WACANA
Oleh: Nurani Soyomukti*
Pada tanggal 3-14 Desember mendatang, Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan COP-13 (Conference of Parties) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Acara yang disingkat COP-1 3/MOP-3 UNFCCC tersebut akan diselenggarakan di Bali dan diperkirakan akan dihadiri oleh sekitar 10.000 orang yang terdiri dari: delegasi resmi PBB dari 189 negara (± 2.000 orang); media massa sebanyak ± 2.000 orang; dan masyarakat, akademia, perusahaan dan sebagainya sebanyak ± 6.000 orang.
Pertemuan tersebut akan membicarakan gejala perubahan iklim global yang belakangan ini menjadi perbincangan banyak kalangan, terutama mereka yang peduli pada efek yang ditimbulkannya bagi kemanusiaan. Isu ini mengingatkan bahwa bumi kita tengah terancam. Dalam film yang berjudul An Inconvenient Truth, Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat (AS) menggambarkan dengan baik sekali adanya ancaman terhadap keberadaan bumi kita. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana selimut-selimut es di berbagai wilayah dunia semakin menyusut, demikian juga gunung-gunung es di dekat kutub bumi. Pemanasan global diyakini disebabkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, seperti pengoperasian pabrik dan kendaraan yang menggunakan bahan bakar konvensional.
Hasil pembakaran jenis ini antara lain gas karbondioksida yang dalam skala global berjumlah miliaran ton setiap tahun, disemburkan ke atmosfir bumi. Akibatnya, sinar matahari yang tiba ke permukaan bumi tak leluasa dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Panas tersebut terperangkap dekat permukaan bumi, menghasilkan gejala seperti di rumah kaca yang digunakan untuk menyemaikan tanaman.
Apa yang dilakukan Al Gore merupakan sindiran sinis terhadap negaranya sendiri yang terlalu abai untuk memperlakukan lingkungan hidup. Negara AS adalah negara penyemprot gas rumah kaca terbesar di dunia tidak mau bergabung dalam Protokol Kyoto untuk secara bertahap mengurangi emisi karbondioksidanya.
Mengutip laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kenaikan suhu global satu derajat Celsius saja akan berdampak langsung pada turunnya produksi pangan, meningkatnya banjir dan badai. Indonesia mengalami sendiri efek dari perubahan iklim tersebut akhir-akhir ini. Perubahan pola musim hujan dan kering telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut perkiraan, dalam 30 tahun terakhir, pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari normal.
Dalam 10 tahun terakhir musim hujan semakin singkat dengan intensitas lebih tinggi, dan musim kemarau yang semakin panjang. Perubahan-perubahan ini ikut berperan meningkatnya insiden banjir dan kekeringan di Indonesia. Banyak orang menganggap, banjir besar bulan Februari lalu yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35% rusaknya hutan kota dan hutan di Puncak adalah penyebab makin panasnya udara Jakarta. Itu sebabnya, kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia, melainkan juga warga dunia.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia pantas malu karena telah menjadi negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri). Jika kita tidak bisa menyelamatkan hutan mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan di seluruh Indonesia tak tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tak lagi bisa menghirup udara bersih.
Sangat jelas kiranya bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia. Jadi perubahan iklim dan pemanasan global adalah tanggungjawab bersama. Pantauan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan, peningkatan suhu bumi yang sudah terjadi sejak tahun 1866 mengakibatkan es di kutub mencair. Akibatnya, permukaan air laut makin tinggi. Kepala Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta Jaya Murjaya memperkirakan Indonesia akan kehilangan sekitar 2.000 pulau tahun 2030 karena permukaan air laut akan meningkat 8 cm - 29 cm.
Naiknya permukaan air laut merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang juga sudah dirasakan di Indonesia. Penduduk di beberapa desa di Kepulauan Raja Ampat, Papua, sudah merasakan berubahnya garis pantai yang semakin masuk ke darat setidaknya 10 meter dalam 10 tahun terakhir, serta semakin luasnya intrusi air laut ke air tanah. Ini memaksa mereka untuk mencari lokasi tempat tinggal baru.
Terus meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) hasil aktivitas manusia cenderung akan meningkatkan bencana yang terkait dengan iklim. Untuk mengantisipasi dampak-dampak perubahan iklim, diperlukan kajian untuk mengidentifikasi daerah dan sektor mana yang rentan terhadap perubahan iklim kemudian menentukan strategi adaptasi yang paling sesuai.
Yang jarang dipahami adalah soal terancamnya lingkungan alam adalah berkaitan dengan masalah kapitalisme global. Tak heran jika negara-negara kapitalis besar cenderung akan memperjuangkan kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang paling banyak menyebabkan pemanasan global. Cara pandang kapitalis yang pragmatis dan anti-solidaritas kemanusiaan merupakan suatu kontradiksi utama yang harus dihadapi.
Bukankah kapitalis memandang alam (termasuk di dalamnya manusia) sebagai suatu yang hanya berguna sebagaimana untuk menumpuk keuntungan saja? Bukankah manusia sebagai bagian dari alam tidak dihargai, seperti buruh-buruh (tenaga kerja) yang harus dibayar murah? Dan alam akan terus dieksploitasi, hutan-hutan ditebang dan tanah-tanahnya dilubangi (kasus Freeport dan Newmont di Indonesia hanya sedikit kasus), sawah-sawah dan ladang-ladang (tanah-tanah) digusur baik dengan cara halus dan paksa?
Yang jelas, Indonesia juga harus memperhitungkan kepentingan nasionalnya dalam membicarakan masalah tersebut dalam pertemuan COP-1 3/MOP-3 UNFCCC di Bali mendatang. Masalahnya pertemuan ini bukan hanya isu moralisme lingkungan, tetapi isu politik lingkungan di mana negara-negara besar (kapitalis maju) akan menghindari tanggungjawabnya pada saat mereka menjadi penyumbang emisi zat-zat bagi terjadinya pemanasan global. Hal ini berkaitan dengan sikap Amerika dan Australia dalam Protokol Kyoto. Meskipun dalam pertemuan G-8 yang berlangsung di Jerman AS mulai menunjukkan tanda yang lebih lunak, tetapi tetap belum bersedia membuat komitmen. Walau demikian, Presiden AS George W Bush mulai mengakui kaitan perubahan iklim ini dengan ulah manusia. Indonesia harus bersama-sama negara-negara lainnya, mendorong negara-negara maju yang belum meratifikasi Protokol Kyoto untuk segera meratifikasi agar terwujud penurunan emisi gas rumah kaca.
*) Aktif di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Jawa Timur.
Oleh: Nurani Soyomukti*
Pada tanggal 3-14 Desember mendatang, Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan COP-13 (Conference of Parties) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Acara yang disingkat COP-1 3/MOP-3 UNFCCC tersebut akan diselenggarakan di Bali dan diperkirakan akan dihadiri oleh sekitar 10.000 orang yang terdiri dari: delegasi resmi PBB dari 189 negara (± 2.000 orang); media massa sebanyak ± 2.000 orang; dan masyarakat, akademia, perusahaan dan sebagainya sebanyak ± 6.000 orang.
Pertemuan tersebut akan membicarakan gejala perubahan iklim global yang belakangan ini menjadi perbincangan banyak kalangan, terutama mereka yang peduli pada efek yang ditimbulkannya bagi kemanusiaan. Isu ini mengingatkan bahwa bumi kita tengah terancam. Dalam film yang berjudul An Inconvenient Truth, Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat (AS) menggambarkan dengan baik sekali adanya ancaman terhadap keberadaan bumi kita. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana selimut-selimut es di berbagai wilayah dunia semakin menyusut, demikian juga gunung-gunung es di dekat kutub bumi. Pemanasan global diyakini disebabkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, seperti pengoperasian pabrik dan kendaraan yang menggunakan bahan bakar konvensional.
Hasil pembakaran jenis ini antara lain gas karbondioksida yang dalam skala global berjumlah miliaran ton setiap tahun, disemburkan ke atmosfir bumi. Akibatnya, sinar matahari yang tiba ke permukaan bumi tak leluasa dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Panas tersebut terperangkap dekat permukaan bumi, menghasilkan gejala seperti di rumah kaca yang digunakan untuk menyemaikan tanaman.
Apa yang dilakukan Al Gore merupakan sindiran sinis terhadap negaranya sendiri yang terlalu abai untuk memperlakukan lingkungan hidup. Negara AS adalah negara penyemprot gas rumah kaca terbesar di dunia tidak mau bergabung dalam Protokol Kyoto untuk secara bertahap mengurangi emisi karbondioksidanya.
Mengutip laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kenaikan suhu global satu derajat Celsius saja akan berdampak langsung pada turunnya produksi pangan, meningkatnya banjir dan badai. Indonesia mengalami sendiri efek dari perubahan iklim tersebut akhir-akhir ini. Perubahan pola musim hujan dan kering telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut perkiraan, dalam 30 tahun terakhir, pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari normal.
Dalam 10 tahun terakhir musim hujan semakin singkat dengan intensitas lebih tinggi, dan musim kemarau yang semakin panjang. Perubahan-perubahan ini ikut berperan meningkatnya insiden banjir dan kekeringan di Indonesia. Banyak orang menganggap, banjir besar bulan Februari lalu yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35% rusaknya hutan kota dan hutan di Puncak adalah penyebab makin panasnya udara Jakarta. Itu sebabnya, kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia, melainkan juga warga dunia.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia pantas malu karena telah menjadi negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri). Jika kita tidak bisa menyelamatkan hutan mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan di seluruh Indonesia tak tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tak lagi bisa menghirup udara bersih.
Sangat jelas kiranya bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia. Jadi perubahan iklim dan pemanasan global adalah tanggungjawab bersama. Pantauan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan, peningkatan suhu bumi yang sudah terjadi sejak tahun 1866 mengakibatkan es di kutub mencair. Akibatnya, permukaan air laut makin tinggi. Kepala Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta Jaya Murjaya memperkirakan Indonesia akan kehilangan sekitar 2.000 pulau tahun 2030 karena permukaan air laut akan meningkat 8 cm - 29 cm.
Naiknya permukaan air laut merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang juga sudah dirasakan di Indonesia. Penduduk di beberapa desa di Kepulauan Raja Ampat, Papua, sudah merasakan berubahnya garis pantai yang semakin masuk ke darat setidaknya 10 meter dalam 10 tahun terakhir, serta semakin luasnya intrusi air laut ke air tanah. Ini memaksa mereka untuk mencari lokasi tempat tinggal baru.
Terus meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) hasil aktivitas manusia cenderung akan meningkatkan bencana yang terkait dengan iklim. Untuk mengantisipasi dampak-dampak perubahan iklim, diperlukan kajian untuk mengidentifikasi daerah dan sektor mana yang rentan terhadap perubahan iklim kemudian menentukan strategi adaptasi yang paling sesuai.
Yang jarang dipahami adalah soal terancamnya lingkungan alam adalah berkaitan dengan masalah kapitalisme global. Tak heran jika negara-negara kapitalis besar cenderung akan memperjuangkan kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang paling banyak menyebabkan pemanasan global. Cara pandang kapitalis yang pragmatis dan anti-solidaritas kemanusiaan merupakan suatu kontradiksi utama yang harus dihadapi.
Bukankah kapitalis memandang alam (termasuk di dalamnya manusia) sebagai suatu yang hanya berguna sebagaimana untuk menumpuk keuntungan saja? Bukankah manusia sebagai bagian dari alam tidak dihargai, seperti buruh-buruh (tenaga kerja) yang harus dibayar murah? Dan alam akan terus dieksploitasi, hutan-hutan ditebang dan tanah-tanahnya dilubangi (kasus Freeport dan Newmont di Indonesia hanya sedikit kasus), sawah-sawah dan ladang-ladang (tanah-tanah) digusur baik dengan cara halus dan paksa?
Yang jelas, Indonesia juga harus memperhitungkan kepentingan nasionalnya dalam membicarakan masalah tersebut dalam pertemuan COP-1 3/MOP-3 UNFCCC di Bali mendatang. Masalahnya pertemuan ini bukan hanya isu moralisme lingkungan, tetapi isu politik lingkungan di mana negara-negara besar (kapitalis maju) akan menghindari tanggungjawabnya pada saat mereka menjadi penyumbang emisi zat-zat bagi terjadinya pemanasan global. Hal ini berkaitan dengan sikap Amerika dan Australia dalam Protokol Kyoto. Meskipun dalam pertemuan G-8 yang berlangsung di Jerman AS mulai menunjukkan tanda yang lebih lunak, tetapi tetap belum bersedia membuat komitmen. Walau demikian, Presiden AS George W Bush mulai mengakui kaitan perubahan iklim ini dengan ulah manusia. Indonesia harus bersama-sama negara-negara lainnya, mendorong negara-negara maju yang belum meratifikasi Protokol Kyoto untuk segera meratifikasi agar terwujud penurunan emisi gas rumah kaca.
*) Aktif di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Jawa Timur.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar