Oleh: Denny Ardiansyah*
Entah mengapa, kisah seputar sepakbola kita --di luar berita hasil pertandingan-- terlalu sering keluar dari pihak ‘non-kontestan’. Di luar negeri, berita seputar sepakbola adalah benar-benar berita para ‘kontestan’. Misalnya, transfer pemain dengan harga yang menggila dan ulah pemain dalam kehidupan sehari-hari. Pemain sepakbola di luar neger --dalam pemberitaan-- hampir sulit dibedakan dengan artis. Sementara di Indonesia, ‘selebritas’ sepakbola adalah para penonton --yang seringkali diberitakan rusuh saat pertandingan-- dan para pengurus badan sepakbola nasional (PSSI).
Berita tentang orang nomor satu di tubuh PSSI, Nurdin Halid, yang kian menyeruak di media massa adalah bukti paling mutakhir. Dari Wakil Presiden sampai Menteri Pemuda dan Olahraga telah meminta Nurdin mundur. Belum lagi komentar senada dari beberapa pelatih klub yang dikutip oleh sejumlah harian nasional. Tapi nampaknya Nurdin tetap tak bergeming, masih yakin dengan kepemimpinannya di PSSI. Inilah sepakbola Indonesia. Atau lebih jauh, ini pula gambaran mini dari kondisi elit negeri kita.
Nurani elit dibisukan hingga tak mampu lagi diajak bicara dengan kondisi stake-holder. Pandangan (proyeksi) ke depan pun tak jernih sebab hati telah dibutakan. Pada kasus Nurdin Halid pun memperjelas fakta bahwa persoalan bangsa sendiri harus diselesaikan dengan campur tangan orang lain. Kasus ini bukan hanya mencoreng wajah persepakbolaan kita, namun juga pemerintahan dan rakyat Indonesia.
FIFA telah berkirim surat kepada PSSI agar posisi Nurdin Halid segera digantikan melalui pemilihan ulang. Pihak luar saja mengetahui bahwa badan kehormatan persepakbolaan kita dipimpin oleh orang yang tak laik. Lalu kita bisa mengucap lagi peribahasa leluhur: kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat; Alamak, PSSI!!
Salah satu dari sekian banyak agenda untuk menyelesaikan persoalan yang merundung bangsa ini adalah mengangkat martabat bangsa di mata publik internasional. Jika kasus Nurdin Halid terus saja dibiarkan mengambang, maka bersiaplah, harga diri sepakbola Indonesia pun turut terganyang di kancah internasional.
Membuka Mata Elit PSSI
Sabtu (3/11/07) di Jakarta, Alan Martha mencetak empat gol ke gawang Vietnam. Timnas Indonesia dipastikan lolos ke putaran final Piala Asia U-16. Itulah fakta kontemporer yang tak terbantahkan dari jagad persepakbolaan Indonesia. Bibit unggul sungguh banyaknya.
Di Indonesia, sepakbola ibarat daging yang menyatu dengan tulang. Hampir seluruh rakyat Indonesia pernah bermain sepakbola. Persoalan profesionalitas yang selalu melanda kepemimpinan di tubuh PSSI telah membuat rakyat negeri ini menjadi sekadar penonton yang selalu kecewa dengan sepakbola negeri sendiri. Negara yang mampu menghasilkan pemain-pemain sepakbola berkualitas dan iklim pertandingan yang menjunjung tinggi sportifitas selalu saja berakar dari organisasi persepakbolaan yang memegang teguh profesionalitas.
Kita ingin wajah baru persepakbolaan Indonesia. Tentu saja ini hanya bisa diwujudkan jika PSSI pun melakukan pembenahan manajemen organisasi di tubuhnya terlebih dahulu. Pilihlah orang-orang yang memang konsisten dan paham seluk-beluk dunia sepakbola. Dengan begitu, PSSI yang selalu melahirkan bibit unggul bagi persepakbolaan Indonesia bukanlah ‘mimpi di siang hari’. Tetapi, mungkinkah PSSI melakukan hal itu dengan inisiatif sendiri?
Dalam sejarah organisasi dan pemerintahan di dunia ini telah terbukti suatu kepemimpinan yang menyelewengkan kepentingan publik menjadi sebatas pemenuhan kebutuhan perut sendiri akan berbenah menjadi lebih baik tanpa adanya desakan. Untuk kasus Nurdin Halid, desakan kepada PSSI sudah demikian banyaknya, namun hal itu masih dilakukan oleh para petinggi atau tokoh sepakbola negeri ini saja. Suporter dan penggemar sepakbola serta lapisan masyarakat yang menginginkan gemerlap persepakbolaan kita kian mengkilap harus pula mendesak PSSI. Tak ketinggalan pula, para pengurus dan pemain dari sebuah klub sepakbola harus ‘membuka mata PSSI’.
Kasus Nurdin Halid bukanlah sekadar persoalan yang ada di Jakarta atau hanya urusan PSSI dengan FIFA. Ini adalah pula masalah bagi daerah, sebab di sanalah bibit unggul bagi persepakbolaan Indonesia berada. Sebab kompetisi sepakbola nasional diselenggarakan di daerah. Bahkan lebih jauh, sebab sepakbola adalah olahraga kecintaan rakyat Indonesia.
Sejumlah aksi yang elegan bisa dilakukan untuk membelalakkan mata PSSI. Pemain sebuah klub bisa menggunakan kain hitam yang diikatkan pada lengan ketika bertanding --yang lazim dikenal sebagai tanda duka cita. Sebab surat FIFA yang tidak dipatuhi oleh PSSI bisa membuat kematian persepakbolaan Indonesia. Aksi ini terus dilakukan selama PSSI belum mengambil tindakan untuk menuntaskan kasus Nurdin Halid. Selain itu, aksi ‘kontestan’ sepakbola Indonesia ini juga dilakukan dengan mengirim surat tuntutan kepada PSSI agar menyelesaikan kasus tersebut.
Para ‘non-kontestan’ persepakbolaan Indonesia harus pula turun tangan untuk menuntut Nurdin Halid mundur. Suporter tiap klub yang kini sudah banyak terorganisir dalam wadah paguyuban harus menunjukkan ‘taji’ kepada PSSI dengan mengirim petisi kepada PSSI. Ini adalah langkah kepedulian kepada nasib persepakbolaan Indonesia yang dilakukan oleh publik. Suporter juga bisa menciptakan nyanyian khas yang menyindir kepemimpinan PSSI dan diperdengarkan sepanjang suatu pertandingan.
Para pemain memakai kain hitam dan suporter menyanyikan lagu yang menuntut mundurnya Nurdin Halid dalam suatu pertandingan adalah hal yang positif. Niscaya akan tercipta hubungan emosional yang lebih kental antara tiap klub yang bertanding tanpa mengurangi kualitas permainan. Bagi para suporter, tentu saja akan tercipta kebersamaan yang tinggi dengan nyanyian yang seirama walau klub yang didukung berbeda.
Kasus Nurdin Halid adalah momentum untuk menjadikan PSSI sebagai lembaga yang sehat dan profesional. Tentu saja agar sepakbola Indonesia pun tetap terjamin akan menemui masa depan yang cerah. Keterlibatan seluruh pihak yang terkait dengan persepakbolaan adalah obat untuk ‘menyembuhkan sakitnya’ PSSI. Sebab kita tak ingin terus-menerus menutup muka karena malu dengan persepakbolaan Indonesia.
*) Peneliti Kebudayaan di Society of Sociological Analitic for Democracy (SoSADem), tinggal di Jember.
Entah mengapa, kisah seputar sepakbola kita --di luar berita hasil pertandingan-- terlalu sering keluar dari pihak ‘non-kontestan’. Di luar negeri, berita seputar sepakbola adalah benar-benar berita para ‘kontestan’. Misalnya, transfer pemain dengan harga yang menggila dan ulah pemain dalam kehidupan sehari-hari. Pemain sepakbola di luar neger --dalam pemberitaan-- hampir sulit dibedakan dengan artis. Sementara di Indonesia, ‘selebritas’ sepakbola adalah para penonton --yang seringkali diberitakan rusuh saat pertandingan-- dan para pengurus badan sepakbola nasional (PSSI).
Berita tentang orang nomor satu di tubuh PSSI, Nurdin Halid, yang kian menyeruak di media massa adalah bukti paling mutakhir. Dari Wakil Presiden sampai Menteri Pemuda dan Olahraga telah meminta Nurdin mundur. Belum lagi komentar senada dari beberapa pelatih klub yang dikutip oleh sejumlah harian nasional. Tapi nampaknya Nurdin tetap tak bergeming, masih yakin dengan kepemimpinannya di PSSI. Inilah sepakbola Indonesia. Atau lebih jauh, ini pula gambaran mini dari kondisi elit negeri kita.
Nurani elit dibisukan hingga tak mampu lagi diajak bicara dengan kondisi stake-holder. Pandangan (proyeksi) ke depan pun tak jernih sebab hati telah dibutakan. Pada kasus Nurdin Halid pun memperjelas fakta bahwa persoalan bangsa sendiri harus diselesaikan dengan campur tangan orang lain. Kasus ini bukan hanya mencoreng wajah persepakbolaan kita, namun juga pemerintahan dan rakyat Indonesia.
FIFA telah berkirim surat kepada PSSI agar posisi Nurdin Halid segera digantikan melalui pemilihan ulang. Pihak luar saja mengetahui bahwa badan kehormatan persepakbolaan kita dipimpin oleh orang yang tak laik. Lalu kita bisa mengucap lagi peribahasa leluhur: kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat; Alamak, PSSI!!
Salah satu dari sekian banyak agenda untuk menyelesaikan persoalan yang merundung bangsa ini adalah mengangkat martabat bangsa di mata publik internasional. Jika kasus Nurdin Halid terus saja dibiarkan mengambang, maka bersiaplah, harga diri sepakbola Indonesia pun turut terganyang di kancah internasional.
Membuka Mata Elit PSSI
Sabtu (3/11/07) di Jakarta, Alan Martha mencetak empat gol ke gawang Vietnam. Timnas Indonesia dipastikan lolos ke putaran final Piala Asia U-16. Itulah fakta kontemporer yang tak terbantahkan dari jagad persepakbolaan Indonesia. Bibit unggul sungguh banyaknya.
Di Indonesia, sepakbola ibarat daging yang menyatu dengan tulang. Hampir seluruh rakyat Indonesia pernah bermain sepakbola. Persoalan profesionalitas yang selalu melanda kepemimpinan di tubuh PSSI telah membuat rakyat negeri ini menjadi sekadar penonton yang selalu kecewa dengan sepakbola negeri sendiri. Negara yang mampu menghasilkan pemain-pemain sepakbola berkualitas dan iklim pertandingan yang menjunjung tinggi sportifitas selalu saja berakar dari organisasi persepakbolaan yang memegang teguh profesionalitas.
Kita ingin wajah baru persepakbolaan Indonesia. Tentu saja ini hanya bisa diwujudkan jika PSSI pun melakukan pembenahan manajemen organisasi di tubuhnya terlebih dahulu. Pilihlah orang-orang yang memang konsisten dan paham seluk-beluk dunia sepakbola. Dengan begitu, PSSI yang selalu melahirkan bibit unggul bagi persepakbolaan Indonesia bukanlah ‘mimpi di siang hari’. Tetapi, mungkinkah PSSI melakukan hal itu dengan inisiatif sendiri?
Dalam sejarah organisasi dan pemerintahan di dunia ini telah terbukti suatu kepemimpinan yang menyelewengkan kepentingan publik menjadi sebatas pemenuhan kebutuhan perut sendiri akan berbenah menjadi lebih baik tanpa adanya desakan. Untuk kasus Nurdin Halid, desakan kepada PSSI sudah demikian banyaknya, namun hal itu masih dilakukan oleh para petinggi atau tokoh sepakbola negeri ini saja. Suporter dan penggemar sepakbola serta lapisan masyarakat yang menginginkan gemerlap persepakbolaan kita kian mengkilap harus pula mendesak PSSI. Tak ketinggalan pula, para pengurus dan pemain dari sebuah klub sepakbola harus ‘membuka mata PSSI’.
Kasus Nurdin Halid bukanlah sekadar persoalan yang ada di Jakarta atau hanya urusan PSSI dengan FIFA. Ini adalah pula masalah bagi daerah, sebab di sanalah bibit unggul bagi persepakbolaan Indonesia berada. Sebab kompetisi sepakbola nasional diselenggarakan di daerah. Bahkan lebih jauh, sebab sepakbola adalah olahraga kecintaan rakyat Indonesia.
Sejumlah aksi yang elegan bisa dilakukan untuk membelalakkan mata PSSI. Pemain sebuah klub bisa menggunakan kain hitam yang diikatkan pada lengan ketika bertanding --yang lazim dikenal sebagai tanda duka cita. Sebab surat FIFA yang tidak dipatuhi oleh PSSI bisa membuat kematian persepakbolaan Indonesia. Aksi ini terus dilakukan selama PSSI belum mengambil tindakan untuk menuntaskan kasus Nurdin Halid. Selain itu, aksi ‘kontestan’ sepakbola Indonesia ini juga dilakukan dengan mengirim surat tuntutan kepada PSSI agar menyelesaikan kasus tersebut.
Para ‘non-kontestan’ persepakbolaan Indonesia harus pula turun tangan untuk menuntut Nurdin Halid mundur. Suporter tiap klub yang kini sudah banyak terorganisir dalam wadah paguyuban harus menunjukkan ‘taji’ kepada PSSI dengan mengirim petisi kepada PSSI. Ini adalah langkah kepedulian kepada nasib persepakbolaan Indonesia yang dilakukan oleh publik. Suporter juga bisa menciptakan nyanyian khas yang menyindir kepemimpinan PSSI dan diperdengarkan sepanjang suatu pertandingan.
Para pemain memakai kain hitam dan suporter menyanyikan lagu yang menuntut mundurnya Nurdin Halid dalam suatu pertandingan adalah hal yang positif. Niscaya akan tercipta hubungan emosional yang lebih kental antara tiap klub yang bertanding tanpa mengurangi kualitas permainan. Bagi para suporter, tentu saja akan tercipta kebersamaan yang tinggi dengan nyanyian yang seirama walau klub yang didukung berbeda.
Kasus Nurdin Halid adalah momentum untuk menjadikan PSSI sebagai lembaga yang sehat dan profesional. Tentu saja agar sepakbola Indonesia pun tetap terjamin akan menemui masa depan yang cerah. Keterlibatan seluruh pihak yang terkait dengan persepakbolaan adalah obat untuk ‘menyembuhkan sakitnya’ PSSI. Sebab kita tak ingin terus-menerus menutup muka karena malu dengan persepakbolaan Indonesia.
*) Peneliti Kebudayaan di Society of Sociological Analitic for Democracy (SoSADem), tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar