Sabtu

BI Siap Revitalisasi KBI

Pemerintahan SBY-JK Masih Belum Berhasil

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla (SBY-JK) selama 2007 mampu mencatatkan posisi makro ekonomi yang terus membaik. Indikator dapat terekam pada pertumbuhan ekonomi sekitar 5,6% setiap tahun, ratio hutan pemerintah (PDB) yang menurun, inflasi moderat kurang dari 6%, nilai rupiah stabil di level Rp 9.000 sampai Rp 9.200, neraca pembayaran menguat, cadangan devisa per Oktober 2007 sekitar 54 miliar USD dan tingkat loan to deposit ratio antara 64-65%, serta kian meningkatnya peran strategis Indonesia di fora internasional dalam menjaga keseimbangan iklim dunia.

Meski begitu, pelbagai indikator tersebut belum diikuti dengan pengurangan anga pengangguran dan kemiskinan. ‘’Indikator angka pengangguran dan kemiskinan menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-JK masih belum berhasil. Angka kemiskinan belum mebaik dalam 10 tahun terakhir. SBY-JK belum memiliki prestasi menonjol dalam pengurangan kemiskinan. Menurut data Bangk Indonesia, angka kemiskinan hingga Juni 2007 masih berada pada angka 37,17 orang atau 17,75% dari populasi. Angka kemiskinan di Indonesia semenjak tahun 1998 belum membaik. Jumlah orang miskin antara periode 1998-2006 berkisar antara 34-50 juta orang. Perlu diingat bahwa bangsa yang miskin, sesungguhnya tidak merdeka,’’ tegas Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudo Husodo di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) di Hotel Bidakara Jakarta, Minggu (9/12). Rakernas dibuka Ketua Umum PP PJI, Ismeth Hasan Putro itu dihadiri 19 pengurus daerah dari seluruh Indonesia, termasuk Bali.

Menurut Siswono, angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 masih pada 10,6 juta orang (9,8%). Artinya, relatif belum banyak berubah dari tahun 2005, sekitar 10,9 juta orang (10,3%). Karena itu, APBN, berbagai kebijakan pemeritah dan instrumen ekonomi yang dimiliki negara, termasuk perbankan nasional harus segera diarahkan secara efektif guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Strategi ini sangat diperlukan untuk memberikan peluang penyediaan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik melalui peningkatan investasi maupun konsumsi.

’’Bersamaan dengan itu, diperlukan pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, guna menciptakan rasa keadilan di masyarakat. Kue ekonomi harus didistribusikan secara proporsional antar pelaku ekonomi. Dalam konteks ini, program reforma agraria menjadi sangat penting. Kita tidak menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan rakyat menjadi pengangguran dan penonton,’’ kata Siswono yang mengakui SBY sebagai seorang yang memiliki intelek berkualitas dan leadership itu.

Dalam makalahnya bertajuk Kepemimpinan dan Pengentasan Kemiskinan, Siswono berharap kepada pemerintah untuk mengutamakan percepatan pertumbuhan usaha nasional, yang menengah dan kecil di samping yang besar. Hanya saja, jangan memberi peluang lebih besar kepada pengusaha asing meski kerja sama para pemodal asing tetap diperlukan. Tanpa memperkuat pengusaha nasional, Indonesia hanya menjadi pasar produk-produk luar negeri, sekalipun amat naif bila bangsa ini menutup diri. Siswono menilai, pengusaha nasional penting diberi porsi lebih untuk mengembangkan dengan cepat bidang pembangunan yang comparative advantage seperti perkebunan, pertanian, perikanan, pertambangan dan pariwisata. Melemahnya semangat kemandirian membuat banyak kebijakan yang diambil lebih diwarnai tekanan dan kepentingan asing, termasuk semangat mengundang investor asing. Dalam kasus perkebunan sawit, sebut Siswono, Indonesia memiliki sekitar 5 juta hektar, dan menempatkan negara ini sebagai eksportir CPO utama di dunia. Namun sekitar 30% kebun sawit milik investor asing.

’’Guthrie dari Malaysia memiliki lebih dari 300.000 hektar. Ini akibat kesalahan BPPN melelang kebun-kebun sawit raksasa dalam unit-unit besar, dan dibeli Guthrie dengan patokan harga CPO 210 dolar AS per ton. Hari ini, hanya empat tahun setelah 300.000 hektar kebun sawit BPPN dibeli Guthrie, harga CPO menjadi 750 dolar AS per ton. Waktu dijual, harga per hektar kebun sawitsekitar Rp 12 juta. Hari ini, menjadi Rp 75 juta. Sekarang, sekitar 300.000 TKI terampil bekerja di kebun-kebun sawit Malaysia. Jika saja dahulu masing-masing diberi kesempatan untuk membeli kebun sawit yang dilelang BPPN seluas 2-3 hektar per KK, tentu naiknya harga CPO sekarang bisa dinikmati petani kita sendiri,’’ tegas Ketua Yayasan Universitas Pancasila itu.

Potret sama terjadi dalam bidang perbankan dan telekomunikasi. Indosat, BCA, BII dan Bank Danamon sudah dijual murah kepada pihak asing. Begitupun proyek eksplorasi minyak bumi dan gas, yang tendernya melibatkan investor internasional dengan pengusaha nasional yang lemah. Akibatnya, produksi minyak bumi dikuasai asing. Dari 120 kontrak profit sharing (KPS), 90% milik investor asing. Dari total produksi nasional 1.100.000 barrel/hari, Chevron menguasai 450.000 barrel/hari. Sedangkan yang dikuasai negara via Pertamina, hanya 75.000 barrel per hari, yang diproduksi Pertamina sendiri baru berkisar 30.000 barrel/hari, sementara Medco produksi 75.000 barrel/hari.

Selain itu, jelas Siswono, pemerintah masih lamban percepat pertumbuhan ekonomi via penciptaan pasar domestik dengan memperkuat pertanian, yang merupakan sandaran hidup mayoritas rakyat. Akibatnya terus meningkat jumlah masyarakat miskin di desa-desa. Proses pemiskinan petani berlangsung dengan cepat termasuk kian menyempitnya penguasaan lahan petani, baik dipicu proses fragmentasi tanah melalui pewarisan tanah maupun pengalihan fungsi lahan pertanian, juga kian meningkatnya petani gurem, --penguasa lahan kurang dari 0,2 hektar per KK yang secara nasional berjumlah 10,9 juta KK (1993) menjadi 13,7 juta KK (2003), dan sekarang, 60% rakyat miskin adalah petani.

BI Siap Revitalisasi KBI

Sementara Deputi BI, Budi Mulya menegaskan, untuk lebih mendorong perkembangan perekonomian di daerah, Bank Indonesia (BI) siap merevitalisasi Kantor Bank Indonesia (KBI). Melalui makalah Kebijakan BI dan Peran Perbankan Dalam Meningkatkan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi, Mulya berpendapat, sebelumnya KBI cenderung sebagai kepanjangan kantor pusat dalam peredaran uang dan fungsi sistem pembayaran. Dengan revitalisasi, fungsi KBI lebih diarahkan pada bidang penelitian potensi perekonomian, bekerja sama dengan berbagai universitas dan institusi terkait. Hasil penelitian dijadikan masukan bagi perencanaan pembangunan di daerah.

“KBI juga akan mempelajari kunci-kunci sukses di suatu daerah sehingga bisa dijadikan masukan bagi daerah lain. KBI juga menjadi salah satu panduan bagi para pengusaha atau pihak-pihak yang sedang berusaha mencari potensi untuk dikembangkan di suatu daerah. Jika ada pengusaha yang ingin mengetahui potensi suatu daerah, tinggal mencari datanya di BI. Karena kita tidak bisa langsung mengucurkan kredit, maka ini menjadi salah satu cara mendorong peningkatan ekonomi. Selain tetap menjalankan tugas utama BI sesuai dengan UU 3 tahun 2004 yakni menjaga stabilitas nilai rupiah dengan fokus kebijakan mencapai tingkat inflasi yang stabil di level rendah yang ditetapkan pemerintah,” kata Mulya.

Kebijakan itu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan peran perbankan dalam pembiayaan perekonomian di daerah, yang kini rata-rata pertumbuhan kredit di daerah berkisar 18-24%, dan mayoritas merupakan kredit UMKM. Meski begitu, stimulus perekonomian di daerah masih kurang dengan realisasi penyerapan anggaran belanja modal relatif lambat.

Total dana Bank Pembangunan Daerah (BPD) milik pemerintah daerah yang disimpan di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi indikator kedua yang masih dianggap besar. Pada Oktober 2007, dana BPD di SBI Rp 33,2 triliun, turun Rp 38,8 triliun dari bulan sebelumnya. Tapi dana yang tersimpan di SBI kembali naik ke level Rp 40 triliun per November 2007. (Albert Kin Ose M)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung