Senin

Kaum Muda Korban Cyber-Lybido

SOROT
Oleh: Nurani Soyomukti*

Cyber-lybido atau dunia seksualitas yang dapat diakses lewat internet, nampaknya patut menjadi bahan diskusi yang menarik. Seks memang dapat dengan mudah digunakan untuk membuat kaum muda bertekuk lutut, berpikiran cekak, dan hanya dipermainkan oleh mesin syahwat yang berputar seiring perkembangan globalisasi yang cepat. Jadi saya tidak bicara moral sebagai sebab, tetapi dia adalah akibat dari proses yang disebut Anthony Gidden sebagai time-space distanziation ini. Dalam cyberspace mereka menemukan realitas maya yang menurut Mark Slouka membentuk bahasa mayanya sendiri, campuran kata benda verbal, akronim yang panjang, mutasi aneh yang lahir dari jargon pascastrukturalisme dan budaya pop, teori informasi, dan infoteinment (information-enterteinment).
Mutasi aneh, karena dunia maya adalah dunia saat imajinasi didorong untuk mempercepat dirinya dalam menyambungkan bayangan dengan eksistensi diri (nafsu, gairah, keinginan untuk mengetahui lebih jauh dan bahkan juga melampiaskan dan mengalaminya). Mutasi eksistensial yang terjadi karena dunia maya (tidak nyata) mendominasi struktur kerja pikiran dan perasaan lepas dari tingkat kerumitan dan kesederhanaan yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya yang berujung pada rasa 'penasaran' (anxious) yang berisi keinginan ingin segera mengalami apa yang dibayangkan, setelah melihat dan mendengar.
Dan percepatan hawa nafsu selalu membuat pikiran tumpul (dull thinking), rasio telah tergadai oleh libido. Konsumsi seks baik dalam cybersex maupun video sebenarnya sama saja. Hanya saja, cyberspace lebih banyak menawarkan beragam adegan seks yang lebih cepat dalam memicu hawa nafsu.
Selain itu, jika penasaran saat mengakses cybersex adalah suatu kondisi eksistensial saat imajinasi seksualitas juga secara bersamaan menyentuh hasrat terprimitif manusia, maka jangan heran jika ada seorang mahasiswa (yang karena kebanyakan mengakses cybersex) melakukan masturbasi di depan monitor internet. Bahkan seks maya pun kini juga semakin menggejala di kalangan pengguna internet. Dengan menggunakan fasilitas chatting, mereka bisa melakukan hubungan badan dengan orang yang tidak berada di dekatnya, hanya memakai rangsangan kata-kata (dialog) dan bantuan organ tubuh sendiri. Dengan menuliskan "terusin sayang", "enakkkk", "ughhhhhh", "oh yessss", "tekan yang ritmis, honey", kekuatan maya telah menggerakkan hasrat tubuh menuju suatu hyper-reality seksual yang seakan nyata.
Cybersex pun juga menjadi sarana transaksi seks. Berbagai macam "pelacur" dengan aksi mereka melakukan persetubuhan jahanam, bahkan harga yang mereka tawarkan, plus cara menghubungi mereka. Selain itu, juga ada transaksi film-film atau majalah porno, semuanya bisa didapat secara nyata jika dibayar via credit card.
Tapi untuk ukuran remaja dan mahasiswa Indonesia, fantasi dan imajinasilah yang mereka dapatkan. Karena mereka tidak akan mampu membayar dalam bentuk dollar, apa lagi para pengguna internet yang menghabiskan waktu berjam-jam itu juga sebagian dari mereka yang untuk beli makan saja susah. Tapi inilah kekuatan dunia maya yang menyedot orang-orang normal menjadi idiot secara cepat! Yang seharusnya menajamkan rasio, malah menumpulkan dengan menutupnya dengan tarian nafsu. Dunia maya meskipun menghibur, ternyata juga menumpulkan potensi kemanusiaan.
Libido Dan Krisis Eksistensial
Libido itu alami. Tapi, cyberspace sebagai mesin imajinasi dan fantasi seksual jelas akan menjadi faktor interventif kondisi eksistensial yang berasal dari luar. Kematangan sekspun dipercepat. Hasrat untuk segera melampiaskannya pun harus dipercepat. Dan cara-cara pragmatispun dilakukan.
Seks adalah seks. Tetapi kapitalisme dan komersialisasi sebagai logika relasi antar manusia sekarang ini telah membuat seks tidak netral. Seks justru merupakan senjata paling ampuh untuk menundukkan eksistensi manusia. Seks yang dipropagandakan dengan penuh semangat, agar tatanan budaya dapat dengan mudah dikendalikan karena dalam libidolah kesadaran manusia dimatikan.
Sigmund Freud yang secara fenomenal menerangkan bahwa wilayah seks dan alam bawah sadar "bawaan primitif kemakhlukan" adalah berada di domain eksistensial yang sama. Jika kita berpikir secara tajam dan objektif, maka pada saat itulah kita menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Artinya, apa yang kita pikirkan sesuai dengan realitas di luar kita. Tetapi pada saat kita tidak sadar, karena didominasi oleh nafsu, maka kita cuek dengan realitas sekitar kita, tidak ada malas merengkuh realitas objektif namun hanya ingin merengkuh diri dan menginginkan kenikmatan tubuh sendiri. Pada saat bersetubuh dan khususnya pada saat tiba pada puncak (orgasme), kita hanya bisa mengerang, melenguh keras, kita hanya memikirkan dan merasakan kesakitan dan kenikmatan tubuh. Kita tak menyadari dunia sekitar kita, peran bawah sadar yang menguasai kita serta tidak berpikir tentang peran sosial. Kita hanya kembali ke individu sebagai pusat dunia.
Individualisme dan liberalisme sebagai pilar masyarakat kapitalis memang dapat diikat dengan seksualitas yang terus saja dipropagandakan oleh pasar dan media. Cyberspace pun meradikalisir perkembangan alam bawah sadar. Selama ini, perbincangan tentang seks dalam masyarakat yang berkembang kini nampaknya tidak pernah menyangkut aspek sosial-produktifnya, tetapi justru banyak bermuatan ideologis-moralis saja. Padahal sebenarnya kita telah "ketinggalam kereta" untuk memperbincangkan soal ini, dan perdebatan moral tak akan mampu menggilas mesin pasar yang dihiasi dan disemarakkan oleh produk, seks, uang dalam hubungan komodifikatif, yaitu pilar tatanan kapitalisme (pasar bebas).
*) Ketua Dept. Diklat-Litbang Lingkar Studi Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung