SOROT
Oleh: Nurhaeni*
Sebagai Bangsa Indonesia kita selama ini tak luput dari berbagai peristiwa alam dan kemanusian yang mengerikan. Mulai tsunami di Aceh, gempa di Yogya dan berbagai kota lainnya. Pesawat terbang yang hilang dan terbakar, kapal laut yang tenggelam, gunung Kelud, gunung Krakatau mulai batuk-batuk, dan juga tragedi lumpur Lapindo yang tak tahu kapan usainya.
Masyarakat kian frustasi dalam kehidupannya. Agama yang ada sepertinya tidak bisa menyentuh hatinya untuk memberi penerang pada jalan yang benar. Maka munculah berbagai macam aliran keagamaan yang sesat seperti Al-Qiyadah Islamiyah, Al-Quran Suci, dan lain-lain. Benarkah kita sudah memasuki zaman Kalabendu, di mana agama dan keyakinan yang ada selama ini tak bisa menjaga moralitas bangsa?
Saat bencana datang beruntun, menyeruak kembali zaman Kalabendu, bagian dari ramalan Jayabaya, yang diangkat oleh Ronggowarsito dalam Serat Kalatida. Serat Kalatida, meski berkisah tentang kedahsyatan bencana alam pada suatu era, juga mengupas “bencana moralitas”. Bahkan mungkin menjadi titik perhatian sang pujangga. Seolah bencana fisik sebagai pertanda dari era kehancuran moral.
Zaman Kalabendu telah membangkitkan kewaspadaan masyarakat yang mempercayainya. Pesan moral yang disampaikan oleh Serat Kalatida adalah siap dan tabah dalam menghadapi era ini dan optimisme datangnya zaman kemuliaan dengan munculnya Ratu Adil.
“Hidup di zaman edan / gelap jiwa bingung pikiran / turut edan hati tak tahan / jika tak turut / batin merana dan penasaran / tertindas dan kelaparan / tapi janji tuhan sudah pasti / seuntung apa pun orang yang lupa daratan / lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.”
Sekarang, kita juga bisa menyaksikan bagaimana Ronggowarsito dengan jernih meramalkan datangnya zaman, yang ia namakan zaman edan, atau zaman keno pakewuh --negara kehilangan wibawa, penguasa kehilangan etika, masyarakat yang kehilangan pranata dan alam yang terus melahirkan bencana.
Apakah Ronggowarsito benar-benar memiliki kemampuan melihat apa yang akan terjadi? Ada beberapa model jawaban. Pertama, ia memang melihat isyarat tentang apa yang akan terjadi. Kedua, ia sebenarnya sedang menceritakan keadaan masyarakatnya sendiri yang korup dan bobrok, namun dengan bahasa yang diperhalus sebagai ramalan.
Ketiga, mungkin juga ia sedang menuliskan kejengkelan hatinya kepada raja yang berkuasa, Paku Buwono IX, karena karir politiknya selalu dihambat. Meskipun seorang pujangga, ia tetap hanya berpangkat Kliwon Carik, pangkat di bawah Tumenggung.
Karya-karya Ronggowarsito, memiliki keseragaman, bukan hanya tema, tapi juga bahasa dan terminologi: tentang masa depan bangsa, penyelewengan moral penguasa, penderitaan rakyat, kutukan jaman, nasehat moral-spiritual, serta harapan datangnya zaman keemasan.
Dalam buku Zaman Edan, Ronggowarsito membagi lima bagian. Pertama, “Zaman Cacat” (Kalatida), berisi uraian mengenai kerusakan masyarakat akibat kutukan zaman. Dan terdapat satu ungkapan yang masyhur yaitu Zaman Edan. Kedua, “Kabar Kepastian” (Sabda Jati), di mana setelah Ronggowarsito memperingatkan zaman susah, menuliskan saat kematiannya sendiri, delapan hari sebelum saatnya tiba. Kemudian dalam “nasehat utama” (Sabdatama) Sang Pujangga memberikan nasehat pembaca bahwa kesengsaraan yang datang tanpa permisi adalah buah perbuatan kita sendiri. Keempat, “Jaka Lodang” (Joko Lodang) berkisah tentang ramalan yang dikatakan seorang pemuda, Joko Lodang, tentang kemenangan besar dan datangnya zaman keemasan, sehingga para pengangguran pun mendapatkan rezeki yang turun bagai hujan dari langit. Terakhir, “Pedoman Diri” (Wedharaga), berisi nasehat, terutama bagi generasi muda, bagaimana menjalani kehidupan sebagai pengabdian kepada Tuhan maupun kemanusiaan, dan bukan panggung pertunjukkan untuk mengumbar nafsu.
Bung Karno dalam pidatonya pada peresmian patung Ronggowarsito, Sriwedari, Solo, 11 Nopember 1953, mengatakan, “Tatkala aku di Yogyakarta seringkali kalau aku masuk desa dan keluar desa berbicara dengan pak tani dan mbok tani yang menderita, aku melihat mereka kurang makan, kelaparan, tubuh yang kurus, anak-anak kecil yang tinggal “lunglit”, tapi aku melihat mata yang berseri-seri, sinar mata yang penuh harapan, sinar mata yang penuh keyakinan, bahwa suatu saat akan datang “ganjaran” dari Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Keyakinan dan kepercayaan mereka itu tak lain berpedoman pada peninggalan ucapan Ronggowarsito”.
Untuk itu, diharapkan kita bisa menjadi masyarakat yang eling lan waspodo atau memiliki kesadaran yang jernih untuk tetap bekerja sebaik mungkin meski hari-hari ini terasa pahit dengan berbagai persoalan alam dan moralitas bangsa kita. Tapi kita yakin dan penuh dengan optimisme tinggi akan datangnya masa “keemasan” untuk bangsa kita.
Oleh: Nurhaeni*
Sebagai Bangsa Indonesia kita selama ini tak luput dari berbagai peristiwa alam dan kemanusian yang mengerikan. Mulai tsunami di Aceh, gempa di Yogya dan berbagai kota lainnya. Pesawat terbang yang hilang dan terbakar, kapal laut yang tenggelam, gunung Kelud, gunung Krakatau mulai batuk-batuk, dan juga tragedi lumpur Lapindo yang tak tahu kapan usainya.
Masyarakat kian frustasi dalam kehidupannya. Agama yang ada sepertinya tidak bisa menyentuh hatinya untuk memberi penerang pada jalan yang benar. Maka munculah berbagai macam aliran keagamaan yang sesat seperti Al-Qiyadah Islamiyah, Al-Quran Suci, dan lain-lain. Benarkah kita sudah memasuki zaman Kalabendu, di mana agama dan keyakinan yang ada selama ini tak bisa menjaga moralitas bangsa?
Saat bencana datang beruntun, menyeruak kembali zaman Kalabendu, bagian dari ramalan Jayabaya, yang diangkat oleh Ronggowarsito dalam Serat Kalatida. Serat Kalatida, meski berkisah tentang kedahsyatan bencana alam pada suatu era, juga mengupas “bencana moralitas”. Bahkan mungkin menjadi titik perhatian sang pujangga. Seolah bencana fisik sebagai pertanda dari era kehancuran moral.
Zaman Kalabendu telah membangkitkan kewaspadaan masyarakat yang mempercayainya. Pesan moral yang disampaikan oleh Serat Kalatida adalah siap dan tabah dalam menghadapi era ini dan optimisme datangnya zaman kemuliaan dengan munculnya Ratu Adil.
“Hidup di zaman edan / gelap jiwa bingung pikiran / turut edan hati tak tahan / jika tak turut / batin merana dan penasaran / tertindas dan kelaparan / tapi janji tuhan sudah pasti / seuntung apa pun orang yang lupa daratan / lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.”
Sekarang, kita juga bisa menyaksikan bagaimana Ronggowarsito dengan jernih meramalkan datangnya zaman, yang ia namakan zaman edan, atau zaman keno pakewuh --negara kehilangan wibawa, penguasa kehilangan etika, masyarakat yang kehilangan pranata dan alam yang terus melahirkan bencana.
Apakah Ronggowarsito benar-benar memiliki kemampuan melihat apa yang akan terjadi? Ada beberapa model jawaban. Pertama, ia memang melihat isyarat tentang apa yang akan terjadi. Kedua, ia sebenarnya sedang menceritakan keadaan masyarakatnya sendiri yang korup dan bobrok, namun dengan bahasa yang diperhalus sebagai ramalan.
Ketiga, mungkin juga ia sedang menuliskan kejengkelan hatinya kepada raja yang berkuasa, Paku Buwono IX, karena karir politiknya selalu dihambat. Meskipun seorang pujangga, ia tetap hanya berpangkat Kliwon Carik, pangkat di bawah Tumenggung.
Karya-karya Ronggowarsito, memiliki keseragaman, bukan hanya tema, tapi juga bahasa dan terminologi: tentang masa depan bangsa, penyelewengan moral penguasa, penderitaan rakyat, kutukan jaman, nasehat moral-spiritual, serta harapan datangnya zaman keemasan.
Dalam buku Zaman Edan, Ronggowarsito membagi lima bagian. Pertama, “Zaman Cacat” (Kalatida), berisi uraian mengenai kerusakan masyarakat akibat kutukan zaman. Dan terdapat satu ungkapan yang masyhur yaitu Zaman Edan. Kedua, “Kabar Kepastian” (Sabda Jati), di mana setelah Ronggowarsito memperingatkan zaman susah, menuliskan saat kematiannya sendiri, delapan hari sebelum saatnya tiba. Kemudian dalam “nasehat utama” (Sabdatama) Sang Pujangga memberikan nasehat pembaca bahwa kesengsaraan yang datang tanpa permisi adalah buah perbuatan kita sendiri. Keempat, “Jaka Lodang” (Joko Lodang) berkisah tentang ramalan yang dikatakan seorang pemuda, Joko Lodang, tentang kemenangan besar dan datangnya zaman keemasan, sehingga para pengangguran pun mendapatkan rezeki yang turun bagai hujan dari langit. Terakhir, “Pedoman Diri” (Wedharaga), berisi nasehat, terutama bagi generasi muda, bagaimana menjalani kehidupan sebagai pengabdian kepada Tuhan maupun kemanusiaan, dan bukan panggung pertunjukkan untuk mengumbar nafsu.
Bung Karno dalam pidatonya pada peresmian patung Ronggowarsito, Sriwedari, Solo, 11 Nopember 1953, mengatakan, “Tatkala aku di Yogyakarta seringkali kalau aku masuk desa dan keluar desa berbicara dengan pak tani dan mbok tani yang menderita, aku melihat mereka kurang makan, kelaparan, tubuh yang kurus, anak-anak kecil yang tinggal “lunglit”, tapi aku melihat mata yang berseri-seri, sinar mata yang penuh harapan, sinar mata yang penuh keyakinan, bahwa suatu saat akan datang “ganjaran” dari Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Keyakinan dan kepercayaan mereka itu tak lain berpedoman pada peninggalan ucapan Ronggowarsito”.
Untuk itu, diharapkan kita bisa menjadi masyarakat yang eling lan waspodo atau memiliki kesadaran yang jernih untuk tetap bekerja sebaik mungkin meski hari-hari ini terasa pahit dengan berbagai persoalan alam dan moralitas bangsa kita. Tapi kita yakin dan penuh dengan optimisme tinggi akan datangnya masa “keemasan” untuk bangsa kita.
*) Alumnus UNY, pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar