Senin

Lailatul Qadar Dan Tradisi Lokal Madura

SOROT
Oleh: Syarif Hidayat Santoso*

Bagi umat Islam, lailatul qadar merupakan hari-hari spesial dalam menapaki religiositas Ramadhan selama sebulan penuh. Dalam ruang kebudayaan tradisional, lailatul qadarpun memiliki sekian karakteristik memikat, di mana sebagian muslim yang masih membasiskan diri pada tradisi menyelenggarakan berbagai upacara guna menyambutnya. Di sini, sebagai entitas religius, lailatul qadar kerap menghadirkan sesuatu yang hampir tak terbaca dalam narasi keislaman kontemporer.
Jauh sebelum Ramadhan, tradisi yang bertendensi lokalitas sendiri sudah dihidupkan oleh masyarakat Madura. Komunitas muslim di Madura menyelenggarakan acara Sya’banan, 15 hari menjelang Ramadhan. Pada malam itu, kaum muslim Madura saling bertamu untuk meminta maaf (asapora) setelah sebelumnya melaksanakan Yasinan di langgar-langgar. terkadang slametan Asya’ban juga dilaksanakan pada malam ini, setelah sebelumnya melaksanakan Slametan Arasol pada bulan Rabiul Akhir dan Slametan Rajab. Saat Ramadhan, diselenggarakan pula Slametan Amal Iman dan Slametan Malem Lekoran, mencapai puncaknya pada Slametan Tellasan Agung (Idul Fitri) dan Slametan Tellasan Ajji (Idul Adha). Tradisi periodik ini unik karena mengintegrasikan aspek kultural, ritual dan sosial sekaligus.
Guna memperingati lailatul qadar, sebagian desa-desa di dataran tinggi Madura ikut memeriahkannya dengan tradisi yang subtil. 10 hari terakhir bulan Ramadhan diramaikan dengan kemeriahan tradisi untuk menghormati malam-malam ganjil yang dipercayai sebagai keberkatan turunnya Lailatul Qadar. Maleman pettolekor (malam duapuluh tujuh) menjadi ajang pengikat kekerabatan antar masyarakat. Keluarga-keluarga pedesaan berkumpul dan makan bersama untuk nylameti malam tersebut. Hampir di setiap rumah kyai, masyarakat berkumpul dan mengikatkan diri dengan tradisi ini.
Tak jauh beda, sebagian masyarakat Jawapun juga menyelenggarakan ritual tersendiri dalam menyongsong bulan ini. Kita mengenal tradisi kungkum, Dugderan Yogyakarta serta tradisi Dandangan pada sebagian masyarakat Pantura Jawa Tengah. Tradisi-tradisi ini unik karena tidak saja memiliki relasi dengan ritual agama tapi juga dengan pendelegasian tradisi lampau di masa kini, suatu dimensi kultural, bahkan juga dengan dimensi sosial masyarakat.
Slametan pada masyarakat Madura misalnya jelas menunjukkan eratnya soliditas kemasyarakatan. Sebab, hidangan slametan disedekahkan kepada kerabat dan tetangga sekitar, diselenggarakan secara bergilir di antara rumah warga. Forum semacam ini melahirkan kontinyuitas solidaritas sampai pasca Ramadhan karena terbacanya keluh kesah setiap warga masyarakat oleh komunitas saat berkumpul.
Ironisnya, sebagian tradisi ini mulai dilupakan terutama oleh masyarakat muslim. Masyarakat modern lebih terlena untuk menyambut religiotainment serta pentas glamor yang melatari Ramadhan. Budaya konsumtif merebak, menyelusup dan mulai menghijrahkan subtansi Ramadhan yang krusial dengan pemihakan terhadap kaum lemah. Orangpun berlomba-lomba menyuguhkan yang terbaik saat berbuka, memperbanyak tadarus Alquran, tanpa disadari justru meninggalkan tadarus terhadap lingkungan sosial.
Sisi lain, arus modernisasi plus kecanggihan teknologi, menyengat masyarakat untuk lebih memelototi media daripada mendayakan nalar pikir ekologis yang menyertakan lingkungan sekitar sebagai instrumen integratif yang membelit diri personal.
Di atas kemapanan glamoritas dan subversi media, tradisi yang ikut membingkai Ramadhan dinikmati meski secara parsial oleh komunitas pendukungnya. Arus budaya seperti inilah yang semestinya dikreasikan dalam membendung infiltrasi tak ramah terhadap kesucian Ramadhan.
Selama ini, komunitas muslim membuka gapura dialogisnya dengan Ramadhan semata-mata berdasar referensi norma, dogma dan ritual Ramadhan. Nilai-nilai untuk menghargai kemiskinan hanya sebatas layar terpapar pada etika kesalehan untuk ikut “merasakan” kedhu’afaan, sementara pemiskinan terhadap tradisi yang memiliki akses langsung dengan realitas tetap berlanjut. Kalangan muslim puritan bahkan tak tertarik sama sekali dengan tradisi ini.
Menurut saya, tradisi maleman pettolekor ala etnis Madura di sekitar Ramadhan merupakan pondasi yang menyentuh langsung aspek kemanusiaan Ramadhan. Tradisi ini boleh dipandang sebagai semangat kreatif interpretasi agama dalam biosfer lokal. Tradisi Ramadhan sebenarnya pengejewantahan norma agama universal, agar dapat dimengerti dalam bahasa domestik. Forum Malem Lekoran Madura adalah kreatifitas menghadirkan Lailatul Qadar yang “serba Gaib” beralih rupa dalam ruang kenyataan, menerjemahkannya langsung pada realitas kemanusiaan. Malem Lekoran menyemangati masyarakat untuk saling bersedekah, berkumpul dan berkisah tentang kesulitan masing-masing menjelang Lebaran, untuk kemudian dicari solusi bersama. Kebersamaan ini demikian menyejukkan di tengah tendensi religiositas yang makin melangit. Sejujurnya, tradisi ini mengkritik halus keberagamaan kita yang sarat upaya mengejar pahala individu, tanpa transformasi total terhadap historisitas masyarakat. Bukankah sebagian besar kita lebih terdidik untuk menjadi konsumen “pahala pribadi” daripada produsen kebajikan sosial?
*) Pembina Kajian Agama dan Kebudayaan PMII FISIP UNEJ, tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung