Senin

Kedaulatan Pangan Dan Kemandirian Bangsa

Oleh: Hasan Asy'ari*
Keputusan impor beras, di tengah-tengah bangsa agraris, yang diambil pemerintah makin menambah keragunan dan atau mempertanyakan kembali komitmen pemerintah dalam meminimalisasi kuantifikasi kemiskinan. Apalagi, impor 500 ton beras harus dibayar atau diambilkan dari dana pinjaman luar negeri. Artinya, bangsa Indonesia makin menggantungkan nasibnya pada keterikatan utang luar negeri dan memupus harapan menuju bangsa yang mandiri, syarat mutlak dari kemerdekaan. Indonesia makin mempertegas bahwa ia adalah bangsa net importer. Impor menjadi tradisi musiman melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pengambilan keputusan tersebut juga mengindikasikan bahwa kita ini panik, reaksioner dan kurang siap ketika bencana kekeringan terjadi dan harga beras melambung tinggi di luar kemampuan masyarakat miskin. Kepanikan berimplikasi pada pengambilan kebijakan yang bersifat instan, tidak komprehensip. Padahal, kelangkaan beras tidak hanya sekali tapi berulang kali terjadi. Dengan maksud lain, seharusnya kejadian-kejadian ini dijadikan bijakan secra arif dan sitematis bukan mengulang terus menerus dengan kebijakan instan, impor beras, yang kurang menyentuh akar masalah.
Masalah Baru
Kenyataannya sampai saat ini, impor beras belum bisa menjawab problem kemiskinan di Indonesia , bahkan jumlahnya bertambah. Dalam jangka pendek pun, impor beras juga tidak bisa memberikan nilai lebih pada kepuasan dan keseimbangan hidup masyarakat pada umumnya, apalagi jangka panjangnya.
Struktur kehidupan masyarakat Indonesia , tidak hanya berbasis pada agraria an sich. Akan tetapi, kemiskinan juga tersebar di pinggiran kota dan di pinggir pantai (nelayan). Operasi pasar (OP) diperlakuan untuk menstabilkan harga beras agar masyarakat miskin bisa menjangkaunya. Namun, produsen padi (petani) akan mengalami kerugian dan kesejahteraannya makin menurun karena secara tidak langsung OP menutup akses pasar bagi mereka. Padahal jika regulasinya jelas dan didukung oleh ketegasan pemerintah, pelambungan harga beras tidak akan pernah terjadi. Karena instabilitas harga dengan sengaja diciptakan oleh tengkulak dan saudagar-saudagar beras.
Efek lain yang ditimbulkannya, beralihnya aktivasi pertanian ke pekerjaan lain. Banyak masyarakat bermigrasi, sehingga lahan pertanian banyak ditinggalkan terutama oleh kaum mudanya. Optimisme terhadap keberlangsungan kehidupan tani, tidak bisa mendorong mereka untuk bertahan dan memanfaatkan potensi tani yang dimilikinya. Padahal, pertanian yang menopang kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.
Kondisi demikian, pemerintah seharusnya melahirkan kebijakan yang lebih berorientasi pada pemberdayaan masyarakat tani dengan menyediakan akses terhadap faktor-faktor produksi dan juga akses terhadap pasar bagi mereka. Karena menjawab kelaparan dan kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan dengan menjamin ketersediaan pangan saja.
Beras bukan satu-satunya jawaban
Pembaruan agraria harus segera dilakukan pemerintah sebagai wujud partisipatif menegakkan kedaulatan pangan. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu secara mandiri mengelola ketersediaan pangan, hidup dari pemanfaatan sumber alam yang dimilikinya dan menciptakan dinamika pasar yang kondusif. Di sinilah peran strategis pemerintah membuka akses bagi terwujudnya kedaulatan pangan.
Namun, beras bukanlah satu-satunya jawaban untuk menegakkan kedaulatan pangan. Selama ini, struktur pangan yang terbangun menempatkan beras pada posisi superior di antara potensi pangan lainnya, seperti jagung, singkong, sagu, kentang dan bahan pangan lainnya. Sehingga, beras menjadi kebutuhan dasar (paling dasar) dan perut masyarakat selalu merasa lapar jika belum mengonsumsi beras.
Cara pandang yang demikian sudah terpatri khususnya bagi masyarakat miskin. Dan, lebih tidak simpatik lagi, mengkaitkan kemiskinan dan kelaparan dengan kelangkaan beras. Kondisi seperti ini makin tidak mendidik dan dehumanistik.
Pola kerja yang menjadikan beras sebagi satu-satunya komoditas yang paling menguntungkan, pada akhirnya juga merugikan. Saat ini, beras menjadi komponen pembentuk inflasi yang signifikan. Inflasi naik, rakyat kecil (petani juga) akan terkena dampaknya. Sekalipun petani memperoleh panen yang meningkat, namun uang yang diperolehnya akan turun daya belinya sehingga komponen biaya untuk menanam padi mendatang menjadi mahal. Dan juga perlu diingat, mayoritas petani di Indonesia adalah menghasil gabah bukan beras. Sebaliknya, beras dipegang oleh saudagar beras yang beroperasi ala kartel.
Nah, konteks demikian sebenarnya bisa dijadikan momentum bagi pengambil kebijakan untuk menawarkan komoditas selain beras. Pemerintah saat ini harus memilih mengurangi atau menghentikan impor beras dan menjadikan jagung, singkong, sagu dan bahan pangan lainnya, tidak hanya sebagai alternatif, tapi disejajarkan dengan beras yang bisa dijadikan kebutuhan pokok pangan, dan juga memiliki nilai ekonomi. Diversifikasi pangan harus mulai dikenalkan pemerintah kepada masyarakat. Tidak arif jika memaksakan masyarakat Indonesia menkonsumsi beras di seluruh penjuru tanah air.
*) Kader muda Muhammadiyah, tinggal di Malang

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung