OLEH: ACH. FAIDY SUJA'IE*
Awal tahun 2006 lalu, DPR telah menetapkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran tahun 2006 yang di antaranya berisi kenaikan take home pay anggota dan pimpinan dewan. Tahun 2006 kemarin pimpinan dewan dapat menerima pendapatan per bulannya sebesar Rp 89.238.356. Sedang wakil ketua penghasilan per bulannya mencapai Rp 75.184.890. dan angka Rp 49.411.940 per bulan dapat diraup oleh anggota dewan lainnya.
Rincian pendapatan di atas mengantarkan lembaga tinggi negara ini "dinobatkan" sebagai lembaga terkorup berdasarkan hasil survey Transprancy Internacional Independence (TII) dan Lembaga Survey Indonesia (LSI), jauh berada di bawah lembaga TNI, Kepresidenan dan Polri (03/01/07). Asumsi dasar yang digunakan oleh lembaga survey bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan seseorang yang dengan menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya dirinya, kelompok dan korporat lainnya. Hasil survey tersebut merupakan "kemajuan" elit politik kita, setelah di tahun 2005 TII mengumumkan hasil surveynya, bahwa lembaga terkorup di Indonesia ádalah partai politik yang menaungi semua anggota dewan di senayan.
Tamparan telak terhadap kinerja legislatif belum membuat jera anggota dewan untuk terus "menindas" kaum lemah yang diwakilinya. Terbukti, merasa belum cukup dengan kenaikan "penghasilan"nya ditahun 2006, akhir 2006 kemarin pemerintah mengeluarkan PP Nomor 37/2006 tentang Susduk dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam peraturan ini, pemerintah memberikan "bingkisan" tahun baru bagi anggota DPRD berupa kenaikan uang operasional dan uang komunikasi intensif. Ironisnya lagi, aturan ini berlaku surut sejak 1 Januari 2006 (tunjangannya dibayarkan secara rapel). Praktis, kebijakan ini meningkatkan anggaran negara untuk DPR 2007 hampir 50 persen (03/01/07). Kenaikan anggoran DPR ini belum termasuk dana reses dewan sebanyak 4 kali setahun.
Legalisasi Korupsi
Alokasi anggaran untuk memenuhi PP 37/2006 dipastikan akan membengkakkan anggaran belanja daerah pada tahun 2007 ini. Padahal, realitanya sebelum dibebani oleh kenaikan gaji anggota dewan, pemerintahan daerah selalu dibingungkan oleh masalah anggaran, artinya bahwa tiap-tiap daerah APBD-nya selalu cekak, bahkan cenderung minus. Logikanya, ketika anggaran untuk pembangunan saja telah seret, dan masih dibebani dengan gaji anggota DPRD, maka yang dikorbankan berikutnya adalah kepentingan rakyat dan alokasi yang sebetulnya dianggarkan untuk kebutuhan pembangunan daerah.
Kondisi ini sama artinya dengan melegalkan tindakan korupsi. Ditinjau dari hukum positif, tindakan tersebut di atas memang tidak dapat digolongkan pada tindakan korupsi karena secara yuridis formal tidak dapat dibuktikan. Namun, ketika ditinjau dari sisi keadilan serta kewajiban negara mengedepankan kepentingan orang banyak, maka mengesampingkan pembangunan demi membiayai "hidup mewah" anggota dewan merupakan tindak pidana korupsi yang dilegalisasi oleh pemerintah melalui sebuah undang-undang dan peraturan.
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat 1, keluarnya PP No. 37/2006 tersebut tergolong pada ketentuan pasal undang -undang ini. Pada dasarnya diterbitkannya PP ini tidak mempunyai alasan mendasar yang penting dan genting, harus diakui bahwa kondisi keuangan daerah masih carut marut dan belum waktunya untuk mendapatkan beban lebih berat lagi. Apalagi, bahwa take home pay anggota dewan selama ini telah cukup untuk membiayai hidup mewah dan lebih "gagah" dari orang lain (bukan anggota dewan).
Banyak hal yang seharusnya menjadi prioritas penyelesaian masalah kebangsaan yang bagi penulis merupakan masalah yang bersifat penting dan genting. Masalah- masalah tersebut jauh lebih mendesak daripada sekedar memenuhi kebutuhan "bermegah-megahan" anggota dewan. Pengentasan kemiskinan, penanganan musibah bencana alam, kecelakaan transportasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, nyatanya pemerintah lebih mengutamakan kenaikan gaji DPRD ketimbang persoalan orang banyak tersebut. Inikah yang namanya balas budi pemerintah terhadap anggota dewan (karena tidak banyak protes)? Inikah kebijakan gaji "tutup mulut" agar anggota dewan dan parpol tidak selalu berkoar-koar, minta reshuffle dan menuntut jatah menteri dalam kabinet?
Telah menjadi rahasia umum, bahwa dalam banyak hal -hampir semua hal- anggota DPR/DPRD sangat egois. Mereka hanya memenuhi kepentingan dirinya sendiri, kelompok, kroni dan keluarganya. Coba kita amati dengan seksama, apa yang selama ini telah dilakukan oleh anggota dewan untuk kepentingan rakyat? Mereka hanya bisa dengan semena-mena membuat keputusan politik yang dapat merugikan rakyat kecil dan menguntungkan korporasi saja, sering melakukan "shoping" ke luar negeri dengan dalih studi banding tanpa ada pertanggungungjawaban dan transparansi keuangan yang jelas.
Rupanya, kian hari watak anggota DPRkian kita temukan titik 'belangnya'. Mereka hanyalah perwakilan simbolistis untuk memenuhi prasyarat prosedural demokrasi belaka, karena selama ini belum pernah terlihat secara nyata kinerja DPR yang mencerminkan aspirasi konstituennya. Hal ini menjadi kabur, apakah DPR adalah wakil rakyat atau sekedar "stempel pemerintah" sehingga sering terjadi main mata antara eksekutif dengan legislatif, kebijakan-kebijakan produk lembaga ini hanyalah untuk dinikmati beberapa kalangan tertentu saja.
SBY-Kalla Harus Berani.
Menyikapi pro kontra atas kenaikan gaji DPRD ini, pemerintahan SBY-JK dituntut menunjukkan keberaniannya untuk melangkah, menyelesaikan berjuta persoalan kebangsaan. Bagi penulis, hanya ada dua cara bagi pemerintah untuk menyikapi fenomena ini. Pertama, sebelum kebijakan ini benar-benar diimplementasikan di tingkatan daerah, alangkah baiknya SBY dengan bijak melakukan revisi atau bahkan mencabut PP tersebut, dengan mempertimbangkan keadilan dan masih menumpuknya persoalan bangsa yang mendesak untuk diselesaikan. Pemerintah terlebih dahulu menyelesaikan persoalan pendidikan, kemiskinan, dan musibah yang datang silih berganti. Ketika kondisi perekonomian dan sosial Indonesia mulai membaik, penulis yakin semua kalangan tidak akan berkeberatan ketika pemerintah akan menaikkan gaji anggota dewan dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Kedua, segera mengimplementasikan kebijakan kenaikan gaji ini, dengan catatan pemerintah harus mempunyai keberanian untuk menerapkan konsep pemberantasan KKN dengan konsep carrot and stick atau Kecukupan dan Hukuman (Pemberantasan Korupsi, Kwik Kian Gie:2003). Konsep ini telah terbukti keberhasilannya dan telah diterapkan di banyak negara seperti Singapura dan RRC.
Carrot adalah take home pay yang dengan hitungan rasional dianggap cukup untuk membiayai hidup seseorang dengan standar. Artinya, PP No 37/2006 ini dapat kita asumsikan sebagai usaha untuk mencukupi kebutuhan anggota dewan. Karenanya, kita beralih pada konsep kedua yaitu stick. Stick secara harfiah dapat diartikan pentung, pentung ini merupakan hukuman yang dikenakan pada pelaku pelanggaran. Artinya, ketika seorang pegawai dan pejabat negara secara standar kebutuhan hidupnya telah dipenuhi, tapi melakukan KKN, maka hukuman yang layak diberikan adalah hukuman mati. Bukan hanya itu, Kwik dalam bukunya sangat ekstrem, bahwa hukuman tidak hanya dikenakan pada pelakunya saja, akan tetapi juga dikenakan pada keluarga pelaku KKN yang telah dipenuhi semua kebutuhan sebelumnya.
Konsep ini, begitu ekstrem dan membutuhkan keberanian pemerintah untuk menerapkannya, agar tujuan pembangunan negara bisa tercapai dengan efektif dan efisien. Pasalnya, konsep ini akan banyak sekali membantu menyelamatkan keuangan negara dari tangan-tangan pejabat dan pegawai berhati "maling". Hanya melalui dua langkah inilah pemerintah tetap dianggap sebagai pemerintah yang melindungi kepentingan rakyatnya, dan lembaga legislatif tetap menjadi artikulator konstituen yang memilih mereka saat pesta demokrasi 2004 kemarin. Mudah-mudahan pemerintah dan legislatif mampu bersikap arif dan bijak dalam menyikapi persoalan ini, jika tidak pemerintah dan DPR akan menjadi elit yang ironis dan dicap sebagai "lintah penghisap" rakyat yang sudah kurus kerontang. Nauzdubillah mindzalik.
*) Direktur Pusat Studi Kebudayaan dan Politik (PaSKal) Jember
Awal tahun 2006 lalu, DPR telah menetapkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran tahun 2006 yang di antaranya berisi kenaikan take home pay anggota dan pimpinan dewan. Tahun 2006 kemarin pimpinan dewan dapat menerima pendapatan per bulannya sebesar Rp 89.238.356. Sedang wakil ketua penghasilan per bulannya mencapai Rp 75.184.890. dan angka Rp 49.411.940 per bulan dapat diraup oleh anggota dewan lainnya.
Rincian pendapatan di atas mengantarkan lembaga tinggi negara ini "dinobatkan" sebagai lembaga terkorup berdasarkan hasil survey Transprancy Internacional Independence (TII) dan Lembaga Survey Indonesia (LSI), jauh berada di bawah lembaga TNI, Kepresidenan dan Polri (03/01/07). Asumsi dasar yang digunakan oleh lembaga survey bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan seseorang yang dengan menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya dirinya, kelompok dan korporat lainnya. Hasil survey tersebut merupakan "kemajuan" elit politik kita, setelah di tahun 2005 TII mengumumkan hasil surveynya, bahwa lembaga terkorup di Indonesia ádalah partai politik yang menaungi semua anggota dewan di senayan.
Tamparan telak terhadap kinerja legislatif belum membuat jera anggota dewan untuk terus "menindas" kaum lemah yang diwakilinya. Terbukti, merasa belum cukup dengan kenaikan "penghasilan"nya ditahun 2006, akhir 2006 kemarin pemerintah mengeluarkan PP Nomor 37/2006 tentang Susduk dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam peraturan ini, pemerintah memberikan "bingkisan" tahun baru bagi anggota DPRD berupa kenaikan uang operasional dan uang komunikasi intensif. Ironisnya lagi, aturan ini berlaku surut sejak 1 Januari 2006 (tunjangannya dibayarkan secara rapel). Praktis, kebijakan ini meningkatkan anggaran negara untuk DPR 2007 hampir 50 persen (03/01/07). Kenaikan anggoran DPR ini belum termasuk dana reses dewan sebanyak 4 kali setahun.
Legalisasi Korupsi
Alokasi anggaran untuk memenuhi PP 37/2006 dipastikan akan membengkakkan anggaran belanja daerah pada tahun 2007 ini. Padahal, realitanya sebelum dibebani oleh kenaikan gaji anggota dewan, pemerintahan daerah selalu dibingungkan oleh masalah anggaran, artinya bahwa tiap-tiap daerah APBD-nya selalu cekak, bahkan cenderung minus. Logikanya, ketika anggaran untuk pembangunan saja telah seret, dan masih dibebani dengan gaji anggota DPRD, maka yang dikorbankan berikutnya adalah kepentingan rakyat dan alokasi yang sebetulnya dianggarkan untuk kebutuhan pembangunan daerah.
Kondisi ini sama artinya dengan melegalkan tindakan korupsi. Ditinjau dari hukum positif, tindakan tersebut di atas memang tidak dapat digolongkan pada tindakan korupsi karena secara yuridis formal tidak dapat dibuktikan. Namun, ketika ditinjau dari sisi keadilan serta kewajiban negara mengedepankan kepentingan orang banyak, maka mengesampingkan pembangunan demi membiayai "hidup mewah" anggota dewan merupakan tindak pidana korupsi yang dilegalisasi oleh pemerintah melalui sebuah undang-undang dan peraturan.
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat 1, keluarnya PP No. 37/2006 tersebut tergolong pada ketentuan pasal undang -undang ini. Pada dasarnya diterbitkannya PP ini tidak mempunyai alasan mendasar yang penting dan genting, harus diakui bahwa kondisi keuangan daerah masih carut marut dan belum waktunya untuk mendapatkan beban lebih berat lagi. Apalagi, bahwa take home pay anggota dewan selama ini telah cukup untuk membiayai hidup mewah dan lebih "gagah" dari orang lain (bukan anggota dewan).
Banyak hal yang seharusnya menjadi prioritas penyelesaian masalah kebangsaan yang bagi penulis merupakan masalah yang bersifat penting dan genting. Masalah- masalah tersebut jauh lebih mendesak daripada sekedar memenuhi kebutuhan "bermegah-megahan" anggota dewan. Pengentasan kemiskinan, penanganan musibah bencana alam, kecelakaan transportasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, nyatanya pemerintah lebih mengutamakan kenaikan gaji DPRD ketimbang persoalan orang banyak tersebut. Inikah yang namanya balas budi pemerintah terhadap anggota dewan (karena tidak banyak protes)? Inikah kebijakan gaji "tutup mulut" agar anggota dewan dan parpol tidak selalu berkoar-koar, minta reshuffle dan menuntut jatah menteri dalam kabinet?
Telah menjadi rahasia umum, bahwa dalam banyak hal -hampir semua hal- anggota DPR/DPRD sangat egois. Mereka hanya memenuhi kepentingan dirinya sendiri, kelompok, kroni dan keluarganya. Coba kita amati dengan seksama, apa yang selama ini telah dilakukan oleh anggota dewan untuk kepentingan rakyat? Mereka hanya bisa dengan semena-mena membuat keputusan politik yang dapat merugikan rakyat kecil dan menguntungkan korporasi saja, sering melakukan "shoping" ke luar negeri dengan dalih studi banding tanpa ada pertanggungungjawaban dan transparansi keuangan yang jelas.
Rupanya, kian hari watak anggota DPRkian kita temukan titik 'belangnya'. Mereka hanyalah perwakilan simbolistis untuk memenuhi prasyarat prosedural demokrasi belaka, karena selama ini belum pernah terlihat secara nyata kinerja DPR yang mencerminkan aspirasi konstituennya. Hal ini menjadi kabur, apakah DPR adalah wakil rakyat atau sekedar "stempel pemerintah" sehingga sering terjadi main mata antara eksekutif dengan legislatif, kebijakan-kebijakan produk lembaga ini hanyalah untuk dinikmati beberapa kalangan tertentu saja.
SBY-Kalla Harus Berani.
Menyikapi pro kontra atas kenaikan gaji DPRD ini, pemerintahan SBY-JK dituntut menunjukkan keberaniannya untuk melangkah, menyelesaikan berjuta persoalan kebangsaan. Bagi penulis, hanya ada dua cara bagi pemerintah untuk menyikapi fenomena ini. Pertama, sebelum kebijakan ini benar-benar diimplementasikan di tingkatan daerah, alangkah baiknya SBY dengan bijak melakukan revisi atau bahkan mencabut PP tersebut, dengan mempertimbangkan keadilan dan masih menumpuknya persoalan bangsa yang mendesak untuk diselesaikan. Pemerintah terlebih dahulu menyelesaikan persoalan pendidikan, kemiskinan, dan musibah yang datang silih berganti. Ketika kondisi perekonomian dan sosial Indonesia mulai membaik, penulis yakin semua kalangan tidak akan berkeberatan ketika pemerintah akan menaikkan gaji anggota dewan dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Kedua, segera mengimplementasikan kebijakan kenaikan gaji ini, dengan catatan pemerintah harus mempunyai keberanian untuk menerapkan konsep pemberantasan KKN dengan konsep carrot and stick atau Kecukupan dan Hukuman (Pemberantasan Korupsi, Kwik Kian Gie:2003). Konsep ini telah terbukti keberhasilannya dan telah diterapkan di banyak negara seperti Singapura dan RRC.
Carrot adalah take home pay yang dengan hitungan rasional dianggap cukup untuk membiayai hidup seseorang dengan standar. Artinya, PP No 37/2006 ini dapat kita asumsikan sebagai usaha untuk mencukupi kebutuhan anggota dewan. Karenanya, kita beralih pada konsep kedua yaitu stick. Stick secara harfiah dapat diartikan pentung, pentung ini merupakan hukuman yang dikenakan pada pelaku pelanggaran. Artinya, ketika seorang pegawai dan pejabat negara secara standar kebutuhan hidupnya telah dipenuhi, tapi melakukan KKN, maka hukuman yang layak diberikan adalah hukuman mati. Bukan hanya itu, Kwik dalam bukunya sangat ekstrem, bahwa hukuman tidak hanya dikenakan pada pelakunya saja, akan tetapi juga dikenakan pada keluarga pelaku KKN yang telah dipenuhi semua kebutuhan sebelumnya.
Konsep ini, begitu ekstrem dan membutuhkan keberanian pemerintah untuk menerapkannya, agar tujuan pembangunan negara bisa tercapai dengan efektif dan efisien. Pasalnya, konsep ini akan banyak sekali membantu menyelamatkan keuangan negara dari tangan-tangan pejabat dan pegawai berhati "maling". Hanya melalui dua langkah inilah pemerintah tetap dianggap sebagai pemerintah yang melindungi kepentingan rakyatnya, dan lembaga legislatif tetap menjadi artikulator konstituen yang memilih mereka saat pesta demokrasi 2004 kemarin. Mudah-mudahan pemerintah dan legislatif mampu bersikap arif dan bijak dalam menyikapi persoalan ini, jika tidak pemerintah dan DPR akan menjadi elit yang ironis dan dicap sebagai "lintah penghisap" rakyat yang sudah kurus kerontang. Nauzdubillah mindzalik.
*) Direktur Pusat Studi Kebudayaan dan Politik (PaSKal) Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar