Muh Kholid AS*
Bencana yang bertubi-tubi melanda Indonesia belakangan ini ditafsirkan dan disikapi oleh berbagai pihak dari beragam sudut. Bagi partai politik (parpol), bencana menjadi ajang kampanye yang cukup efektif dalam meraih simpati masyarakat. Ibarat peribahasa yang mengatakan di mana ada gula, di situ semut juga berkerumun. Pengibaratan itu tampaknya cukup tepat untuk menggambarkan hubungan antara bencana dengan parpol. Setiap bencana terjadi di mana pun, dapat dipastikan bahwa parpol juga berada di situ.
Contoh kecil, seiring dengan banjir di Jakarta yang mulai surut, mulailah terlihat berbagai atribut partai politik di hampir seluruh sudut kota Jakarta. Meski sudah jelas-jelas 'kesiangan', tidak sedikit parpol yang berlomba-lomba menggalang bantuan, menghimpun relawan, hingga mendirikan posko di lokasi bencana. Mereka ikut ambil bagian di lokasi bencana dengan mengerahkan sumberdaya yang dimilikinya, yang biasanya juga diikuti dengan membawa dan menancapkan bendera dan atributnya di setiap sudut lokasi bencana.
Dalam percaturan politik Indonesia, keberadaaan atribut parpol di lokasi bencana memang bukanlah hal yang baru. Fenomena ini mulai berkembang pesat sejak gempa dan tsunami menggunjang Aceh dan Sumatera Utara akhir tahun 2004 silam. Berawal dari bencana terbesar di Indonesia inilah parpol selalu berebut start dalam mendatangi sebuah daerah yang didera bencana. Selain berasal dari ketulusan para dermawan untuk membantu sesamanya, bencana juga melahirkan dermawan yang datang dengan pamrih. Di tangan kanan mereka membawa bantuan, tetapi di tangan kirinya berkibar atribut partai.
Daerah bencana seringkali berubah menjadi medan kampanye, di mana berbagai parpol berlomba-lomba memancang atribut, spanduk, serta benderanya. Kedermawanan model parpol ini secara otomatis membuat bencana menjadi 'panggung teater' untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat dengan cara menggelar 'pameran' kegiatan sosial. Meminjam istilah Zainuddin Maliki (2006), apa yang dilakukan parpol di lokasi bencana tidak lain hanyalah semacam peristiwa-peristiwa pagelaran politik, yang semuanya sudah dirancang berdasarkan prinsip-prinsip dramatikal dan teatrikal.
Ibarat sebuah pasar, kahadiran parpol di lokasi bencana haruslah mampu melahirkan brand image. Sehingga para elit parpol memilih dress code, tampilan wajah, pilihan kosa kata, serta atribut lainnya, yang diharapkan akan mampu mendapatkan simpati dari masyarakat. Berbagai aktivitas pegiat parpol di lokasi bencana adalah bagian skenario penampilan yang telah diperhitungkan berdasarkan konsep, pertimbangan, dan rasionalitas tertentu.
Para aktor politik berusaha sekuat tenaga untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang ramah, santun, jujur, dermawan, manusiawi, pahlawan, religius, serta berbagai atribut kebaikan lainnya, meski dalam kehidupan sehari-harinya berbagai 'citra' tersebut tidak (belum) pernah dilakukan. Mereka dituntut untuk mempunyai kemampuan akting yang mumpuni dalam bersandiwara, layaknya artis yang telah malang-melintang di dunia teater, sandiwara, sinetron, ataupun film.
Berbagai bencana yang telah terjadi di negeri ini, jelas memperlihatkan semunya 'pembelaan' parpol terhadap korban bencana. Alih-alih parpol melakukan advokasi yang serius dalam mengantisipasi dan menanggulangi banjir, justru yang dilakukannya sekedar insidental-sporadis untuk mencari simpati secara murah dan meriah. Tidak pernah terdengar upaya advokasinya yang bersifat struktural dalam bentuk aksi politik mendasar dan sistemis dalam menyelesaikan akar masalah yang menimbulkan bencana tersebut.
Akibatnya, rakyatlah selalu menerima nasibnya sebagai 'tumbal' dari ganasnya bencana alam. Selain menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit, kerugian material, serta kerugian lainnya, bencana ini juga menyebabkan ratusan ribu warga berubah statusnya menjadi 'pengungsi'. Selain itu, berbagai ancaman penyakit semacam diare, gatal-gatal, infeksi saluran pernafasan, dan lain-lainnya, juga menjadi monster yang siap menyerang para warga.
Sayangnya, sampai hari ini, para punggawa dan aktivis parpol malah disibukkan dengan urusan perebutan kursi kekuasaan, daripada menyemaikan sikap dan aksi pembelaan terhadap korban bencana banjir. Para pegiat parpol seakan sudah kehilangan penglihatan untuk menatap visi jauh ke depan yang melampaui usianya, dengan memenangkan kepentingan jangka pendek. Mereka justru memperlihatkan diri sebagai kristalisasi kepentingan sektarian-primordialis daripada fungsinya sebagai intermediasi masyarakat.
Tidak berbeda dengan para wakil parpol yang duduk di lembaga legislatif, kebayakan di antara mereka juga menutup mata dan telinga terhadap rintihan korban bencana. Mereka yang menguasai pusat kekuasaan justru tidak segan-segan untuk memanipulasi suara publik untuk memenuhi libidonya sebagai homo homoni lupus. Sifat predatorian anggota DPRD sebagai makhluk ekonomis justru lebih mengemuka dibandingkan dengan nuraninya sebagai wali amanat (trustee), utusan rakyat (delegate), maupun pelindung rakyat. Tatkala rakyat sedang menghadapi berbagai permasalahan sosial yang bertubi-tubi tanpa henti, mereka justru berlomba-lomba untuk memperkaya diri
Bahkan, sampai hari ini, mereka yang seharusnya merepresentasikan aspirasi rakyat justru masih berpolemik tentang tunjangan yang harus diterimanya, khususnya terkait dengan kontroversi Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 2006. Idealitas kepemilikan sense of moral oleh para wakil rakyat yang seharusnya dimanifestasikan dalam aksi yang empati terhadap keinginan, kondisi, dan penderitaan rakyat, ternyata tidak mendapatkan bukti yang konkrit. Melalui media cetak dan elektronik, rakyat secara jelas mampu memonitoring berbagai perilaku para 'wakilnya' tersebut, yang justru banyak melukai bangsa Indonesia. Bahkan, dahsyatnya luka yang ditimbulkan melebihi ganasnya musibah bencana benjir.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kini rakyat bisa melihat mana parpol yang benar-benar tulus membela mereka atau sekedar mencari sensasi. Carut-marutnya kondisi negeri, secara langsung maupun tidak, telah membuat masyarakat lebih dewasa dan cerdas dalam memandang dinamika politik yang terjadi. Karena itu, jangan sampai masyarakat yang sudah menjadi korban bencana bertubi-tubi menjadi korban lainnya, yaitu korban 'politik'.
*) Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Bencana yang bertubi-tubi melanda Indonesia belakangan ini ditafsirkan dan disikapi oleh berbagai pihak dari beragam sudut. Bagi partai politik (parpol), bencana menjadi ajang kampanye yang cukup efektif dalam meraih simpati masyarakat. Ibarat peribahasa yang mengatakan di mana ada gula, di situ semut juga berkerumun. Pengibaratan itu tampaknya cukup tepat untuk menggambarkan hubungan antara bencana dengan parpol. Setiap bencana terjadi di mana pun, dapat dipastikan bahwa parpol juga berada di situ.
Contoh kecil, seiring dengan banjir di Jakarta yang mulai surut, mulailah terlihat berbagai atribut partai politik di hampir seluruh sudut kota Jakarta. Meski sudah jelas-jelas 'kesiangan', tidak sedikit parpol yang berlomba-lomba menggalang bantuan, menghimpun relawan, hingga mendirikan posko di lokasi bencana. Mereka ikut ambil bagian di lokasi bencana dengan mengerahkan sumberdaya yang dimilikinya, yang biasanya juga diikuti dengan membawa dan menancapkan bendera dan atributnya di setiap sudut lokasi bencana.
Dalam percaturan politik Indonesia, keberadaaan atribut parpol di lokasi bencana memang bukanlah hal yang baru. Fenomena ini mulai berkembang pesat sejak gempa dan tsunami menggunjang Aceh dan Sumatera Utara akhir tahun 2004 silam. Berawal dari bencana terbesar di Indonesia inilah parpol selalu berebut start dalam mendatangi sebuah daerah yang didera bencana. Selain berasal dari ketulusan para dermawan untuk membantu sesamanya, bencana juga melahirkan dermawan yang datang dengan pamrih. Di tangan kanan mereka membawa bantuan, tetapi di tangan kirinya berkibar atribut partai.
Daerah bencana seringkali berubah menjadi medan kampanye, di mana berbagai parpol berlomba-lomba memancang atribut, spanduk, serta benderanya. Kedermawanan model parpol ini secara otomatis membuat bencana menjadi 'panggung teater' untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat dengan cara menggelar 'pameran' kegiatan sosial. Meminjam istilah Zainuddin Maliki (2006), apa yang dilakukan parpol di lokasi bencana tidak lain hanyalah semacam peristiwa-peristiwa pagelaran politik, yang semuanya sudah dirancang berdasarkan prinsip-prinsip dramatikal dan teatrikal.
Ibarat sebuah pasar, kahadiran parpol di lokasi bencana haruslah mampu melahirkan brand image. Sehingga para elit parpol memilih dress code, tampilan wajah, pilihan kosa kata, serta atribut lainnya, yang diharapkan akan mampu mendapatkan simpati dari masyarakat. Berbagai aktivitas pegiat parpol di lokasi bencana adalah bagian skenario penampilan yang telah diperhitungkan berdasarkan konsep, pertimbangan, dan rasionalitas tertentu.
Para aktor politik berusaha sekuat tenaga untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang ramah, santun, jujur, dermawan, manusiawi, pahlawan, religius, serta berbagai atribut kebaikan lainnya, meski dalam kehidupan sehari-harinya berbagai 'citra' tersebut tidak (belum) pernah dilakukan. Mereka dituntut untuk mempunyai kemampuan akting yang mumpuni dalam bersandiwara, layaknya artis yang telah malang-melintang di dunia teater, sandiwara, sinetron, ataupun film.
Berbagai bencana yang telah terjadi di negeri ini, jelas memperlihatkan semunya 'pembelaan' parpol terhadap korban bencana. Alih-alih parpol melakukan advokasi yang serius dalam mengantisipasi dan menanggulangi banjir, justru yang dilakukannya sekedar insidental-sporadis untuk mencari simpati secara murah dan meriah. Tidak pernah terdengar upaya advokasinya yang bersifat struktural dalam bentuk aksi politik mendasar dan sistemis dalam menyelesaikan akar masalah yang menimbulkan bencana tersebut.
Akibatnya, rakyatlah selalu menerima nasibnya sebagai 'tumbal' dari ganasnya bencana alam. Selain menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit, kerugian material, serta kerugian lainnya, bencana ini juga menyebabkan ratusan ribu warga berubah statusnya menjadi 'pengungsi'. Selain itu, berbagai ancaman penyakit semacam diare, gatal-gatal, infeksi saluran pernafasan, dan lain-lainnya, juga menjadi monster yang siap menyerang para warga.
Sayangnya, sampai hari ini, para punggawa dan aktivis parpol malah disibukkan dengan urusan perebutan kursi kekuasaan, daripada menyemaikan sikap dan aksi pembelaan terhadap korban bencana banjir. Para pegiat parpol seakan sudah kehilangan penglihatan untuk menatap visi jauh ke depan yang melampaui usianya, dengan memenangkan kepentingan jangka pendek. Mereka justru memperlihatkan diri sebagai kristalisasi kepentingan sektarian-primordialis daripada fungsinya sebagai intermediasi masyarakat.
Tidak berbeda dengan para wakil parpol yang duduk di lembaga legislatif, kebayakan di antara mereka juga menutup mata dan telinga terhadap rintihan korban bencana. Mereka yang menguasai pusat kekuasaan justru tidak segan-segan untuk memanipulasi suara publik untuk memenuhi libidonya sebagai homo homoni lupus. Sifat predatorian anggota DPRD sebagai makhluk ekonomis justru lebih mengemuka dibandingkan dengan nuraninya sebagai wali amanat (trustee), utusan rakyat (delegate), maupun pelindung rakyat. Tatkala rakyat sedang menghadapi berbagai permasalahan sosial yang bertubi-tubi tanpa henti, mereka justru berlomba-lomba untuk memperkaya diri
Bahkan, sampai hari ini, mereka yang seharusnya merepresentasikan aspirasi rakyat justru masih berpolemik tentang tunjangan yang harus diterimanya, khususnya terkait dengan kontroversi Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 2006. Idealitas kepemilikan sense of moral oleh para wakil rakyat yang seharusnya dimanifestasikan dalam aksi yang empati terhadap keinginan, kondisi, dan penderitaan rakyat, ternyata tidak mendapatkan bukti yang konkrit. Melalui media cetak dan elektronik, rakyat secara jelas mampu memonitoring berbagai perilaku para 'wakilnya' tersebut, yang justru banyak melukai bangsa Indonesia. Bahkan, dahsyatnya luka yang ditimbulkan melebihi ganasnya musibah bencana benjir.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kini rakyat bisa melihat mana parpol yang benar-benar tulus membela mereka atau sekedar mencari sensasi. Carut-marutnya kondisi negeri, secara langsung maupun tidak, telah membuat masyarakat lebih dewasa dan cerdas dalam memandang dinamika politik yang terjadi. Karena itu, jangan sampai masyarakat yang sudah menjadi korban bencana bertubi-tubi menjadi korban lainnya, yaitu korban 'politik'.
*) Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar