Senin

OKP Dan Jebakan Sentimen Politik Aliran

REFLEKSI
Oleh: Mohammad Afifuddin*

Dalam catatan sejarah berdirinya negeri ini, peran pemuda tidak dapat dianggap sepele. Dengan wadah sebuah Organisasi Kepemudaan (OKP), kerap kali mereka terlibat dalam setiap proses perubahan bangsa, baik sebagai sutradara maupun aktor di lapangan.
Salah satu aksi bersejarah dari berbagai organisasi tersebut adalah keberhasilannya menggulingkan rezim Soekarno melalui wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI berperan besar atas kelahiran orde baru. Sedangkan pada tahun 1998, melalui gerakan yang impresif dan progressif, para pemuda Indonesia dan masing-masing organnya yang tergabung dalam berbagai front gerakan kerakyatan sukses menggulingkan tirani orde baru.
Tak ayal, peran organ-organ tersebut begitu vital dalam membangun mind set maupun karakter para anggotanya agar dapat menjadi pribadi yang punya sense of crisis, idealis, dan berkomitmen terhadap cita-cita luhur untuk menciptakan tatanan bangsa yang adil dan sejahtera. Tentu harapan sempurna semua organisasi tersebut adalah mampu mencetak kader-kader yang tetap kukuh memegang nilai-nilai idealisme walaupun sudah berkiprah dalam pos-pos publik.
Namun, keberhasilan reformasi menghadirkan kebebasan, justru mendatangkan “diaspora” dalam iklim perpolitikan Indonesia. Salah satu wujudnya adalah munculnya kembali bibit-bibit primordialisme politik aliran. Politik aliran memang sempat lekat mewarnai konstelasi politik di era revolusi (orde lama), hingga menghasilkan pemilu multi partai dengan tendensi aliran (ideologi kultural) yang sangat kuat.
Dalam wilayah yang berbeda (pemuda-mahasiswa), imbas dari kondisi politik seperti itu adalah terciptanya beragam OKP yang mirip dengan berbagai orientasi partai politik tersebut. Bahkan di antara OKP itu banyak yang menjadi underbow dari partai politik untuk memperkuat basis massa di tataran pemuda.
Di antara organisasi kepemudaan/kemahasiswaan yang lahir dan survive di tengah situasi seperti itu adalah Gerakan Pemuda ANSOR, GPM, Pemuda Muslimin, Pemuda Katholik, GAMKI, Pemuda Muhammadiyah, GPI, HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, dan sebagainya. Walaupun pada masa ode baru, keberagaman itu diberangus dan “disatukan” dalam wadah KNPI pada tanggal 23 Juli 1973.
Heterogenitas bentuk dan aliran OKP itu, menjadi keniscayaan karena memang sejak awal fondasi negeri ini diletakkan dalam bingkai kemajemukan. Tapi, menjadi salah bila keberagaman tersebut dipahami menggunakan logika biner yang mensyaratkan terbentuknya pola oposisi diskriminatif antar dua pihak.
Dengan kata lain, terdapat upaya pendiskreditan kepada salah satu golongan untuk menjadi pihak yang subordinat. Sedangkan di lain pihak ada kelompok yang superordinat. Hal tersebut merupakan realitas yang wajar dalam politik, namun berakibat fatal bila konteksnya diletakkan dalam kaitannya dengan maraknya mainstreem politik aliran dari OKP maupun partai politik yang berafiliasi dengannya.
Artinya, akan terjadi kerancuan fungsi dan peran di antara para pelaku politik di partai (politisi) dengan aktivis pemuda (baca: mahasiswa) di bawahnya. Meskipun di antara kedua parpol dan OKP tersebut masih bersinggungan secara kultural, atau bahkan ideologis.
Kekhawatiran itu bermuara pada keprihatinan akan munculnya para politisi-politisi prematur yang masih instan pemahamannya mengenai idealisme sebuah perjuangan. Karena sejak aktif dalam struktur kepengurusan OKP, orientasi yang ditekankan --sebagai konsekuensi dari intervensi peran parpol-- adalah politik praksis. Sehingga impian yang terbangun adalah pelabuhan yang disinggahi pasca aktif di OKP hanya partai politik
Padahal, secara ideal posisi OKP harus steril dari intervensi secara langsung dari partai politik. Wilayah kerja OKP adalah pembentukan mind set dan karakter para anggotanya agar dapat menjadi pribadi yang punya sense of crisis, idealis, dan berkomitmen terhadap cita-cita luhur untuk menciptakan tatanan bangsa yang adil dan sejahtera. Dengan kata lain, OKP merupakan kawah chandra di muka bagi kader-kader bangsa yang “siap pakai” untuk membangun Indonesia. Sedangkan implementasi selanjutnya (di bidang politik), dengan berkiprah sebagai politikus, misalnya, merupakan bidang kerja partai politik.
Suplai SDM yang sempurna dari berbagai OKP untuk ditempatkan di berbagai pos publik (termasuk parpol) akan menjadi modal utama bagi berjalannya bangsa ini menuju kondisi yang lebih baik.
Dengan konteks seperti itu, sudah saatnya kita rekonstruksi dan rekonsepsi pembagian fungsi dan peran antar dua lembaga yang seharusnya mempunyai “divison of labour” yang berbeda itu. Revitalisasi differensiasi job description tersebut mutlak segera dilakukan agar bisa menyelamatkan generasi penerus Indonesia yang kredibel dan kapabel.
Artinya, para aktivis pemuda (mahasiswa)-nya tidak menjadi aktivis yang oportunis-pragmatis an sich, dengan memanfaatkan bendera OKP untuk meraih jabatan struktural di partai. Sementara politisinya pun tidak terjebak pada permainan realisme politik semata, dengan menafikan idealisme perjuangan, sense of crisis, maupun komitmen untuk membangun bangsa Indonesia.
*) Bergiat di Lingkar Studi Filsafat dan Budaya “SoAC” (Sense of Aufklarung Community) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung