Selasa

Memacu Potensi Wanita Dalam Kancah Politik

WACANA
Oleh: Dinda Dewi Warsana*
Kaum wanita memiliki peran yang esensial dan potensial dalam pembangunan berkelanjutan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa eksistensi kaum wanita. Tanpa kaum wanita tidak akan tercapai proses transfer pengetahuan dan pembelajaran kebudayaan melalui pendidikan kepada generasi mendatang.
Pernyataan Megawati di atas disampaikan saat menjadi pembicara di Federation of Asia-Pasific Women’s Association di Tokyo, Jepang, Rabu (4/4-2007). Megawati yang pernah menjabat sebagai Presiden RI itu merupakan salah satu bukti konkret dan paling menonjol tentang potensi kaum wanita dalam kancah politik pada proses pembangunan berkelanjutan.
Masih ada anggapan dalam masyarakat kita bahwa dunia ini milik lelaki, bahkan politik itu juga milik lelaki. Ketika ada wanita sukses dan kariernya melambung - termasuk di bidang politik - kerap kali dikatakan "kesuksesan itu diraih berkat lelaki pula.” Sebut saja, keberhasilan Corazon Conjuangco Aquino duduk sebagai Presiden Filipina. Orang yang sinis akan mengatakan, "Coba kalau dia bukan istri Benigno Aquino, bagaimana mungkin wanita itu menjadi presiden."
Contoh lain yang dikaitkan kaum lelaki adalah Benazir Bhutto. Orang yang berkeberatan mengakui kehebatan wanita Pakistan itu akan mudah mengatakan, "Ah, dia melambung karier politiknya karena karisma mendiang Perdana Menteri Pakistan, Ali Bhutto”. Wanita lain yang sukses di panggung politik dan dianggap mendapat “warisan pengaruh” suami atau ayahnya adalah dua wanita dari Banglades: Begum Khaleza Zia dan Sheik Hasina Wajed.
Padahal, tidak semua wanita sukses dalam karier politiknya lantaran mendapat warisan pengaruh, karisma, restu dari ayah atau suaminya. Margaret Hilda Thatcher, misalnya. Ayah dari mantan perdana menteri Inggris (1979-1991) ini bukanlah seorang politisi. Dia - Alfred Roberts - hanya seorang pemilik toko kelontong.
Walau demikian, wanita lulusan Universitas Oxford itu, mampu malang-melintang bukan hanya di panggung politik Inggris melainkan dunia. Thatcher yang mendapat julukan "Wanita Besi" ini dan menjadi wanita perdana menteri pertama Inggris (3 Mei 1979) tercatat sebagai perdana menteri terlama di Inggris di abad XX ini. Winston Churchill, misalnya, hanya delapan tahun 238 hari (1940-1945; dan 1951-1955).
Memacu peran politik
Menyoal perbedaan kaum wanita secara patriarkis masih cukup relevan selama belum terjadi revolusi kultural yang memerdekakan kaum wanita dari segi jenderitas. Meski demikian, perbedaan laki dan wanita kini sudah banyak yang tereliminasi oleh peran substitutif dan komplementer. Tetapi kesinambungan dan kontinuitas gerakan politik wanita masih lemah. Akibatnya, perjuangan mereka akan mudah patah dan akhirnya mati.
Di sini kaum wanita memang gagal mengikatkan tali komitmen yang kuat di antara pegiat gerakan politik wanita. Dibutuhkan kehalusan wanita dalam berpolitik sehingga bisa memberi nuansa baru baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun pengimplementasian kebijakan publik tersebut. Sebab selama ini proses pembuatan kebijakan publik dan produk politik yang dibuat masih didominasi sifat maskulinitas. Akibatnya kepentingan kaum wanita banyak yang belum tersentuh.
Peran politik wanita yang perlu dimatangkan dalam struktur politik formal adalah sebagai berikut. Pertama, menciptakan kemandirian politik dalam proses pengambilan keputusan politik. Kemandirian politik wanita hingga kini masih menjadi barang langka. Kita ingin wanita berpolitik dengan menggunakan prinsip yang teguh tanpa bayang-bayang kaum laki-laki, bahkan parpolnya. Emansipasi di bidang politik dalam waktu singkat bisa terwujud.
Kedua, politisi wanita harus menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga pengkajian masalah wanita dan para pegiat aktivitas wanita. Hasil riset dan pengkajian lembaga-lembaga kewanitaan bermanfaat dalam pengambilan keputusan. Hal ini penting, sebab selama ini banyak kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran sebagai akibat dari kesalahan input-nya sendiri.
Ketiga, dalam menjalankan peran politik formalnya, politisi wanita harus menjaga kesetaraannya dengan laki-laki. Kesempatan berpolitik formal bagi wanita merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang wajar. Sebab kelangsungan hidup politik bangsa ini pun juga membutuhkan sentuhan wanita baik sebagai subjek maupun objek.
Belajar dari negara lain
Menurut konstitusi di Afghanistan, kursi di parlemen yang tersedia bagi wanita di sana, setidaknya harus dua kali dari jumlah provinsi di Afghanistan. Jadi setidaknya ada 68 kursi bagi keterwakilan wanita yang dijamin oleh konstitusi Afghanistan. Contohnya di daerah pemilihan ibu kota Kabul, mereka memiliki 9 kursi untuk wanita dari 33 kursi. Sementara untuk daerah pemilihan yang lebih kecil, harus tidak kurang dari dua kursi untuk wanita.
Menurut Ceylanoglu, seorang pengamat internasional dari Komisi Keamanan Uni Eropa yang mengikuti proses Pemilu demokratis pertama di Afghanistan, Oktober 2005, hanya kaum wanita yang tidak terlibat dengan kejahatan masa lalu. Pasalnya, Afghanistan belum memiliki partai politik, sehingga calon anggota parlemen berasal dari kandidat perorangan. Tidak sedikit dari para kandidat itu adalah mantan gerilyawan perang, sehingga tak mengherankan bila wanita lebih mendapat tempat di hati para pemilih. Tidak saja di parlemen, wanita Afghan kini menduduki sepertiga dari porsi pengambilan keputusan politik.
Bukan hanya Afghanistan yang mencengangkan dunia terkait hasil Pemilu demokratis pertamanya. Ternyata keterwakilan wanita terbesar sedunia justru ada di Afrika yaitu Rwanda. Rwanda memiliki sistem dua kamar. Majelis Nasional terdiri atas Chamber of Deputy dan Senat. Misal pada Pemilu 2003, dari 80 kursi Chamber of Deputy saja, 24 kursi didedikasikan bagi keterwakilan wanita dari provinsi, dua dari pemuda, dan satu dari Federasi Asosiasi Penyandang Cacat plus 53 kursi lagi diperebutkan dalam Pemilu.
*) Alumnus Ateneo de Manila University, Philippines, tinggal di Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung