Selasa

Kedaulatan Pangan Di Tengah Global Warming

WACANA (BOX)
Oleh: Martaja*

Hari Pangan Sedunia ke-27 baru kita peringati beberapa waktu lalu. Sehubungan kondisi pangan lokal, nasional dan global sedang terkena dampak buruk perubahan iklim dan global warming, maka paradigma kedaulatan pangan (food sovereignty) semakin layak untuk dikedepankan.
Paradigma ini sebagai counter terhadap kegagalan kebijakan ketahanan pangan (food security) yang mempromosikan pemenuhan pangan melalui penerapan agrobisnis, perdagangan bebas, dan privatisasi sumber-sumber produktif.
Perekonomian nasional tanpa kedaulatan pangan lebih rawan terhadap terjadinya instabilitas harga bahan pangan. Awal Desember kita dihadapkan kenaikan harga kebutuhan pokok di DKI Jakarta dan di berbagai daerah.Di Palembang misalnya, saat itu harga beras terus naik. Harga beras asalan berkualitas rendah, naik dari Rp 4.000,- menjadi Rp 4.300,-/kg. Di Magelang, harga beras kualitas medium sudah mencapai Rp 5.000,-/kg, atau naik Rp 500,- dibanding Senin (10/12) lalu.
Di Jakarta, sejak awal Desember, harga beras jenis IR-64 kualitas satu Rp 5.200,-/kg lebih tinggi Rp 300,-/kg dibanding harga 1 Desember 2007. Kenaikan tersebut karena terhambatnya pasokan beras di saat yang tepat. Guna menstabilkan harga beras, Perum Bulog tidak lagi menempuh cara operasi pasar (OP). Kebijakan OP sudah tidak efektif, kemudian diganti operasi stabilisasi harga beras atau operasi stabilisasi (OS). Stabilisasi harga beras diplot mulai tingkat harga nasional Rp 4.750/kg.
Kedaulatan pangan
Masalah kedaulatan pangan, kini bukan sekadar masalah nasional, tetapi sudah menjadi isu global. Petani di dunia bahkan menuntut adanya kedaulatan pangan. "Mari kembali pada kearifan lokal dan kedaulatan pangan hingga di level keluarga. Hilangkan ketergantungan penyediaan pangan pada pihak lain dan ciptakan pertanian berkelanjutan," kata Henry Saragih, Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional dalam Konferensi Perubahan Iklim, Nusa Dua, Senin (10/12).
Kedaulatan pangan tersebut membalikkan konsep modernisasi menjadi hal-hal yang bersifat back to basic dengan memrioritaskan produksi untuk pemenuhan dan keberlanjutan pangan/pasar lokal melalui pengadaan pasokan-pasokan berbagai produksi pertanian yang memanfaatkan kearifan lokal dan ramah lingkungan.
Terjadinya perubahan iklim yang menggeser musim kemarau menjadi lebih panjang membuat petani tidak bisa mengantisipasinya. Tanaman sayuran dan palawija bergantung dari kondisi cuaca, sehingga perubahan terhadap cuaca menghambat pertumbuhan tanaman. Tak heran bila di sejumlah daerah yang menjadi pusat sayuran, terjadi mundur panen dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Akibat dampak negatif globalisasi, masyarakat telah kehilangan hak atas kedaulatan pangan. Mereka tidak bebas untuk menentukan makanan apa yang akan diproduksi, dikonsumsi, maupun dipasarkan. Perlu kesadaran masyarakat dan negara untuk merebut kembali kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan menentukan sejauh mana rakyat ingin memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, dan menolak dumping produk impor ke dalam pasar domestik. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, tetapi lebih mempromosikan formulasi kebijakan perdagangan dan praktek yang melayani hak rakyat untuk produksi pangan berkelanjutan yang aman, sehat dan ramah lingkungan.
Alternatif perdagangan pertanian dalam paradigma kedaulatan pangan saat ini sudah diaplikasikan di negara Kuba, Mali, Mozambik, Venezuela dan Bolivia. Sistem pangan, produksi-konsumsi-distribusi, juga membutuhkan sistem yang adil bagi petani/produsen kecil di seluruh dunia, apalagi di tengah perubahan iklim dan global warming. Bahkan di negara maju, prinsip-prinsip kedaulatan pangan diadopsi dalam pertanian kecil dan keluarga di Eropa maupun Amerika Serikat.
Diversifikasi pangan
Diversifikasi sebagai pola penciptaan kedaulatan pangan merupakan salah satu hal yang sangat penting serta mendesak dilakukan sebagai upaya mengurangi permasalahan di subsektor tanaman padi. Perlu usaha yang keras untuk menciptakan pola diversifikasi ini, karena selama ini kebanyakan masyarakat kita sudah terbiasa mengonsumsi nasi.
Guna mempercepat proses perubahan konsumsi dari beras ke nonberas, pemerintah cq Departemen Pertanian rencananya akan memberikan voucher pangan nonberas sebagai pengganti beras bagi orang miskin (raskin). Ide ini memberikan alternatif kepada masyarakat supaya tidak bergantung 100% pada konsumsi beras, tetapi bahan pangan lain yang juga kaya akan zat gizi karbohidrat.
Daerah dengan potensi pangan yang cukup besar di luar tanaman padi perlu mendapat perhatian agar masyarakat setempat mau menggeser pola konsumsinya. Memang tidak mudah, namun akan lebih baik dibanding jika pemerintah hanya berkonsentrasi menciptakan pola ketahanan pangan yang berbasis impor beras. Sosialisasi berbagai sumber diversifikasi pangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai keunggulannya, juga menjadi hal yang sangat penting sebagai usaha menggeser pola konsumsi dari beras ke bahan makanan pokok lainnya.
Pola diversifikasi pangan yang saat ini sudah banyak dikembangkan adalah alih konsumsi pada tanaman talas-talasan. Kajian lebih lanjut tentang potensi tanaman ini menjadi sangat penting, terutama bagi lembaga-lembaga penelitian di Indonesia. Sehingga, risetnya tidak seperti ''menara mercusuar'', yang hanya melihat ke tempat yang jauh, namun kebutuhan mendasar bangsa kita dalam hal pangan terabaikan.
Kedaulatan pangan akan memiliki arti yang luas jika bangsa ini mampu mengurangi impor bahan pangan lainnya. Pola diversifikasi dalam menciptakan kedaulatan pangan tak terbatas pada pola konsumsi makanan pokok, namun juga pola konsumsi pangan sekundernya. Peran teknologi pengolahan juga menjadi elemen yang penting dalam kebijakan diversifikasi pangan.
Pola pengolahan makanan memanfaatkan potensi sumber daya masyarakat yang melimpah di tengah masyarakat Indonesia sebagai basis ekonomi. Ini akan lebih mempermudah penciptaan pola kedaulatan pangan yang tak banyak bergantung impor. Tentunya bukan berarti kita anti-impor. Barang-barang teknologi misalnya. Namun paling tidak, pemenuhan pangan sebagai sebuah kebutuhan yang sangat mendasar, harus bisa berdaulat atas dasar potensi yang dimiliki bangsa kita. Penciptaan pola diversifikasi serta pemanfaatan produk subtitusi menjadi elemen yang penting dalam pola penciptaan kedaulatan pangan.
*) Pemerhati masalah sosial-ekonomi, alumnus Australian National University, tinggal di Kota Depok.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung