Perempuan menjadi korban utama dari dampak pemanasan global, dan tak jarang profesi ganda siap ditekuni, selain urus rumah tangga, juga kadang terpaksa berperan sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya. Begitulah nyanyian kesaksian kaum ibu yang terungkap dalam diskusi di Kampung Forum Masyarakat Sipil (CSF) di Nusa Dua, Selasa (4/12). Lilik Kaminah, ibu rumah tangga asal Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Selain menjadi keluarga korban Lumpur Lapindo, suaminya sudah tidak bekerja akibat sawah, tambak dan pangkalan ojek yang terendam lumpur. ‘’Mau cari lahan lain, sulitnya bukan main. Suami saya hanya menuntut uang kompensasi dari pemerintah,” ujar wanita yang dulu bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan Rp 10 ribu per hari itu. Tetap Rakyat Kecil
Sementara aktivis Serikat Hijau asal Jawa Barat, Dadang menegaskan, hak-hak masyarakat kecil kian terampas dengan aplikasi odel pembangunan kapitalis. Bahaya pemanasan global menjadi isu menakutkan bagi semua lapisan masyarakat. Meski rakyat kecil mengetahui bahaya yang tim
bul akibat pemanasan global, mereka tidak bisa berbuat banyak.
“Yang saya tahu, akibat pemanasan global, es mencair dan
Karena sering menonton TV, mereka juga mengetahui tentang KTT Perubahan iklim di Bali. Hanya saja, tidak banyak berharap dari pertemuan yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai dunia itu. Karena yang paling penting, berupaya tetap hidup dalam kondisi tersulit sekalipun. Menurut mereka, rakyat kecil hanyalah korban dari para penguasa atau pemilik modal. Karena AC atau kulkas banyak digunakan di gedung bertingkat. Salah satu akibat pemanasan global adalah suhu udara kian meningkat. “Kalau orang kaya kepanasan masih bisa pakai AC. Sebagai masyarakat kecil tetap kepanasan. Terus musik kemarau panjang, air sulit. Kalau orang berduit bisa dapat beli dari PDAM, dan minimal pompa. (Didik Purwanto & Wuri Wigunaningsih)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar