Senin

Rakyat Miskin Pilih Bunuh Diri

REFLEKSI
Oleh: Martinah*

Beberapa kasus bunuh diri yang mencuat diberitakan media massa lahir dari situasi putus asa, kecewa dan berat menanggung azab kemiskinan. Ibu JN di Malang, Jawa Timur (5/3/07) memberikan minuman beracun kepada 4 anak yaitu AL (11), PL (9), HD (7) dan GC (2), lalu JN pun bunuh diri. Ia tak kuat menghadapi tekanan ekonomi. Tragedi keluarga ini juga merupakan manifestasi gangguan kejiwaan di dalam masyarakat kita dewasa ini. Akar masalah bunuh diri keluarga sebenarnya tidak hanya karena impitan ekonomi, tetapi sudah menyangkut tentang rapuhnya kesehatan mental dalam banyak keluarga di negeri ini.
Kasus bunuh diri HYT tahun lalu, siswa kelas 6 SD Muara Sanding, Garut karena orang tuanya tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler Rp. 2.500,- di sekolahnya. Masalah yang dihadapi masyarakat miskin dewasa ini, terlebih di perkotaan, memang kian terasa berat.
Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan dan perekonomian, selama ini tidak pernah memihak pada rakyat miskin. Padahal, angka bunuh diri bisa meningkat jika persoalan-persoalan kebutuhan dasar masyarakat susah terpenuhi. Minimal ada tiga kebutuhan dasar masyarakat yang harus cepat dipenuhi oleh pemerintah saat ini yaitu pangan, kesehatan dan pendidikan. Lebih-lebih, pendidikan sudah banyak dijadikan komoditas, sehingga ruangnya semakin sempit bagi keluarga miskin.
Kasusnya Cenderung Meningkat
World Health Organization (WHO) melaporkan, setiap tahunnya lebih dari satu juta orang meninggal akibat bunuh diri dan kecenderungannya meningkat. Angka bunuh diri ini jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Angka itu menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia.
Catatan dari RSU Dr Soetomo menyebutkan, korban bunuh diri di Surabaya meningkat 20% pada periode Januari - Oktober 2006 (24 orang) dibanding periode yang sama pada 2005 (20 orang). Kebanyakan terdiri dari orang-orang miskin, pengangguran, pelajar, karyawan, pembantu rumah tangga, dan buruh lepas yang nasib per harinya tak menentu.
Edwin Schneidman, seorang pakar sosiologi, menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan pembinasaan yang disadari dan ditimbulkan oleh diri sendiri. Itu dipandang sebagai malaise multidimensional, dan merupakan kebutuhan individu bahwa dengan kematian maka habis pulalah segala perkara. Bunuh diri adalah suatu kematian yang timbul akibat depresi lepas kendali dan dengan cara yang disengaja.
Bagi pelakunya, tindak bunuh diri merupakan jalan keluar dari krisis yang hampir selalu menyebabkan penderitaan tak tertahankan, sebab kebutuhannya dihalangi atau tidak terpenuhi. Selain perasaan putus asa, ketidakberdayaan, konflik yang ambivalen (antara keinginan untuk hidup dan tekanan mental yang tidak tertanggungkan), dan menyempitnya pilihan, juga bisa sebagai upaya untuk meloloskan diri dari bermacam ancaman dalam kehidupan.
Menurut hasil riset Center for the Batterment of Education di Surabaya (2006), dari jenis kelamin, jumlah pelaku bunuh diri kaum lelaki ternyata tiga kali lipat ketimbang kaum perempuan. Jadi laki-laki lebih berhasil dalam melakukannya. Ini sangat terkait dengan metode yang digunakan seperti menembak diri dengan pistol, menggantung diri, menenggak racun atau dengan cara melompat dari tempat ketinggian.
Pemakaian pistol untuk bunuh diri ternyata dapat berkurang bila dibarengi dengan hukum yang ketat serta jelas, khususnya dalam hal kepemilikan senjata api. Menekan angka bunuh diri lebih berhasil terutama pada negara yang mempunyai hukum ketat penggunaan/pemilikan senjata api, seperti di Mesir dan Pakistan.
Pada kelompok perempuan, tindak bunuh diri umumnya dilakukan dengan minum zat psikoaktif dosis tinggi. Mereka suka memakai racun, misalnya racun tikus atau aerosol lain seperti obat nyamuk cair. Angka bunuh diri semakin hari kian meningkat, terutama dengan bertambahnya usia. Pada kelompok laki-laki, puncak usia bunuh diri umumnya setelah usia 45 tahun, sedang pada kelompok perempuan jumlah terbesar bunuh diri pada usia di atas 55 tahun.
Pencegahan Bunuh Diri
Sesungguhnya kita masih memiliki harapan asal segera menyadari dan bertindak. Kepedulian terhadap sesama harus dikuatkan. Bukan hanya kepedulian sesaat dan reaktif-emosional yang sering diperlihatkan saat suatu wilayah sedang dilanda bencana. Yang dimaksud adalah kepedulian terus-menerus. Kita mempunyai potensi itu, mulai dari kepedulian pada tetangga, teman, keluarga, yang akhirnya mengerucut ke atas sebagai kepedulian pemimpin kepada rakyatnya.
Kita sebenarnya memiliki akar budaya, sistem sosial, dan nilai-nilai kehidupan yang menguntungkan untuk bisa mencegah agar fenomena bunuh diri tidak semakin buruk. Harus ada mobilisasi secara proporsional. Lebih penting lagi, ada kemauan bertindak. Seseorang ternyata sering melaksanakan niatnya untuk bunuh diri ketika mereka tak memiliki dukungan sosial dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Perasaan terasing dan tidak berdaya kerap menjadi beban yang tak tertanggungkan pada orang-orang tertentu.
Jadi, niat untuk mengakhiri hidup sebetulnya bisa dicegah. Dari celah-celah inilah sebetulnya kita bisa memulai langkah antisipasi yang mendasar, apa pun bentuknya. Juga dengan meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat pada kesehatan mental, sepenting mereka memandang taraf kesehatan fisik. Sebelum keburu meledak dan kecolongan lagi.
Ketika kebanyakan masyarakat kian terimpit ruang yang pengap, dan masa depan kabur tak tertembus cahaya kepastian, maka keadilan sosial terasa menjauh. Berharap tergugahnya sikap empati pemimpin kita dan masyarakat untuk segera tergerak dengan pertanyaan "tanya kenapa dan mengapa", kemudian mengantisipasinya dengan sigap.
Jika seseorang memiliki risiko bunuh diri, misalnya mereka yang terdepresi, maka semua usaha harus kita lakukan, terutama mengupayakan penegakan harga dirinya. Empati kita teramat penting dalam upaya mengurungkan niat-keinginan dan harapan untuk membinasakan dirinya. Aksi ultra-nekat melalui bunuh diri juga membahayakan keluarganya, terutama bila dalam posisi sebagai tulang punggung ekonomi, lebih-lebih jika masih memiliki anak-anak yang masih dalam tanggungannya.
Walaupun tak ada satu kata atau kalimat khusus dalam menghadapi individu yang ingin bunuh diri, yang penting upaya keluarganya untuk menghilangkan kegelisahan dan depresi. Prinsip lainnya, jangan pernah merasa jemu mendengarkan, tetapi tanpa mencela terhadap hal-hal yang disampaikan si penderita.
*) Pemerhati masalah sosial dan kesehatan, alumnus Universitas Indonesia, berdomisili di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung