Senin

Mengkritisi Kekerasan Guru

SOROT
OLEH: Trin Utami Mahera*

Ternyata, tidak hanya dalam keluarga dan negara saja yang penuh dengan nuansa kekerasan. Di sektor pendidikan (baca: sekolah) pun tak dipungkiri juga penuh dengan kekerasan. Dan ironisnya justru tindak kekerasan itu dilakukan oleh guru yang notabene sebagai suri tauladan. Padahal, kekerasan guru terhadap siswa ini tidaklah bersendikan nilai edukatif. Bahkan, kekekerasan guru itu pun bisa dianggap telah menodai sistem pendidikan dan menginjak-injak hak asasi manusia (HAM).
***
Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UUD 1945 adalah membentuk manusia yang utuh atau manusia yang paripurna. Salah satu ciri manusia paripurna atau utuh itu adalah memiliki kepribadian yang tidak cenderung mengedepankan tindakan yang emosional serta destruktif.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan (formal) sudah seharusnya mewujudkan tujuan nasional itu. Untuk mewujudkannya, sekolah membutuhkan peran para gurunya. Sebab, guru merupakan faktor dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya. Oleh sebab itu, guru seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh.
Kemampuan guru yang dibutuhkan dalam sekolah itu menurut Pullias dan Young (1968) tidak hanya kemampuan pedagogis saja yakni menguasai mata pelajaran tertentu dan cara memanage kelas dengan baik. Tetapi juga kemampuan menguasai andragogis dalam arti mempunyai kemampuan dalam hal ilmu psikologi, psikiatri dan sosiologi.
Bagi siswa, sosok guru yang diharapkan dalam sekolah adalah orang yang mampu membawa kemaslahatan terhadap sesama dan mampu berperan sebagai sahabat, kakak, bapak-ibu yang penuh kasih sayang sehingga betul-betul dapat membantu perkembangan pribadinya secara utuh.
Selain itu, guru juga diharapkan dapat menjalankan kewajibannya yang telah tertuang dalam sispendiknas 2003, Bab XI tentang Pendidik Dan Tenaga Kependidikan, pasal 40 ayat 2 yang menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban; a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Namun pada realitasnya, kebanyakan guru dalam sekolah belum sepenuhnya mampu memenuhi harapan seperti yang tertuang dalam aturan di atas. Artinya, dalam banyak hal guru tidak mampu menjadi seorang pengayom, melainkan cenderung menjadi penghukum (punisher). Adanya kekerasan terhadap siswanya dalam sekolah merupakan salah satu indikatornya.
Kekerasan guru justru itu kerap terjadi di tiap tahunnya. Ambil contoh, di SMK Bina Patria 2 Sukoharjo, beberapa waktu lalu ada salah satu siswa kelas 1 (Alex Besuki) dipukul kepalanya dengan sebatang kayu oleh guru olah raganya. Gara-garanya si Alex tak mampu menuntaskan lari keliling lapangan penuh. Akibatnya, Alex meninggal dunia. (KR, 12/4/2003).
Selanjutnya di SMUN 1 Ciamis, ada salah seorang guru menempeleng seorang siswa kelas III IPS 3, bernama Aji. Tindakan guru tersebut kemudian mendapat kecaman keras dari struktural PGRI, Depdiknas dan DPRD setempat. (Pikiran Rakyat, 24/8/2004). Yang sangat menyedihkan, ada seorang siswa SMPN 32 dianiaya 8 gurunya, hingga sang siswa mengalami luka. (Nyata, 2/5/2005). Bahkan, akhir-akhir ini, setiap hari berita televisi kita mengungkap terjadinya kekerasan guru terhadap siswanya di hampir seluruh tanah air, baik di Bandung (kasus kematian Eri misalnya), Makassar, Jakarta, Madura, Lampung, Jogjakarta, dll.
Hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (2006) menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Kajian tersebut menunjukkan bahwa masih ada saja pandangan yang menganggap kekerasan adalah bagian dari pendidikan.
***
Perlu dipahami bersama, bahwa tindak kekerasan guru terhadap siswanya dengan alasan untuk pendisiplinan atau penghukuman itu tidak pernah berbuah baik. Siswa yang dikenai tindak kekerasan tersebut jiwanya menjadi tertetekan, depresi, kerdil dan mudah emosional. Juga hukuman dengan kekerasan tidak akan membuat siswa jera, tapi menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan.
Selain itu, tindak kekerasan guru terhadap muridnya itu bertentangan dengan UU HAM No 39/1999 Bab III, HAM Dan Kebebasan Manusia, pasal 66 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Sedangkan, dalam pasal 11 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Jika ternyata tindak kekerasan itu dilakukan oleh guru apa pun bentuknya dan apa pun alasannya jelas menyalahi UU yang ada. Karenanya, guru dapat dikenai hukuman minimal 3,5 tahun (lihat UU tentang perlidungan anak no. 80/2002).
Siswa itu adalah generasi penerus bangsa. Apabila siswa ini kerap menjadi korban kekerasan guru sekolahnya, maka mereka akan mempunyai watak yang mengedepankan kekerasan pula dalam kehidupannya. Hal ini sangat mungkin akan berpengaruh terhadap bangsa. Bangsa kita akan menjadi bangsa yang mengamini budaya kekerasan dikemudian hari. Tentu, kita semua tak menginginkan hal ini terjadi bukan?
Akhirnya, sudah saatnya kekerasan guru terhadap siswa dalam sekolah harus dihentikan sekarang juga. Karena, kekerasan itu inkonstitusional, menyalahi aturan yang ada. Sapaan dan teguran halus yang lebih menohok kesadaran siswa, mungkin dapat menjadi hukuman yang manusiawi dalam sekolah. Jika kekerasan guru terhadap siswa kerap terjadi di sekolah, maka tujuan pendidikan nasional, yakni menciptakan manusia utuh, kaya dimensi afeksi, hanya isapan jempol belaka, tidak akan pernah terwujud nyata. Kalau sudah demikian, siapa yang mestinya dipersalahkan?

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung