar ini Girard menyebutkan kekerasan itu bagaikan penyakit menular. Setiap orang yang terlibat dalam kekerasan ingin melampiaskan kekerasan kepada orang lain. Si anak yang terlibat kekerasan dalam keluarga ingin melampiaskan kekerasan kepada orang lain, apakah masih dalam satu keluarga atau di luar keluarganya. Begitu seterusnya, dan kekerasan itu melingkar-lingkar. Dan orang lain yang terkena, berarti telah menyimpan benih kekerasan itu.
Barangkali yang mengejutkan adalah penelitian sejumlah antropolog bahwa benih kekerasan itu justru tumbuh subur pada lingkungan religius. Ini telah terbukti, negeri kita yang konon dikenal amat religius, tak urung banyak terjadi tindak kekerasan. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan negara.
Semangat Ahimsa
Pemimpin politik dan spiritual legendaris bangsa India Mahatma Gandhi mengatakan, tanpa membeda-bedakan kebangsaan, suku, kewarganegaraan maupun agama, semua manusia adalah bersaudara. Jika solidaritas persaudaraan semacam ini dapat dibangun, maka tidak sukar untuk menciptakan perdamaian di muka bumi ini.
Semangat ahimsa yang digagas Gandhi berarti hidup tanpa kekerasan. Sikap hidup ini merupakan kewajiban tertinggi umat manusia karena tidak hanya terkait tanggung jawab sosial pribadi, tetapi juga tindakan terhadap semua makhluk. Bhagavad Gita VI.32 menyatakan bahwa yogi yang sempurna selalu mengidentifikasikan diri dengan semuanya serta mengidentifikasikan kesenangan dan penderitaannya sendiri dengan kesenangan dan penderitaan semua makhluk.
Tanpa kekerasan berarti menghilangkan faktor penyebab tindakan pemaksaan dan anarkis terhadap siapa pun, baik dengan pemikiran, kata-kata atau perbuatan. Dalam kehidupan ini, tiap orang harus bisa mendasarkan segala sesuatunya dengan pembedaan (viveka). Hal ini penting karena manusia sendirilah yang bertanggung jawab bagi kebaikan atau kejahatan yang terjadi. Untuk melakukannya bisa dengan mempedomani tiga P yaitu: purity (kemurnian), patience (kesabaran), dan perseverance (ketekunan).
Dari tiga P itu, sifat yang terpenting adalah kemurnian (purity). Pada zaman ini segala sesuatu telah tercemar, baik itu air, udara, maupun lingkungan. Akibatnya, pikiran manusia juga tercemar. Kemurnian dapat dicapai dengan mengisi pikiran dengan selalu mengingat-ingat serta membaktikan diri pada Tuhan. Bersamaan dengan itu cinta kasih terus dipupuk dalam hati. Cinta kasih akan mengusir seluruh pikiran buruk dan jahat dalam diri serta akan mendorong semangat untuk memaafkan.
Untuk menghindari kecenderungan tindak anarkis yang merugikan orang atau kelompok lain, Bhagavan Krishna pada zaman Dwapara mengharuskan pada setiap orang untuk menghapus pikiran buruk dan selalu menumbuhkan pikiran damai. Jika niat buruk untuk mencelakakan orang lain muncul dalam pikiran, selalu periksa apakah itu benar atau salah. Begitupun jika hendak membuat suatu pernyataan terbuka atau umum, mesti diperiksa dulu apakah benar atau keliru.
*) Alumnus Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, tinggal di Depok.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung