Pelajaran Berharga PP No. 37/2006
OLEH: LULUK IFAYAH*
Kebijakan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tak pelak menuai reaksi keras dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di seluruh Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang merasa dipermalukan di depan rakyat sekaligus merasa menjadi tikus percobaan pemerintah (Kompas, 2/2/2007)
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya bersinergi dalam menentukan suatu kebijakan yang menyangkut persoalan rakyat? Ketika rakyat merasa dirugikan dengan suatu kebijakan, maka pemerintah harus introspeksi diri agar rakyat kembali merasa nyaman. Langkah yang diambil adalah merevisi atau mencabut peraturan yang tidak memihak rakyat. Ketika pemerintah berinisiatif untuk merevisi PP bermasalah tersebut, timbul respon demonstrasi penolakan wakil rakyat di berbagai kota/kabupaten. Seharusnya anggota DPRD memihak 'rasa nyaman' rakyat.
Kesenjangan kesejahteraan antara anggota DPR dengan DPRD menjadi salah satu pemicu adanya PP bermasalah ini. PP No 37/2006 ini muncul karena desakan yang kuat dari kalangan DPRD yang selama ini terpinggirkan secara ekonomi. Dengan gaji dan tunjangan yang ada, mereka harus menyetor sejumlah rupiah ke kas partai sebagai politik balas budi dan jumlahnya tidak sedikit. Pertanyaannya adalah mengapa harus ada politik balas budi dalam proses demokratisasi? Tidak bisakah keadilan dijadikan pilar agar tidak lagi ada kolusi, korupsi dan nepotisme di negeri ini.
Dalam kasus PP No.37/2006 ini, sepatutnya anggota DPRD berterima kasih kepada rakyat, karena dengan adanya protes dari rakyat atas PP No. 37/2006 itu menunjukkan rakyat masih peduli dengan kepemimpinan mereka dan sekaligus menunjukkan proses demokratisasi di negeri ini masih berjalan. Sebab, tanpa adanya protes penolakan dari rakyat pastilah tidak ada kontrol terhadap kinerja kepemimpinan mereka, padahal mereka bekerja untuk rakyat. Bila PP tersebut berlaku sah sungguh akan menguras APBD di seluruh kota/kabupaten dan propinsi. Beruntung bagi daerah kaya, ketentuan itu tidak akan menjadi persoalan. Namun bagi daerah minus, ketentuan rapelan akan semakin memperberat keuangan daerah.
Memang sejatinya hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi anggota DPRD, karena bisa meningkatkan penghasilan mereka yang semula mempunyai satu rumah menjadi dua, dua mobil menjadi tiga, bahkan mungkin saja bisa untuk tambah istri dan sebagainya. Tapi yakinlah para anggota DPRD kalau semua itu hanyalah sementara, hanya sebentar saja kebahagiaan yang akan didapatkan. Sesungguhnya pertanggung jawaban di hadapan rakyat maupun di hadapan Sang pembuat hidup akan jauh lebih berat dari pada kenikmatan sesaat itu.
Seandainya saja anggota DPRD lebih mengutamakan nurani pasti kekesisruhan soal revisi PP tersebut tidak perlu terjadi. DPRD tidak perlu merasa dipermalukan di hadapan rakyat dan anggaran APBD tetap aman.
Tentu ini ujian yang sangat menyakitkan bagi kita semua. Tidak hanya bagi rakyat yang sesungguhnya belum merasakan apa yang telah diperjuangkan oleh anggota DPRD yang dipilih oleh dan untuk rakyat. Anggota DPRD sebenarnya tidak perlu merasa dijadikan tikus percobaan oleh pemerintah. Karena sepertinya PP No 37/2006 dibuat hanya untuk mengalihkan persoalan korupsi yang terjadi di lembaga pemerintahan ke lembaga legislatif. Lalu pemerintah akan tampil sebagai 'hero' pembela dan penyelamat uang negara dengan merevisi PP tersebut.
Pelajaran Berharga
PP ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi kita semua. Tidak hanya bagi anggota DPRD yang harus selalu menuruti hati nurani dalam bekerja mengemban amanat rakyat. Tapi juga hikmah yang luar biasa bagi pemerintah agar tidak teledor dalam menentukan setiap kebijakan. Bukankah di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dinyatakan bahwa setiap peraturan perundangan mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan, kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan atau keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
Sebelum mengeluarkan suatu peraturan, pemerintah harus selalu melakukan ceck and balances terhadap ketentuan undang-undang tersebut di atas. Sekaligus untuk meminimalisir sikap ketidak-profesionalan pemerintah yang cenderung terkesan plin-plan dalam membuat suatu kebijakan. Begitupun dalam merevisi suatu peraturan perundang-undangan. Revisi seharusnya dilakukan melalui perdebatan dialektis di tingkat daerah. Bukan semena-mena tindakan respon secara reaksioner atas suatu demo yang ditunjukkan oleh rakyat di seluruh penjuru tanah air. Sebab, jika hanya merespon suatu demo, kelompok yang pro akan merespon balik dengan demo juga dan tentunya masalah tidak akan pernah selesai.
Kendati PP No 37 Tahun 2006 telah dilakukan revisi dan memberikan pelajaran berharga bagi perbaikan supremasi hukum di Indonesia. Namun sejatinya revisi penghapusan Pasal 14D tentang pemberlakuan surut rapelan tunjangan tahun 2006 PP No 37/2006 ini belum bisa menyelesaikan masalah. Tetap diperlukan tindakan selanjutnya untuk mencari solusi atas problem-problem prinsip yang belum terpecahkan. Dan seperti biasa rakyat akan tetap menunggu keputusan itu secepatnya dengan seadil-adilnya.
*) Konsultan Hukum Pada Badan Konsultasi Dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Stop (Pe)Warisan Budaya Korup
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*
Delapan tahun meninggalkan masa reformasi, persoalan korupsi di Indonesia tidak kunjung tuntas namun sebaliknya kian meluas. Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah, korupsi dari pusat menjalar hingga ke daerah-daerah. Ketika ada peluang, entah hasil korupsi yang didapat besar atau kecil tidak masalah, tidak peduli merugikan orang banyak, dan tidak peduli melanggar hukum. Pejabat dan pegawai, individu maupun berjamaah tidak merasa malu, korupsi sudah menjadi kewajaran dan membudaya dalam masyarakat Indonesia.
Padahal pemerintahan SBY-JK telah berkomitmen akan serius dalam memberantas korupsi tanpa tebang pilih, bahkan Presiden mengeluarkan Inpres No 5/2004 mengenai enam langkah Pemberantasan Korupsi, mengenai Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi.
Wajah Korupnya Pejabat Negara
Sungguh sangat disayangkan, menurut hasil laporan Transparency International, indeks korupsi di Indonesia pada tahun 2006 tahun lalu, terus meningkat dibanding tahun 2005. Sementara pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai reformasi birokrasi, beberapa hari menjelang Hari Antikorupsi Sedunia, membuat rakyat menjadi semakin meragukan kesungguhan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Kalla menilai, upaya KPK memberantas korupsi membuat kalangan birokrat takut. Akibatnya, laju perekonomian terganggu.
Logika berfikir apakah yang dipakai oleh Kalla dan para elite di negeri ini? Mengapa pemberantasan korupsi seolah menjadi momok kemajuan perekonomian nasional. Padahal sesungguhnya fondasi ekonomi modern takkan mungkin bisa tegak berdiri tanpa pemberantasan korupsi yang jelas-jelas telah merusak prinsip manajemen modern, proses kehidupan berdemokrasi akan terganggu jika masih mengakar kuat budaya korupsi, dan kesejahteraan rakyat akan tersendat-sendat apabila para pejabat negara masih gemar korupsi. Lalu, apakah semangat pemberantasan korupsi duet SBY-JK selama ini hanya sekedar manuver politik atau semacam lips service untuk menarik simpati rakyat demi kepentingan politik tertentu?
Data yang didapatkan KPK lagi-lagi membuat kita kembali mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan korupsi yang dilakukan pejabat negara. Menurut KPK dari nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Diantaranya pelaku korupsi yang mendominasi adalah anggota legislatif, yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, pimpro 10 persen, parpol 3 persen, dan kepolisian 2 persen. Sedangkan menurut Mendagri, ada sekitar 1.110 pejabat daerah yang korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 Gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD kabupaten di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan korupsi pada 2004-2006. Jika korupsi adalah penyakit, maka Indonesia sudah sampai pada tingkatan yang akut. Ironis!
Sebatas Perdebatan, Bukan Keseriusan
Elit politik yang duduk sebagai aparatur negara (eksekutif, legislatif) tanpa rasa malu berkhianat pada rakyat. Mengurangi penderitaan rakyat bukan merupakan agenda khusus para wakil rakyat. Mereka bersama-sama kroninya lebih asyik menikmati hasil korupsi uang rakyat trilyunan rupiah. Rakyat dibuat bingung karena hukum ternyata belum mampu menyentuh perbuatan biadab mereka. Terbukti saat ini masih begitu banyak koruptor yang kebal hukum dan masih bebas berkeliaran bahkan banyak pula yang terkesan ditutup-tutupi.
DPR dan KPK maupun Mahkamah Konstitusi (MK) akhir-akhir ini terkesan lebih asyik berdebat mengenai hal yang tidak substansial dan bersifat politis dalam menangani kasus korupsi. Misalnya, beberapa waktu lalu KPK berkeberatan mengenai hasil rapat Komisi III DPR (terutama fraksi PDI P Jawa Timur) yang menyimpulkan bahwa mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara yang sekaligus mantan Komisaris Utama PT Pertamina, Laksamana Sukardi dicantumkan (sesuai dengan rekomendasi Pansus Penjualan Tanker Pertamina) pada pengusutan penjulan tanker raksasa atau very large crude carrier milik PT Pertamina. Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki menolak pencantuman nama personal demi menjaga nama baik seseorang dan menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang, KPK harus bebas dari pengaruh kekuasan manapun.
Contoh lain, sebagaimana yang diberitakan Kompas (25/1/2007), hingga saat ini sedang terjadi pro-kontra antara DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pembuatan UU Pengadilan Tipikor. Di satu sisi MK memberikan waktu DPR selambat-lambatnya tiga tahun untuk membuat UU Pengadilan Tipikor, di sisi lain DPR masih mempertanyakan pentingnya UU Pengadilan Tipikor.
Menyucikan Birokrasi Korup
Betapa rakyat telah dikecewakan oleh perilaku para wakil rakyat yang tidak ubahnya seperti tikus rakyat; mereka terus-menerus menguras keringat rakyat! Di sisi lain rakyat menderita kelaparan hebat, pencabutan subsidi untuk rakyat, kenaikkan harga-harga, kemiskinan semakin merajalela, dunia pendidikan terpuruk, persoalan gizi buruk dan rawan penyakit, upah buruh rendah, persoalan kerusakan ekologi dan bencana alam, persoalan perlindungan TKI, jumlah pengangguran yang terus meningkat, petani yang menderita kekerugian sebab harga pupuk melambung dan kebijakkan impor beras, dan kaum perempuan masih termarjinalkan dalam kehidupan sosial.
Menurut Theodore M. Smith dalam Corruption, Tradition, and Change in Indonesia (1971), kuatnya cengkaraman budaya korupsi di Indonesia disebabkan warisan sejarah sejak masa kolonialisme Beland. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1800-an mencoba berkuasa di tanah air dengan cara korupsi yang amat keji. Selain itu kolonialisme pada waktu itu berjaya karena memanfaatkan kultur patrimonial dengan dalih ingin bekerjasama dengan bangsawan dan tokoh-tokoh pribumi, mereka memanfaatkan bangsawan pribumi yang memiliki hak-hak istimewa, seperti berhak menarik upeti dari rakyat, dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi daripada rakyat jelata sehingga berhak menyuruh.
Pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, Soekarno tidak tuntas dalam menghancurkan budaya feodalisme. Sehingga budaya ewuh-pakewuh, ABS (Asal Bapak Senang) semakin menjadi-jadi di rejim otoriter Soeharto. Hutang Indonesia di berbagai lembaga Keuangan seperti IMF, WTO, World Bank di selewengkan dan dikorupsi oleh keluarga Cendana beserta kroni-kroninya. Kebijakkan Orba selalu bertekuk lutut di bawah dikte korporasi bisnis kapitalisme global. Sejalan dengan disahkan UUPA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) pada tahun 1970-an, investor asing semakin liar mengeruk kekayaan Nusantara tanpa hambatan, karena para pejabat negara sudah cukup senang dengan konsensi berupa recehan-recehannya saja.
Pasca reformasi meski gaji dan tunjangan untuk kesejahteraan pejabat negara terus dinaikkan ternyata tidak berhasil mengurangi korupsi. Memang sangat disayangkan karena yang mengisi blantika perpolitikkan masih saja orang-orang lama, yang treck record-nya tidak bersih dan tergolong politisi (dan pengusaha) hitam. Mereka'elite-elite itu' mewarisi budaya korupsi, bahkan sangat ketakutan dengan gerakkan anti korupsi.
Seperti kata Amien Rais, mustahil sapu yang kotor dapat membersihkan sampah dengan maksimal. Pesimis? Bisa menjadi sebuah utopia bahwa kasus korupsi pejabat negara dengan tuntas dapat diatasi, karena aparatnya adalah pelakunya.
Ternyata penyebab korupsi dan kebobrokan mental birokrasi sifatnya sangat struktural sekali. Solusi yang realistis saat ini, mari bersama-sama, baik masyarakat, gerakan maupun LSM Anti Korupsi supaya mengawasi dan menuntut duet SBY-JK dan lembaga-lembaga pemberantas korupsi seperti KPK, untuk menuntaskan kasus korupsi para pejabat negara tanpa pandang bulu. SBY-JK memiliki tanggung jawab besar atas komitmennya pada rakyat soal pemberantasan korupsi. Diharapkan akhirnya terjadi pemotongan daur korupsi di tubuh pemerintahan dan negara Indonesia pada generasi selanjutnya. Dan untuk generasi muda, dengan konsisten ayo teriakkan: Stop Pewarisan Budaya Korup!!!
*) Mahasiswi Jurusan Sosiologi FISIP-UNEJ; aktif di KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember
OLEH: LULUK IFAYAH*
Kebijakan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tak pelak menuai reaksi keras dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di seluruh Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang merasa dipermalukan di depan rakyat sekaligus merasa menjadi tikus percobaan pemerintah (Kompas, 2/2/2007)
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya bersinergi dalam menentukan suatu kebijakan yang menyangkut persoalan rakyat? Ketika rakyat merasa dirugikan dengan suatu kebijakan, maka pemerintah harus introspeksi diri agar rakyat kembali merasa nyaman. Langkah yang diambil adalah merevisi atau mencabut peraturan yang tidak memihak rakyat. Ketika pemerintah berinisiatif untuk merevisi PP bermasalah tersebut, timbul respon demonstrasi penolakan wakil rakyat di berbagai kota/kabupaten. Seharusnya anggota DPRD memihak 'rasa nyaman' rakyat.
Kesenjangan kesejahteraan antara anggota DPR dengan DPRD menjadi salah satu pemicu adanya PP bermasalah ini. PP No 37/2006 ini muncul karena desakan yang kuat dari kalangan DPRD yang selama ini terpinggirkan secara ekonomi. Dengan gaji dan tunjangan yang ada, mereka harus menyetor sejumlah rupiah ke kas partai sebagai politik balas budi dan jumlahnya tidak sedikit. Pertanyaannya adalah mengapa harus ada politik balas budi dalam proses demokratisasi? Tidak bisakah keadilan dijadikan pilar agar tidak lagi ada kolusi, korupsi dan nepotisme di negeri ini.
Dalam kasus PP No.37/2006 ini, sepatutnya anggota DPRD berterima kasih kepada rakyat, karena dengan adanya protes dari rakyat atas PP No. 37/2006 itu menunjukkan rakyat masih peduli dengan kepemimpinan mereka dan sekaligus menunjukkan proses demokratisasi di negeri ini masih berjalan. Sebab, tanpa adanya protes penolakan dari rakyat pastilah tidak ada kontrol terhadap kinerja kepemimpinan mereka, padahal mereka bekerja untuk rakyat. Bila PP tersebut berlaku sah sungguh akan menguras APBD di seluruh kota/kabupaten dan propinsi. Beruntung bagi daerah kaya, ketentuan itu tidak akan menjadi persoalan. Namun bagi daerah minus, ketentuan rapelan akan semakin memperberat keuangan daerah.
Memang sejatinya hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi anggota DPRD, karena bisa meningkatkan penghasilan mereka yang semula mempunyai satu rumah menjadi dua, dua mobil menjadi tiga, bahkan mungkin saja bisa untuk tambah istri dan sebagainya. Tapi yakinlah para anggota DPRD kalau semua itu hanyalah sementara, hanya sebentar saja kebahagiaan yang akan didapatkan. Sesungguhnya pertanggung jawaban di hadapan rakyat maupun di hadapan Sang pembuat hidup akan jauh lebih berat dari pada kenikmatan sesaat itu.
Seandainya saja anggota DPRD lebih mengutamakan nurani pasti kekesisruhan soal revisi PP tersebut tidak perlu terjadi. DPRD tidak perlu merasa dipermalukan di hadapan rakyat dan anggaran APBD tetap aman.
Tentu ini ujian yang sangat menyakitkan bagi kita semua. Tidak hanya bagi rakyat yang sesungguhnya belum merasakan apa yang telah diperjuangkan oleh anggota DPRD yang dipilih oleh dan untuk rakyat. Anggota DPRD sebenarnya tidak perlu merasa dijadikan tikus percobaan oleh pemerintah. Karena sepertinya PP No 37/2006 dibuat hanya untuk mengalihkan persoalan korupsi yang terjadi di lembaga pemerintahan ke lembaga legislatif. Lalu pemerintah akan tampil sebagai 'hero' pembela dan penyelamat uang negara dengan merevisi PP tersebut.
Pelajaran Berharga
PP ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi kita semua. Tidak hanya bagi anggota DPRD yang harus selalu menuruti hati nurani dalam bekerja mengemban amanat rakyat. Tapi juga hikmah yang luar biasa bagi pemerintah agar tidak teledor dalam menentukan setiap kebijakan. Bukankah di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dinyatakan bahwa setiap peraturan perundangan mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan, kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan atau keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
Sebelum mengeluarkan suatu peraturan, pemerintah harus selalu melakukan ceck and balances terhadap ketentuan undang-undang tersebut di atas. Sekaligus untuk meminimalisir sikap ketidak-profesionalan pemerintah yang cenderung terkesan plin-plan dalam membuat suatu kebijakan. Begitupun dalam merevisi suatu peraturan perundang-undangan. Revisi seharusnya dilakukan melalui perdebatan dialektis di tingkat daerah. Bukan semena-mena tindakan respon secara reaksioner atas suatu demo yang ditunjukkan oleh rakyat di seluruh penjuru tanah air. Sebab, jika hanya merespon suatu demo, kelompok yang pro akan merespon balik dengan demo juga dan tentunya masalah tidak akan pernah selesai.
Kendati PP No 37 Tahun 2006 telah dilakukan revisi dan memberikan pelajaran berharga bagi perbaikan supremasi hukum di Indonesia. Namun sejatinya revisi penghapusan Pasal 14D tentang pemberlakuan surut rapelan tunjangan tahun 2006 PP No 37/2006 ini belum bisa menyelesaikan masalah. Tetap diperlukan tindakan selanjutnya untuk mencari solusi atas problem-problem prinsip yang belum terpecahkan. Dan seperti biasa rakyat akan tetap menunggu keputusan itu secepatnya dengan seadil-adilnya.
*) Konsultan Hukum Pada Badan Konsultasi Dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Stop (Pe)Warisan Budaya Korup
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*
Delapan tahun meninggalkan masa reformasi, persoalan korupsi di Indonesia tidak kunjung tuntas namun sebaliknya kian meluas. Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah, korupsi dari pusat menjalar hingga ke daerah-daerah. Ketika ada peluang, entah hasil korupsi yang didapat besar atau kecil tidak masalah, tidak peduli merugikan orang banyak, dan tidak peduli melanggar hukum. Pejabat dan pegawai, individu maupun berjamaah tidak merasa malu, korupsi sudah menjadi kewajaran dan membudaya dalam masyarakat Indonesia.
Padahal pemerintahan SBY-JK telah berkomitmen akan serius dalam memberantas korupsi tanpa tebang pilih, bahkan Presiden mengeluarkan Inpres No 5/2004 mengenai enam langkah Pemberantasan Korupsi, mengenai Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi.
Wajah Korupnya Pejabat Negara
Sungguh sangat disayangkan, menurut hasil laporan Transparency International, indeks korupsi di Indonesia pada tahun 2006 tahun lalu, terus meningkat dibanding tahun 2005. Sementara pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai reformasi birokrasi, beberapa hari menjelang Hari Antikorupsi Sedunia, membuat rakyat menjadi semakin meragukan kesungguhan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Kalla menilai, upaya KPK memberantas korupsi membuat kalangan birokrat takut. Akibatnya, laju perekonomian terganggu.
Logika berfikir apakah yang dipakai oleh Kalla dan para elite di negeri ini? Mengapa pemberantasan korupsi seolah menjadi momok kemajuan perekonomian nasional. Padahal sesungguhnya fondasi ekonomi modern takkan mungkin bisa tegak berdiri tanpa pemberantasan korupsi yang jelas-jelas telah merusak prinsip manajemen modern, proses kehidupan berdemokrasi akan terganggu jika masih mengakar kuat budaya korupsi, dan kesejahteraan rakyat akan tersendat-sendat apabila para pejabat negara masih gemar korupsi. Lalu, apakah semangat pemberantasan korupsi duet SBY-JK selama ini hanya sekedar manuver politik atau semacam lips service untuk menarik simpati rakyat demi kepentingan politik tertentu?
Data yang didapatkan KPK lagi-lagi membuat kita kembali mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan korupsi yang dilakukan pejabat negara. Menurut KPK dari nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Diantaranya pelaku korupsi yang mendominasi adalah anggota legislatif, yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, pimpro 10 persen, parpol 3 persen, dan kepolisian 2 persen. Sedangkan menurut Mendagri, ada sekitar 1.110 pejabat daerah yang korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 Gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD kabupaten di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan korupsi pada 2004-2006. Jika korupsi adalah penyakit, maka Indonesia sudah sampai pada tingkatan yang akut. Ironis!
Sebatas Perdebatan, Bukan Keseriusan
Elit politik yang duduk sebagai aparatur negara (eksekutif, legislatif) tanpa rasa malu berkhianat pada rakyat. Mengurangi penderitaan rakyat bukan merupakan agenda khusus para wakil rakyat. Mereka bersama-sama kroninya lebih asyik menikmati hasil korupsi uang rakyat trilyunan rupiah. Rakyat dibuat bingung karena hukum ternyata belum mampu menyentuh perbuatan biadab mereka. Terbukti saat ini masih begitu banyak koruptor yang kebal hukum dan masih bebas berkeliaran bahkan banyak pula yang terkesan ditutup-tutupi.
DPR dan KPK maupun Mahkamah Konstitusi (MK) akhir-akhir ini terkesan lebih asyik berdebat mengenai hal yang tidak substansial dan bersifat politis dalam menangani kasus korupsi. Misalnya, beberapa waktu lalu KPK berkeberatan mengenai hasil rapat Komisi III DPR (terutama fraksi PDI P Jawa Timur) yang menyimpulkan bahwa mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara yang sekaligus mantan Komisaris Utama PT Pertamina, Laksamana Sukardi dicantumkan (sesuai dengan rekomendasi Pansus Penjualan Tanker Pertamina) pada pengusutan penjulan tanker raksasa atau very large crude carrier milik PT Pertamina. Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki menolak pencantuman nama personal demi menjaga nama baik seseorang dan menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang, KPK harus bebas dari pengaruh kekuasan manapun.
Contoh lain, sebagaimana yang diberitakan Kompas (25/1/2007), hingga saat ini sedang terjadi pro-kontra antara DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pembuatan UU Pengadilan Tipikor. Di satu sisi MK memberikan waktu DPR selambat-lambatnya tiga tahun untuk membuat UU Pengadilan Tipikor, di sisi lain DPR masih mempertanyakan pentingnya UU Pengadilan Tipikor.
Menyucikan Birokrasi Korup
Betapa rakyat telah dikecewakan oleh perilaku para wakil rakyat yang tidak ubahnya seperti tikus rakyat; mereka terus-menerus menguras keringat rakyat! Di sisi lain rakyat menderita kelaparan hebat, pencabutan subsidi untuk rakyat, kenaikkan harga-harga, kemiskinan semakin merajalela, dunia pendidikan terpuruk, persoalan gizi buruk dan rawan penyakit, upah buruh rendah, persoalan kerusakan ekologi dan bencana alam, persoalan perlindungan TKI, jumlah pengangguran yang terus meningkat, petani yang menderita kekerugian sebab harga pupuk melambung dan kebijakkan impor beras, dan kaum perempuan masih termarjinalkan dalam kehidupan sosial.
Menurut Theodore M. Smith dalam Corruption, Tradition, and Change in Indonesia (1971), kuatnya cengkaraman budaya korupsi di Indonesia disebabkan warisan sejarah sejak masa kolonialisme Beland. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1800-an mencoba berkuasa di tanah air dengan cara korupsi yang amat keji. Selain itu kolonialisme pada waktu itu berjaya karena memanfaatkan kultur patrimonial dengan dalih ingin bekerjasama dengan bangsawan dan tokoh-tokoh pribumi, mereka memanfaatkan bangsawan pribumi yang memiliki hak-hak istimewa, seperti berhak menarik upeti dari rakyat, dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi daripada rakyat jelata sehingga berhak menyuruh.
Pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, Soekarno tidak tuntas dalam menghancurkan budaya feodalisme. Sehingga budaya ewuh-pakewuh, ABS (Asal Bapak Senang) semakin menjadi-jadi di rejim otoriter Soeharto. Hutang Indonesia di berbagai lembaga Keuangan seperti IMF, WTO, World Bank di selewengkan dan dikorupsi oleh keluarga Cendana beserta kroni-kroninya. Kebijakkan Orba selalu bertekuk lutut di bawah dikte korporasi bisnis kapitalisme global. Sejalan dengan disahkan UUPA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) pada tahun 1970-an, investor asing semakin liar mengeruk kekayaan Nusantara tanpa hambatan, karena para pejabat negara sudah cukup senang dengan konsensi berupa recehan-recehannya saja.
Pasca reformasi meski gaji dan tunjangan untuk kesejahteraan pejabat negara terus dinaikkan ternyata tidak berhasil mengurangi korupsi. Memang sangat disayangkan karena yang mengisi blantika perpolitikkan masih saja orang-orang lama, yang treck record-nya tidak bersih dan tergolong politisi (dan pengusaha) hitam. Mereka'elite-elite itu' mewarisi budaya korupsi, bahkan sangat ketakutan dengan gerakkan anti korupsi.
Seperti kata Amien Rais, mustahil sapu yang kotor dapat membersihkan sampah dengan maksimal. Pesimis? Bisa menjadi sebuah utopia bahwa kasus korupsi pejabat negara dengan tuntas dapat diatasi, karena aparatnya adalah pelakunya.
Ternyata penyebab korupsi dan kebobrokan mental birokrasi sifatnya sangat struktural sekali. Solusi yang realistis saat ini, mari bersama-sama, baik masyarakat, gerakan maupun LSM Anti Korupsi supaya mengawasi dan menuntut duet SBY-JK dan lembaga-lembaga pemberantas korupsi seperti KPK, untuk menuntaskan kasus korupsi para pejabat negara tanpa pandang bulu. SBY-JK memiliki tanggung jawab besar atas komitmennya pada rakyat soal pemberantasan korupsi. Diharapkan akhirnya terjadi pemotongan daur korupsi di tubuh pemerintahan dan negara Indonesia pada generasi selanjutnya. Dan untuk generasi muda, dengan konsisten ayo teriakkan: Stop Pewarisan Budaya Korup!!!
*) Mahasiswi Jurusan Sosiologi FISIP-UNEJ; aktif di KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar