Senin

Joshua, Agnes Monica Dan Anak-Anak Kita

Oleh: Denok Hanggarsari
Siapa yang tidak kenal Joshua. Kehadirannya sebagai artis-selebritis anak-anak memberikan banyak inspirasi bagi banyak orang, terutama ibu-ibu yang gemes pada penampilan anak ini ketika muncul di TV karena anak ini terkesan cerdas (smart), ekspresif, dan sebagai anak sangat produktif menghasilkan uang dari seringnya ia muncul di acara TV. Meski sekarang tidak sesering dulu muncul di TV, nama Joshua jelas memberikan banyak inspirasi bagi anak-anak dan orangtua yang begitu ambisius untuk menjadikan anaknya terkenal. Konon setelah kesuksesan Joshua, banyak ibu-ibu yang memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga pelatihan model dan akting. Mereka juga begitu getolnya berusaha agar anaknya dapat menjadi bintang terkenal. Karena memulai karier sebagai artis anak-anak berarti merebut popularitas sejak dini.
Dalam pengertian tersebut, Agnes Monica juga tidak bisa dilupakan sebagai ikon sejarah artis-selebritis yang secara tak terhindarkan selalu dijadikan contoh bagi ibu-ibu yang menginginkan anaknya sering muncul di TV ini. Bagaimana tidak, Agnes Monica, yang sekarang menjadi artis yang berpenghasilan paling mahal dan sekaligus terkenal sangat produktif dan kreatif (serba bisa) memainkan perannya sebagai artis (penyanyi, pemain sinetron, presenter, bintang iklan, koregrafer, dll), telah memulai kariernya sejak dia menjadi "bintang cilik". Selain berbakat, konon profesionalitasnya memang didukung oleh kedisiplinan dalam mengikuti kursus-kursus kepribadian dan pelatihan-pelatihan serta dilakukan dengan manajemen yang baik.
Ambisi orang tua (terutama ibu-ibu) untuk menjadikan anaknya sebagai ikon TV kini semakin meluas sejak dunia entertainment juga membuka partisipasi yang lebih longgar dengan munculnya acara-acara audisi seperti AFI versi anak, pemilihan mubaligh anak, pemilihan presenter anak, dll. Di tengah-tengah godaan globalisasi pasar yang membutuhkan biaya besar untuk melakukan ritualitas konsumsi material dan konsumsi budaya, menjejalkan anak ke dalam dunia TV menjadi cara mudah untuk menegaskan status, kekayaan, popularitas, kekuasaan dalam masyarakat pasar. Sebagian orangtua bahkan juga memanajeri anaknya sendiri untuk mempertahankan dan meningkatkan popularitasnya. Seperti terjadi pada artis remaja Marshanda yang dimanajeri sendiri oleh ibunya.
Anak Satu Dimensi
Dunia selebritis memang menjadi corong-corong dari kebudayaan dan gaya hidup. Kiblat bertata bahasa, mendefinisikan diri (tubuh, perasaan, pikiran), dan cara memaknai relasi sosial memang selalu bersumber dari bagaimana artis-selebritis melakukannya. TV adalah media paling dekat dalam komunitas keluarga tempat anak-anak tumbuh. Sedangkan ucapan dan ide-ide artis-selebritis muncul paling banyak.
Pasar bebas telah menghasilkan homogenisasi persepsi budaya atau menciptakan "manusia satu dimensi". Diskriminatif secara budaya karena tidak memberi ruang bagi setiap individu untuk memaknai dunianya sendiri dan mengembangkan nilai budaya sesuai dengan dunianya yang lebih objektif dan tidak manipulatif, membodohi serta melanggengkan penindasan.
Homogenisasi budaya menghambat diversifikasi budaya dan keragaman gaya hidup manusia dan dengan demikian memandulkan setiap potensi manusia untuk memperkaya khasanah budaya. Yang terjadi adalah budaya meniru (imitatif) dalam masyarakat kita. Lihat saja kelatahan masyarakat kita bukan hanya kita jumpai dari makro budayanya, tetapi bahkan bisa kita lihat dari pergaulan sehari-hari kita hingga berupa ucapan-ucapan (kosa-kata) yang ditirukan dari TV-TV (biasanya iklan). Budaya meniru juga tumbuh subur dalam karya seni, misalnya remaja yang hanya bisa meniru lagu-lagu pop dan bukan menciptakan lagu sendiri baik secara gaya artistik maupun muatan ideologi seninya.
Sehingga, akibat homogenisasi budaya yang lain adalah tumpulnya tenaga produktif masyarakat. Budaya meniru jelas seiring dengan budaya tidak produktif dalam mencipta. Segala karya cipta hanya diperankan berdasarkan acuan budaya pasar yang didesain oleh elit pasar bebas. Bahkan media-media seperti TV dan tabloid "gaul" adalah sarana efektif untuk mendoktrinkan baju apa yang harus dipakai, gaya apa yang harus dijalani, dan kosa kata apa yang bisa dikatakan dalam bahasa sehari-hari untuk menjadi manusia yang "gaul" dan "trendy" tentunya sesuai dengan standardisasi budaya pasar.
Ketidakproduktifan bangsa kita juga tercermin dari rendahnya teknologi yang berkembang, sehingga kita selalu ketinggalan dengan produk luar negeri dan di satu sisi masyarakatnya sangat bangga dengan mengonsumsi "produk sampah" dari luar negeri yang di negara asal (negara maju) sudah tidak "ngetrend" alias out of date, tetapi diterima para konsumen Indonesia karena diikuti dengan citra-citra mewah yang hanya membuat mereka bisa mengonsumsi (dan tidak berproduksi). Hal ini memperparah kondisi keterbelakangan bangsa ini secara terus menerus. Membesarkan anak-anak berdasarkan tata cara TV memang berarti menyerahkan anak dalam sebuah pendidikan masyarakat kapitalistik yang melanggengkan hubungan produksi di mana harus banyak produk material dan produk kultural yang dikonsumsi oleh masyarakat dan anak-anak. Memasukkan anak-anak sebagai perantara budaya pasar ketika mereka menjadi artis-selebritis sama saja artinya dengan menjebak anak-anak lain yang kalah berkompetisi untuk menjadi konsumen budaya yang sama. Joshua, Agnes Monica, dan anak-anak lain yang mengekspresikan diri di TV juga menjadi bintang iklan dengan anjuran yang selalu sama dan diulang-ulang, agar anak-anak yang tersebar di seluruh negeri ini membeli dan mengonsumsi.
Budaya konsumtif yang timpang dengan budaya produktif inilah yang menyebabkan budaya korupsi di masyarakat kita. Dari kondisi itu, maka paham multikulturalisme tidak berhenti pada kritik budaya saja, tetapi diharapkan akan menjadi counter-hegemony yang bermakna penolakan terhadap akar-akar sosial yang menyebabkan terciptanya monokulturalisasi di masyarakat. Karena multikulturalisme menekankan pada kesetaraan budaya dan ekonomi politik sebagai struktur dasar yang mendukungnya. Budaya monokultural terbukti menjadi alat penguasa untuk menindas masyarakat. Orde Baru telah menggunakan pandangan ini dalam penyeragaman budaya dan politik yang ternyata mengandung penindasan ekonomi selama 32 tahun. Pasar bebas melalui medianya juga berusaha menyeragamkan selera dan gaya hidup masyarakat untuk menggiring mereka menuju budaya pasar (konsumtifisme dan hedonisme). Dari titik kritis inilah, seharusnya multikulturalisme mendasarkan dirinya sebagai gerakan baru menuju demokrasi dan keadilan budaya, yang disanggah oleh keadilan ekonomi yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Biarkan semua anak dapat mengekspresikan diri entah dalam TV atau dalam dunia nyata jika mereka memiliki syarat-syarat budaya produktif dan kreatif setelah kesehatan dan pendidikan tidak lagi menjadi masalah.
*) Sekretaris IRED (Institute of Research and Education for Democracy) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung